Mohon tunggu...
The Sas
The Sas Mohon Tunggu... Seniman - Si Penggores Pena Sekedar Hobi

Hanya manusia biasa yang ingin mencurahkan apapun yang ada dalam isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Andai European Super League Terjadi

26 April 2021   14:42 Diperbarui: 26 April 2021   14:50 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika tanggal 18 April 2021 lalu ada pengumuman pembentukan kompetisi Liga Super Eropa alias European Super Legue (ESL), kukira itu cuma berita hoaks. 

Tapi ketika klub-klub top Eropa itu sendiri yang mengumumkan lewat situs resmi mereka, ternyata berita itu benar adanya. Memang sih sudah lama terdengar desas-desus pembentukan ESL, tapi pasti kita semua menyangka itu hanya terus sekedar wacana. 

Nyatanya "boom" sekarang terjadi, bro. Bayangkan, 12 klub raksasa Eropa bergabung didalam satu kompetisi. Ada 3 perwakilan Spanyol (Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid), 6 perwakilan Inggris (Manchester United, Manchester City, Liverpool, Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur), lalu 3 perwakilan Italia (Juventus, Inter Milan, dan AC Milan). 

Wow, mungkin selama ini hal tersebut cuma turnamen impian bagi para gamer sepakbola di playstation.

Terang saja, UEFA selaku badan sepakbola tertinggi Eropa kebakaran jenggot. Merasa terancam, Presiden UEFA, Aleksander Ceferin naik pitam dan balik mengancam: klub pemrakarsa ESL dilarang ikut kompetisi lokal negara masing-masing, ditambah para pemain mereka juga tak boleh membela timnas di ajang Piala Eropa dan Piala Dunia. 

Setali tiga uang dengan FIFA sebagai "dewa tertinggi sepakbola dunia yang kekuasaanya tak mampu digugat oleh negara manapun di dunia ini, walaupun pengurusnya pernah terlibat kasus korupsi", mereka jelas mendukung UEFA. 

Mereka menganggap ESL adalah liga yang memisahkan diri dari sepakbola Eropa dan berada di luar struktur sepakbola internasional. Ujung-ujungnya juga mengancam bakal ngasih sanksi jika ada klub Eropa yang tetap nekad terlibat ESL.

Diancam sedemikian rupa, Presiden Real Madrid sekaligus Ketua ESL, Florentino Perez justru menertawakan. Menurutnya itu tidak akan terjadi, karena hukum akan melindungi mereka. Sama halnya agen pemain yang siap ke jalur hukum jika pemain mereka jadi korban dari sanksi atas keterlibatan klub.

Berita pengumuman ESL memang bikin heboh seluruh dunia. Ada yang pro dan kontra. Kebanyakan sih menentang. Orang-orang ramai menghujat (dari mulai pemain, legenda klub, pelatih, pengamat sampai para fans). 

ESL dipandang sebagai bentuk keserakahan para klub raksasa Eropa yang antipati terhadap klub kecil, juga dikhawatirkan akan mematikan nilai-nilai dan sejarah sepakbola itu sendiri. 

Buntut dari protes besar-besaran terutama dari kelompok suporter masing-masing tim, akhirnya dalam waktu 48 jam banyak klub pendiri yang kemudian meminta maaf dan memutuskan untuk menarik diri dari ESL.

Mungkin kesalahannya, berita pengumuman ESL itu langsung tiba-tiba tanpa adanya sosialisasi. Ke-12 klub raksasa itu tidak mempertimbangkan pendapat para pemain, manajer, dan suporter. 

Jadi wajar mereka marah. Nah, pertanyaannya: bagaimana nanti bila sudah ada sosialisasi dan akhirnya para fans menyetujui ESL demi kebaikan klub favorit mereka?

Akibat dari pandemi memang meluluhlantakkan perekonomian dunia, termasuk sepakbola. Salah satu pemasukan utama klub yakni tiket penonton menjadi nihil, karena para suporter dilarang masuk stadion dengan alasan protokol kesehatan. 

Jangan tanyakan klub kecil, klub besar pun kelimpungan dengan hutang mereka yang menggunung "lebih besar pasak daripada tiang". Belum lagi membayar transfer dan gaji pemain, apalagi bintang top yang bayarannya selangit, sehingga dibuatlah kebijakan pemotongan gaji. 

Jika situasi tak juga membaik, sementara finansial makin jeblok, bisa-bisa kedepan bakal ada klub yang bangkrut. Sekarang saja ada pemilik klub besar yang menawarkan sebagian sahamnya untuk dijual.

Entah benar atau tidak, Florentino Perez meyakini bahwa inisiatif ESL yang digagas mereka adalah upaya untuk menyelamatkan sepakbola pasca kesulitan ekonomi akibat pandemi. 

ESL diklaim akan menawarkan hadiah finansial yang jauh lebih menguntungkan ketimbang sistem yang ditawarkan oleh UEFA saat ini. 

Rencananya ESL akan melibatkan 20 tim dalam sebuah format liga (kandang-tandang). Menariknya, 15 dari 20 tim tersebut adalah anggota permanen kompetisi ini dan tidak akan degradasi. Adapun lima tim tersisa akan dirotasi tergantung performa.

Mari kita berkhayal andai ESL terjadi. Para petinggi 12 klub pendiri tetap nekat membangkang dan tak menghiraukan ancaman UEFA dan FIFA. Lalu klub-klub raksasa itu dijatuhi sanksi tidak boleh bermain di kompetisi domestik negara masing-masing, kemudian para pemainnya dilarang tampil di Piala Eropa dan Piala Dunia. 

Pertanyaannya sih simpel: siapa yang mau menonton liga tanpa kehadiran klub-klub top tersebut? La Liga tanpa kehadiran Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid adalah mustahil. Premier League tanpa adanya "The Big Six" (MU, Liverpool, Chelsea, City, Arsenal, dan Tottenham) apalah artinya. Serie A tanpa trio Juventus, Inter Milan, dan AC Milan pasti hambar. 

Piala Eropa dan Piala Dunia yang tanpa diperkuat para pemain besar dari klub-klub top dijamin akan sepi peminat dan tak akan megah. Ujung-ujungnya UEFA dan FIFA sendiri yang blingsatan. 

Hari ini badan tertinggi sepakbola tersebut boleh jumawa karena rencana ESL batal. Klub-klub raksana itu mundur terutama karena tekanan hebat dari para suporter mereka sendiri. 

Balik lagi pertanyaan diawal: bagaimana nanti bila sudah ada sosialisasi dan akhirnya para fans menyetujui ESL demi kebaikan klub favorit mereka?

Maaf, saya memang suka berandai-andai dan mengkhayal, hehe. Semoga itu tidak terwujud. Karena kalau iya, keributan besar akan terjadi. Memang dominasi dalam sepakbola itu kurang baik. 

Semua klub, termasuk tim kecil, punya kesempatan yang sama untuk jadi juara dan ikut turnamen bergengsi seperti Liga Champions. Dari dulu filosofi "bola itu bulat" sudah terkenal dalam olahraga ini. 

Tak ada yang bisa memprediksi hasil pertandingan sebelum peluit panjang wasit berbunyi setelah waktu 90 menit. Tim yang dijagokan belum tentu selalu menang melawan tim yang kurang diperhitungkan. Satu contoh aktual, siapa yang menyangka Leceister City asuhan Claudio Ranieri bisa menjuarai Premier League pada musim 2015/2016?

Cuma kita para pecinta sepakbola ini jangan munafik. Memang kita berharap ada tim kejutan biar seru pertandingan. Tapi keinginan itu hanya sesekali. Karena jujur dari hati yang paling dalam, kita pasti mengharapkan tim besar dengan para pemain top-lah yang bersaing dan jadi pemenang. 

Tunjuk jari kalian yang nonton tim antah berantah Eropa yang bermain di babak penyisihan grup Liga Champions?! Atau andai ESL terlaksana, masih maukah kalian menonton final Liga Champions yang menyajikan duel tim semenjana seperti Atalanta versus West Ham?

Wah, lagi-lagi berandai, haha.

(Bangka, 26 April 2021/dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun