Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tinggal menghitung hari. Semua Pasangan Calon Kepala Daerah (Cakada) dan tim suksesnya sudah menunjukan usaha terbaiknya untuk merebut hati calon pendukungnya.Â
Mulai dari usaha-usaha yang dibenarkan oleh moral dan regulasi sampai yang bertentangan dengan keduanya. Bukan tidak mungkin, masa-masa tenang Pilkada kali ini pun akan diwarnai usaha-usaha yang bertentangan dengan moral dan regulasi tersebut.
Pasalnya, Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Berbagai tantangan masih dihadapi oleh Penyelenggara Pemilu dan masyarakat dan menuntut kedewasaan para pihak untuk menuntaskannya.Â
Salah satu tantangannya adalah kampanye di Pemilu Indonesia masih ditempatkan sebagai aktivitas populis artifisial yang hanya secara simbolis berupaya menunjukan kehadiran fisik partai politik atau calon, namun belum sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik.
Penyebaran kabar/berita bohong juga turut merongrong kredibilitas penyelenggaraan Pemilu. Akibatnya, masyarakat sangat mudah diadu domba, terbujuk untuk melakukan kekerasan, sentimen SARA dan penghilangan hak pilih.Â
Kondisi masyarakat yang seperti ini tidak akan menghasilkan Pemilu yang objektif. Sebab, ketika fakta tidak dikedepankan, pengambilan keputusan/kebijakan hanya akan mementingkan emosi.
Selain itu, masyarakat juga masih dapat melihat beberapa calon legislatif yang pernah berstatus sebagai terpidana korupsi pada pemilihan legislatif lalu.Â
Ini menggambarkan kegagalan partai politik dalam melaksanakan fungsi kaderisasi. Kualitas para kader yang diragukan juga ditunjukan dengan mental yang dimiliki oleh para calon yang rata-rata hanya siap untuk menang, namun tidak siap kalah.Â
Kondisi tersebut diperparah dengan masifnya praktik jual beli tiket/kursi pencalonan (candidacy buying), jual beli suara pemilih (vote buying), dan rendahnya integritas penyelenggara Pemilu sehingga mudah disuap. Seluruh aktivitas tersebut mengakibatkan politik semakin mahal.
Asumsi di atas didukung dengan data hasil studi KPK pada tahun 2020. Dimana, modal finansial para calon menempati 95,5% dari seluruh faktor pemenangan Pemilu.Â