Karena mini-kompetisinya telah 'dikondisikan', maka yang memiliki produk paling sesuai dengan kebutuhan adalah Penyedia yang telah dibekali dengan informasi hasil persekongkolan. Dengan mengetahui informasi lebih awal, Calon Kontraktor akan punya kesiapan waktu dan tenaga untuk menayangkan produk dan mengatur 'kuncian' lainnya untuk menjegal usaha kompetitor-nya. Meskipun mini-kompetisi tetap berlangsung dan diikuti Penyedia Katalog lainnya, namun iklim persaingan tidak terjadi di dalamnya. Penyedia Katalog lain tidak memiliki informasi dan kesiapan yang sama dengan Calon Kontraktor. Peluang kompetitor untuk menang dalam mini-kompetisi seperti ini, sangat kecil.
Asumsi lainnya adalah proses e-purchasing dilakukan secara negosiasi. Pengelola pengadaan, konsultan perancang/perencana dan Calon Kontraktor telah bersekongkol untuk menayangkan produk sesuai 'pesanan' pihak penyelenggara negara. Selanjutnya-tanpa proses kompetisi-pengelola pengadaan akan memilih produk Calon Kontraktor yang sudah ditayangkan dan melakukan negosiasi semu.
Ketentuan Yang Dilanggar
Apapun metode pemilihannya, peluang untuk melakukan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah selalu ada. Pemerintah hanya bisa memaksimalkan upaya pencegahan melalui pengembangan sistem pengadaan secara elektronik dan kebijakan yang tepat.
Pemanfaatan katalog elektronik sudah dibekali dengan regulasi. Sayangnya-selain regulasinya belum sempurna-tidak semua pengelola pengadaan memiliki keahlian untuk memahami dan menggunakan 'pisau bermata dua' ini. Bisa jadi, hanya segelintir orang yang bisa disetarakan sebagai ahli bela diri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, sementara sebagian besar pengelola pengadaan yang menggunakan katalog elektronik diumpamakan seperti anak kecil yang diberikan pisau untuk bermain masak-masakan oleh orang tuanya. Mereka belum punya kompetensi yang cukup dan menyadari bahaya atas kesalahan cara penggunaannya. Masalah kompetensi pengelola pengadaan masih menjadi isu yang mengemuka dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Mempertimbangkan kondisi di atas, seharusnya kebijakan dan regulasi yang diterapkan tidak memberi kebebasan para pengelola pengadaan dari semua level maturitas untuk menafsirkan sendiri-sendiri cara pengadaannya. Meski sudah diatur secara jelas tentang batasan jenis barang/jasa yang dapat ditayangkan di katalog elektronik, bukan berarti pihak yang berwenang tidak membatasi secara aktif proses penayangan produk-produk tersebut. Sebab, aturan tidak bisa mencegah terjadinya kesalahan prosedur. Oleh karenanya sistem harus mampu mencegahnya atau melalui proses verifikasi secara manual.
Sementara itu, batasan e-purchasing dapat dilakukan secara negosiasi atau mini-kompetisi juga belum diatur secara tegas. Pengelola pengadaan bebas memilih cara e-purchasing yang mereka 'kehendaki'. Bagaimana mungkin melakukan pengadaan sesuai prosedur, jika prosedur itu sendiri tidak jelas mengatur apa. Untuk itu, selain penyempurnaan infrastruktur pengadaan, pengelolaan katalog, dan pengembangan kompetensi pengelola pengadaan, penyempurnaan regulasi juga perlu diprioritaskan.
Publik bisa berharap pada RUU Pengadaan Publik yang saat ini tengah disusun. Semoga pada saat diundangkan, semua permasalahan pengadaan pemerintah saat ini dan yang akan datang bisa dijawab oleh RUU tersebut. Selebihnya, publik hanya bisa berharap pada itikad baik pemerintah untuk memperbaiki sistem pengadaan pemerintah.Â
Semoga OTT KPK kali ini bisa menjadi pelajaran penting bagi semua pengelola pengadaan pemerintah, pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H