Kita tidak akan pernah merasakan sakitnya dikhianati, sebelum dikhianati.
Dilematis
Sore itu, saya memimpin sebuah diskusi tentang pembuatan desain interior ruang kerja. Kebetulan, saya orang yang paling bertanggungjawab dalam pekerjaan tersebut. Saya dipercaya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kala itu. Diskusi itu pun saya gagas sebagai bentuk tanggungjawab dan pertimbangan bahwa pekerjaan ini sangat bersinggungan dengan selera dan kenyamanan setiap pegawai. Oleh karena itu, mendengar masukan dari semua pihak yang akan menggunakan ruang kerja dimaksud akan sangat berguna untuk menghasilkan desain interior ruang kerja yang representatif.
Sejujurnya, saya tidak memulai diskusi itu dengan kondisi yang prima. Selain tubuh terasa sangat lelah karena beban pekerjaan yang berlebih, pikiran saya pun tengah terbagi. Cabang pikiran saya yang lain tengah berusaha mencari pertolongan untuk anggota keluarga dekat yang sedang terjerat riba. Saya merasa berkewajiban untuk membantunya, karena ia adalah orang yang sangat saya sayangi.Â
Tenggat waktu pembayarannya sudah hampir habis, namun tidak ada lagi aset yang bisa dijual atau digadaikan untuk memenuhi kewajibannya. Melihat sempitnya jalan keluar yang bisa kami tempuh, saya pun berusaha mencari dana talangan.
Saya berhasil menghubungi beberapa orang yang berkenan memberikan pinjaman tanpa bunga. Setelah diskusi sore itu selesai, saya berencana menemui salah satunya. Calon pemberi pinjaman terbesar adalah rekan kerja dari sebuah perusahaan yang bergerak dalam dunia penyedia barang/jasa pemerintah. Saya sadar-jika dana talangan itu saya terima-perbuatan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Tapi saya tak punya banyak waktu untuk mencari pertolongan lain.
Saya terpaksa mencari pertolongan ke semua orang tanpa melihat latar belakangnya demi cepat mendapatkan bantuan. Sebab, denda keterlambatan sudah semakin membengkak. Saya terpaksa mengingkari janji yang sudah saya buat sendiri. Janji untuk tidak lagi menerima gratifikasi. Sungguh, diskusi sore itu saya jalani dengan suasana hati yang sangat dilematis.
Menjilat Ludah Sendiri
Sesuai jadwal yang telah ditetapkan, selepas diskusi saya harus menyampaikan closing statement yang memuat materi tentang nilai-nilai antikorupsi.Â
Rencananya, saya akan mengajak para peserta diskusi untuk berperan aktif mengawasi pengadaan barang/jasa di instansi tempat kami bekerja dengan menerapkan kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, kepedulian dan keadilan dalam aktivitas sehari-hari.Â
Pesan itu saya sampaikan karena pengadaan barang/jasa sangat lekat dengan praktik korupsi. Saya berharap di project yang saya gawangi, praktik korupsi itu akan nihil. Di dalam konsep closing statement yang sudah saya tulis, saya telah menyelipkan cerita tentang mainan dari kardus bekas untuk anak saya. Saya selipkan cerita itu untuk memberi penekanan tentang nilai antikorupsi: sederhana. Karena meskipun namanya sederhana, namun nilai ini sulit untuk dipraktikan.Â
Suatu hari, anak saya minta dibuatkan pedang-pedangan dari kardus bekas. Saat itu, ia sangat menggemari game Nintendo Switch: The Legend Of Zelda pemberian Pamannya. Dari game tersebut-lah ia berangan-angan memiliki pedang yang digunakan oleh salah satu karakter di dalamnya.Â