Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi; Negarawaran

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pelajaran Berharga Dari Pengkhianatan (Bagian Pertama)

16 Januari 2025   09:40 Diperbarui: 16 Januari 2025   13:09 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Kita tidak akan pernah merasakan sakitnya dikhianati, sebelum dikhianati.

Dilematis

Sore itu, saya memimpin sebuah diskusi tentang pembuatan desain interior ruang kerja. Kebetulan, saya orang yang paling bertanggungjawab dalam pekerjaan tersebut. Saya dipercaya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kala itu. Diskusi itu pun saya gagas sebagai bentuk tanggungjawab dan pertimbangan bahwa pekerjaan ini sangat bersinggungan dengan selera dan kenyamanan setiap pegawai. Oleh karena itu, mendengar masukan dari semua pihak yang akan menggunakan ruang kerja dimaksud akan sangat berguna untuk menghasilkan desain interior ruang kerja yang representatif.

Sejujurnya, saya tidak memulai diskusi itu dengan kondisi yang prima. Selain tubuh terasa sangat lelah karena beban pekerjaan yang berlebih, pikiran saya pun tengah terbagi. Cabang pikiran saya yang lain tengah berusaha mencari pertolongan untuk anggota keluarga dekat yang sedang terjerat riba. Saya merasa berkewajiban untuk membantunya, karena ia adalah orang yang sangat saya sayangi. 

Tenggat waktu pembayarannya sudah hampir habis, namun tidak ada lagi aset yang bisa dijual atau digadaikan untuk memenuhi kewajibannya. Melihat sempitnya jalan keluar yang bisa kami tempuh, saya pun berusaha mencari dana talangan.

Saya berhasil menghubungi beberapa orang yang berkenan memberikan pinjaman tanpa bunga. Setelah diskusi sore itu selesai, saya berencana menemui salah satunya. Calon pemberi pinjaman terbesar adalah rekan kerja dari sebuah perusahaan yang bergerak dalam dunia penyedia barang/jasa pemerintah. Saya sadar-jika dana talangan itu saya terima-perbuatan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Tapi saya tak punya banyak waktu untuk mencari pertolongan lain.

Saya terpaksa mencari pertolongan ke semua orang tanpa melihat latar belakangnya demi cepat mendapatkan bantuan. Sebab, denda keterlambatan sudah semakin membengkak. Saya terpaksa mengingkari janji yang sudah saya buat sendiri. Janji untuk tidak lagi menerima gratifikasi. Sungguh, diskusi sore itu saya jalani dengan suasana hati yang sangat dilematis.

Menjilat Ludah Sendiri

Sesuai jadwal yang telah ditetapkan, selepas diskusi saya harus menyampaikan closing statement yang memuat materi tentang nilai-nilai antikorupsi. 

Rencananya, saya akan mengajak para peserta diskusi untuk berperan aktif mengawasi pengadaan barang/jasa di instansi tempat kami bekerja dengan menerapkan kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, kepedulian dan keadilan dalam aktivitas sehari-hari. 

Pesan itu saya sampaikan karena pengadaan barang/jasa sangat lekat dengan praktik korupsi. Saya berharap di project yang saya gawangi, praktik korupsi itu akan nihil. Di dalam konsep closing statement yang sudah saya tulis, saya telah menyelipkan cerita tentang mainan dari kardus bekas untuk anak saya. Saya selipkan cerita itu untuk memberi penekanan tentang nilai antikorupsi: sederhana. Karena meskipun namanya sederhana, namun nilai ini sulit untuk dipraktikan. 

Suatu hari, anak saya minta dibuatkan pedang-pedangan dari kardus bekas. Saat itu, ia sangat menggemari game Nintendo Switch: The Legend Of Zelda pemberian Pamannya. Dari game tersebut-lah ia berangan-angan memiliki pedang yang digunakan oleh salah satu karakter di dalamnya. 

Karena enggan meluangkan waktu dan tenaga untuk memenuhi permintaannya, saya malah bertanya padanya: "kenapa harus buat dari kardus bekas? kenapa gak beli aja?". Padahal-saat itu-saya pun sedang tidak memiliki cukup uang untuk membelikannya mainan. 

Karena ia terus merengek-akhirnya-saya menuruti permintaannya. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Hanya butuh sedikit imajinasi dan bahan-bahan yang sudah tersedia di rumah. Alhamdulillah, ia terlihat sangat bahagia memainkannya. Sejurus kemudian saya pun menyadari, betapa bahagia di mata anak kecil itu sangat sederhana. Mengapa orang dewasa seperti saya justru cenderung memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang di luar kesanggupan. Padahal-dengan apa yang ada di sekitar kita dan mengeluarkan sedikit usaha untuk membuatnya sendiri-kebahagiaan itu pun bisa kita rasakan?

Saya bilang ke semua peserta diskusi. "Kita-orang dewasa-sering merasa sudah hidup sederhana. Padahal, belum tentu. Contohnya saya. Dulu, saya gak pernah makan siang di restoran padang karena tidak punya cukup uang. Saya selalu bawa makan siang dari rumah ke kantor. Saat itu saya merasa hidup sederhana dan saya cukup bahagia. Setelah beberapa tahun bekerja, saya sering makan di restoran padang karena sudah punya cukup uang. Meskipun saya mengeluarkan uang lebih banyak untuk makan siang-anehnya-saya merasa masih hidup sederhana. Apakah gaya hidup yang lebih mewah dari sebelumnya masih bisa disebut sebagai bentuk kesederhanaan? Padahal, dengan makan makanan dari rumah saya sudah cukup berenergi dan bahagia. Lantas, mengapa saya harus membayar lebih mahal untuk energi dan kebahagiaan yang sama?

"Contoh lain misalnya, ketika kebanyakan orang yang sudah punya sebuah ponsel lalu ingin beli satu lagi. Sudah punya satu unit motor lalu ingin beli satu lagi. Atau bagi laki-laki yang sudah punya seorang istri kepingin punya istri lagi". Kelakar saya.

"Mungkin yang kita butuhkan bukan makan siang di restoran mahal, bukan beli ponsel lagi, bukan beli motor lagi, atau bukan punya istri dua. Tapi yang kita butuhkan adalah rasa cukup". Lanjut saya.

"Rasa cukup itu-lah yang akan membuat kita bahagia. Seperti bahagianya saya ketika melihat anak saya dengan bangganya memainkan pedang-pedangan dari kardus bekas".

"Ia tak tahu apa itu sederhana. Ia juga tak tahu saya sedang tak punya cukup uang untuk membelikannya mainan. Tapi ia telah memberikan pelajaran yang amat berharga bahwa bahagia itu sederhana". 

Sampai di kalimat itu, saya tak mampu lagi membendung air mata. Di hadapan para peserta diskusi saya menangis sambil menutup kegiatan diskusi itu. 

Mungkin para peserta diskusi mengira saya larut dalam cerita tentang kebahagiaan dan kesederhanaan yang anak saya ajarkan. Tetapi yang terjadi sebenarnya kepada saya saat itu adalah: saya merasa menjadi orang paling munafik. 

Di ruangan itu saya telah meminta seluruh peserta diskusi untuk menerapkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan, namun di waktu yang bersamaan saya tengah bergelut dengan rasa bersalah karena telah menjilat ludah sendiri. Ludah yang pernah saya keluarkan dulu ketika berjanji untuk berhenti menerima gratifikasi.

(Bersambung ke Bagian Kedua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun