Karena enggan meluangkan waktu dan tenaga untuk memenuhi permintaannya, saya malah bertanya padanya: "kenapa harus buat dari kardus bekas? kenapa gak beli aja?". Padahal-saat itu-saya pun sedang tidak memiliki cukup uang untuk membelikannya mainan.Â
Karena ia terus merengek-akhirnya-saya menuruti permintaannya. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Hanya butuh sedikit imajinasi dan bahan-bahan yang sudah tersedia di rumah. Alhamdulillah, ia terlihat sangat bahagia memainkannya. Sejurus kemudian saya pun menyadari, betapa bahagia di mata anak kecil itu sangat sederhana. Mengapa orang dewasa seperti saya justru cenderung memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang di luar kesanggupan. Padahal-dengan apa yang ada di sekitar kita dan mengeluarkan sedikit usaha untuk membuatnya sendiri-kebahagiaan itu pun bisa kita rasakan?
Saya bilang ke semua peserta diskusi. "Kita-orang dewasa-sering merasa sudah hidup sederhana. Padahal, belum tentu. Contohnya saya. Dulu, saya gak pernah makan siang di restoran padang karena tidak punya cukup uang. Saya selalu bawa makan siang dari rumah ke kantor. Saat itu saya merasa hidup sederhana dan saya cukup bahagia. Setelah beberapa tahun bekerja, saya sering makan di restoran padang karena sudah punya cukup uang. Meskipun saya mengeluarkan uang lebih banyak untuk makan siang-anehnya-saya merasa masih hidup sederhana. Apakah gaya hidup yang lebih mewah dari sebelumnya masih bisa disebut sebagai bentuk kesederhanaan? Padahal, dengan makan makanan dari rumah saya sudah cukup berenergi dan bahagia. Lantas, mengapa saya harus membayar lebih mahal untuk energi dan kebahagiaan yang sama?
"Contoh lain misalnya, ketika kebanyakan orang yang sudah punya sebuah ponsel lalu ingin beli satu lagi. Sudah punya satu unit motor lalu ingin beli satu lagi. Atau bagi laki-laki yang sudah punya seorang istri kepingin punya istri lagi". Kelakar saya.
"Mungkin yang kita butuhkan bukan makan siang di restoran mahal, bukan beli ponsel lagi, bukan beli motor lagi, atau bukan punya istri dua. Tapi yang kita butuhkan adalah rasa cukup". Lanjut saya.
"Rasa cukup itu-lah yang akan membuat kita bahagia. Seperti bahagianya saya ketika melihat anak saya dengan bangganya memainkan pedang-pedangan dari kardus bekas".
"Ia tak tahu apa itu sederhana. Ia juga tak tahu saya sedang tak punya cukup uang untuk membelikannya mainan. Tapi ia telah memberikan pelajaran yang amat berharga bahwa bahagia itu sederhana".Â
Sampai di kalimat itu, saya tak mampu lagi membendung air mata. Di hadapan para peserta diskusi saya menangis sambil menutup kegiatan diskusi itu.Â
Mungkin para peserta diskusi mengira saya larut dalam cerita tentang kebahagiaan dan kesederhanaan yang anak saya ajarkan. Tetapi yang terjadi sebenarnya kepada saya saat itu adalah: saya merasa menjadi orang paling munafik.Â
Di ruangan itu saya telah meminta seluruh peserta diskusi untuk menerapkan nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan, namun di waktu yang bersamaan saya tengah bergelut dengan rasa bersalah karena telah menjilat ludah sendiri. Ludah yang pernah saya keluarkan dulu ketika berjanji untuk berhenti menerima gratifikasi.
(Bersambung ke Bagian Kedua)