Menutup #series ini saya tidak akan berlama-lama memberikan mukodimah. Karena saya sudah mulai diprotes karena terlalu serius dan terkesan kaku atau dianggap mencederai fitrah saya yang slenge’an. Bahkan saya sempat ditelpon oleh seorang kepala tempat penahanan di Balikpapan sana yang mengeluhkan gaya saya yang tidak seperti biasanya. Baiklah saya terima kritik dan sarannya, memang sudah pada takdirnya saya tidak memiliki kapabilitas untuk menulis serius dengan bahasa yang ndakik-ndakik sehingga bisa dipertimbangkan untuk pengambilan kebijakan atau sekedar didiskusikan sebagai wacana dalam forum-forum ilmiah. dyampuut tenan….suuuuoog!!!
Ngestoaken dawuh Romoyai saya, dimulai dengan Bismillah….
Ide kegiatan kerja produksi di Lapas pada ujungnya pasti akan kembali menyandarkan "sanad"-nya pada prasaran dari Drs. Saroso dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan tahun 1964. Prasaran terkait "Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan" sampai saat ini masih menjadi salah satu acuan sosio-historis dalam menjelaskan bagaimana pentingnya narapidana bekerja.Â
Menurut Saroso, tingkat keberhasilan Pemasyarakatan dalam melakukan sebagian besar tugasnya tergantung pada bagaimana pelaksanaan organisasi karya narapidana ataupun Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan. Saroso juga menyatakan, memberikan pekerjaan kepada narapidana memenuhi dua tujuan, yaitu, Pertama; untuk menjaga ketertiban karena apabila narapidana setiap hari melakukan pekerjaan maka baginya tidak akan ada waktu untuk memikirkan keributan.Â
Kedua; pekerjaan narapidana dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan institusional serta dapat mendukung anggaran biaya negara. Lebih jauh dijelaskan Saroso, menjelaskan Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan ditujukan untuk mendidik dan membimbing serta menyiapkan kembali para narapidana ke masyarakat dengan menyatukan karyanya dalam pembangunan nasional untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.Â
Saroso menegaskan, untuk melaksanakan pengintegrasian perusahaan Lembaga Pemasyarakatan dalam ekonomi nasional, maka seharusnya apa yang disebut dengan perusahaan tersebut harus dikelola sesuai dengan bagaimana pengelolaan pekerjaan di masyarakat bebas. Baik dalam pengelolaan organisasi perusahaan, cara kerja, serta sifat pekerjaan maupun lamanya waktu kerja.Â
Tujuan hal ini adalah agar para narapidana di kemudian hari dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan di perusahaan umum di masyarakat.
Aktivitas kerja yang dilakukan harus relevan dan semaksimal mungkin diciptakan agar sejalan dengan pekerjaan normal yang bersifat menghidupi di masyarakat.Â
Asumsi dasarnya adalah bahwa pengalaman kerja yang teratur di dalam lembaga akan bermanfaat sebagai persiapan untuk pekerjaan setelah bebas dan dapat beradaptasi dengan kondisi pekerjaan sebenarnya di masyarakat. Selain itu pekerjaan dengan latar yang sama dengan apa yang akan mereka hadapi di masyarakat akan lebih memperjelas kegunaan dari pekerjaan itu sendiri.
Di dalam Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 di Jakarta, Drs. Saroso kembali menyampaikan kertas kerja berjudul Pekerjaan Narapidana di Bidang Produksi (Perusahaan dan Usaha Berdikari).Â
Menurutnya, pekerjaan narapidana merupakan masalah yang penting dalam administrasi pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, baik dipandang dari sudut keamanan, tata tertib, kesehatan, pendidikan, dan bimbingan, serta sebagai fungsi sosial.Â
Dalam fungsi sosial, pekerjaan narapidana bukan semata-mata ditujukan untuk komersial atau bersifat profit oriented, namun lebih dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasi dirinya sebagai pribadi, anggota masyarakat atau terlebih lagi sesuai dengan khittah-nya sebagai khalifahtullah di muka bumi. Maka melalui kegiatan kerja yang bermanfaat mereka dapat berperan utuh dalam mengabdi kepada Tuhan maupun menjalankan peranannya sebagaimana layaknya anggota masyarakat.
R.A. Koesnoen, juga melegitimasi bahwa pekerjaan narapidana itu adalah merupakan kewajiban yang diatur dalam Reglemen Penjara Pasal 57 s/d 64. Dimana yang dipidana penjara harus bekerja berat (yang dimaksudkan adalah pekerjaan yang harus menghasilkan) sedangkan yang dipidana kurungan dipekerjakan ringan menjadi korve.Â
Selain itu, Koesnoen juga berpendapat bahwa pemberian pekerjaan adalah salah satu terapi yang penting bagi orang-orang hukuman. Tiap-tiap orang hukuman, yang tidak sakit harus diberi pekerjaan penuh setiap harinya, selama 7 atau 8 jam.
Pada tingkat internasional, kegiatan kerja di dalam penjara diatur di dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR) yang disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa tahun 1955. Di dalam SMR ini ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap narapidana harus diminta untuk bekerja, yang bertujuan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Pekerjaan juga seharusnya disediakan untuk meningkatkan kemampuan narapidana dalam kehidupan yang baik pasca bebas dari penjara.
Namun prinsip lain di dalam SMR juga menegaskan bahwa minat dan kepentingan narapidana serta pelatihan vokasionalnya menjadi poin penting karena kegiatan kerja tersebut tidak dapat diletakkan di bawah kepentingan profit yang biasa dikejar di dalam sebuah aktivitas produksi.Â
Di dalam SMR juga ditegaskan bahwa harus ada sistem remunerasi (upah/premi) yang pantas dan wajar bagi narapidana yang bekerja.Â
Disamping itu narapidana harus diizinkan untuk membelanjakan sebagian dari upah yang dimilikinya untuk keperluan tertentu bagi dirinya atau mengirimkan sebagian lainnya kepada keluarganya atau mungkin dapat disisihkan sebagai tabungan yang diberikan kembali kepada narapidana saat yang bersangkutan bebas.
Tantangan terhadap implementasi praktik kegiatan kerja produksi di Lapas berangkat dari diskursus ide yang mendasari pelaksanaan kegiatan tersebut. Sistem Pemasyarakatan titik tekannya adalah latihan keterampilan kerja bukan produksi barang yang semata-mata untuk tujuan komersil. Hal ini lah yang mendasari perubahan konseptual perusahaan Lembaga Pemasyarakatan menjadi bengkel kerja narapidana pada tahun 1973.Â
Dengan surat keputusan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1973, ditetapkan bahwa nama perusahaan Lembaga Pemasyarakatan dirubah menjadi bengkel kerja narapidana. sebelumnya S.E. Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 27 Juni 1966 menetapkan penggolongan perusahaan besar di 7 lembaga (Cipinang, Cirebon Kuningan, Sukamiskin, Yogyakarta, Semarang, Nusakambangan, dan Surabaya) dan perusahaan-perusahaan sedang di 16 lembaga, sedangkan lain-lainnya digolongkan menjadi perusahaan-perusahaan kecil.Â
Kemudian berdasarkan kenyataan bahwa perusahaan tersebut tidak dapat berjalan lancar, maka dengan S.E. Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 1968 diadakan penyederhanaan dengan mengurangi jumlah perusahaan yang digolongkan dalam perusahaan sedang menjadi hanya di 4 lembaga (Pekalongan, Madiun, Malang, Pamekasan), sedangkan golongan perusahaan kecil dihapuskan.
Kegamangan terhadap ide kerja produksi di Lapas juga terjadi di luar negeri, dimana terdapat pertentangan antara tujuan pencapaian keuntungan ekonomis dari perusahaan dengan tujuan rehabilitatif dan reintegratif dari Lapas.
Karen Legge menyatakan bahwa seorang narapidana tidak datang ke penjara karena ia telah gagal sebagai pekerja, jadi penjara tidak mesti harus berubah menjadi sebuah pabrik dan dia sebagai pekerjanya.Â
Disisi lain ide ini juga dinilai sebagai sesuatu yang akan bersifat eksploitatif terhadap narapidana, karena walau bagaimanapun narapidana dianggap sebagai pekerja sebagaimana halnya pekerja bebas di masyarakat, namun dalam relasi kekuasaan antara narapidana dan Lapas, narapidana selalu berada dalam posisi yang subordinat.Â
Bahkan terdapat kecurigaan bahwa suplai tenaga kerja akan dipengaruhi oleh proses penegakan hukum dan ini dikahwatirkan akan menjadi pemantik munculnya kebijakan crime controlamodel sebagai cara yang digunakan untuk menambah suplai tenaga kerja murah di penjara.Â
Pekerjaan adalah sesuatu yang bersifat sukarela sehingga seseorang dapat keluar masuk ke dalam suatu pekerjaan secara bebas, dengan variasi upah/imbalan. Namun berbeda dengan narapidana di dalam penjara yang masuk bukan karena kesukarelaannya.
Secara optimis peluang kegiatan kerja produksi di Lapas dapat dipastikan sangat terbuka lebar, apalagi secara pengalaman Lapas sendiri telah mengalami banyak percobaan dalam penerapan konsep secara aplikatif.Â
Setidak-tidaknya praktik perusahaan Lembaga Pemasyarakatan ini mengalami berbagai transformasi dan pasang surut. Dan pada perkembangan terbaru ini kegiatan kerja produksi di Lapas tidak melulu urusan bisnis, kegiatan ini dibungkus dengan semangat sociopreneurship yang berbasis pada pemberdayaan dan tanggungjawab secara sosial.Â
Pola ini diharapkan memantik asebuah fenomena emergence society, bagaimana sebuah komunitas mengalami lonjakan kesadaran, lonjakan intelektualitas, dan lonjakan produktifitas yang kemudian berusaha mencukupi kebutuhan komunitasnya itu sendiri.
#series3
Tamat.
Jakarta, 27 Juni 2022
@Sastrokechu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H