Mohon tunggu...
The Sas
The Sas Mohon Tunggu... Seniman - Si Penggores Pena Sekedar Hobi

Hanya manusia biasa yang ingin mencurahkan apapun yang ada dalam isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan demi Dirimu (Part 2)

21 September 2020   22:39 Diperbarui: 17 Januari 2021   11:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
terkini.bgt.blogspot.com

Cinta adalah anugerah. Cinta adalah perasaan sangat manusiawi yang dialami seluruh penghuni jagat raya ini. Seperti sifat magnet dalam ilmu sains yang akan tarik- menarik jika sejenis, begitu pun cinta yang akan begitu indah terkorelasi jika menyatukan dua hati yang saling mencintai dan dicintai.

Tapi bagaimana bila perasaan yang sudah sekutub itu tidak dapat bersatu? Sakit mungkin, apalagi jika dialiri sungai rindu yang meluap-luap sehingga tembok bendungan sekokoh apapun takkan mampu menahannya.

Hal itu yang dirasakan dua anak manusia bernama Max dan Nissa. Mereka saling cinta dan rindu, tapi mereka tidak dapat bersama hanya karena ego dan prinsip.

"Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, jadi aku tak pantas untuk dirimu. Aku doakan semoga kelak dirimu mendapat jodoh yang mampu mendampingimu dunia dan akhirat. Amiiin."

Tetes air mata Nissa jatuh membasahi surat Max. Kalimat terakhir, karena sejak saat itu Nissa tidak tahu lagi keberadaan pemuda tersebut.

   ###

Buku tebal itu dibuka tapi tidak dibaca, karena pikiran si empunya buku terbang entah kemana. Gadis cantik berjilbab itu hanya menatap kosong aglonema di luar jendela.

"Ehem, belajar apa melamun?"

Nissa tersadar mendengar suara tersebut.

"Ayah," kata Nissa tersipu malu. "Bikin Nissa kaget saja."

Laki-laki setengah baya itu tersenyum hangat dalam sosok berwibawa. Beliau Ustadz Umar, ayah Nissa, seorang tokoh alim ulama yang dihormati masyarakat.

"Memikirkan apa, Nak?" tanya Ustadz Umar lembut kepada putrinya.

Nissa menggeleng. " Tidak ada apa-apa, Yah," ucapnya.

"Hmm, sejak kapan putriku ini mulai belajar berbohong kepada orangtuanya," tukas Ustadz Umar menyunggingkan senyumnya. "Siapa laki-laki itu ?"

Pipi Nissa mulai merona merah. "Ayah, apa-apaan sih ?"

" Hahaha...Ayahmu ini juga pernah muda sepertimu putriku, jadi jangan bohongi Ayah," Ustadz Umar kemudian menarik kursi dan duduk di dekat putrinya. "Waktu muda dulu Ayah berjuang keras untuk mendapatkan gadis pujaan Ayah. Begitu banyak halangan."

Nissa tersenyum, tertarik mendengar cerita ayahnya. "Apakah orangtua gadis itu menolak Ayah?" tanyanya.

"Bukan menolak, tapi selektif memilih calon pendamping yang baik untuk putri mereka. Bukan karena harta, tapi iman,taqwa dan akhlak," lanjut Ustadz Umar. "Tidak itu saja. Banyak sekali saingan Ayah yang antri berusaha merebut hati gadis pujaan Ayah. Tapi Ayah tak menyerah."

"Lalu Yah, apakah Ayah berhasil mendapatkan gadis pujaan Ayah?" tanya Nissa penasaran.

"Ya iyala, masa ya iya dong," Ustadz Umar mengutip kalimat gaul. " Gadis pujaan Ayah itu adalah ibumu, hehe"

Nissa tak kuasa menahan tawanya.

Ustadz Umar menatap putrinya dengan senyum menyejukkan, " Dulu Ayah pernah berkata kepadamu untuk mencari laki-laki keluaran pesantren, tapi itu Ayah cuma menyarankan bukan memaksakanmu Nak. Pilihlah laki-laki yang bisa menjadi pendamping hidup yang baik untukmu. Syarat utama tak bisa ditawar, dia mesti seiman, Islam, umatnya Nabi Muhammad SAW. Satu lagi, laki-laki itu manusia ikhlas. Dia ikhlas beribadah bukan karena riya', tapi karena Allah SWT semata. Dia ikhlas mencintaimu seikhlas dia siap kehilanganmu asalkan dirimu bahagia."

Nissa tersenyum bahagia. Sosok Ayah tercinta itu akan selalu ia rindukan seumur hidupnya. Suara bijak dan senyum hangat itu akan selalu ia kenang selamanya. Karena seminggu kemudian Ustadz Umar berpulang ke rahmatullah karena kecelakaan motor.

###

Beberapa tahun kemudian. Nissa yang telah bekerja di sebuah MTs negeri di kota lain, baru saja pulang ziarah dari kubur ayahnya.

Hari ini ia akan dikenalkan oleh pamannya kepada seorang pemuda, yang konon menurut cerita pamannya adalah seorang pemuda alim yang gemar bersedekah.

Sebenarnya Nissa malas dijodoh-jodohkan seperti ini, walaupun ia sendiri tahu Islam tidak mengenal istilah pacaran. Tapi demi menyenangkan ibunya apa salahnya Nissa bertemu, toh tidak akan merugikan dirinya.

"Anggap saja ini silaturahmi, Nak," kata Ibunda Nissa. " Jika dirimu tiada berkenan, tidak apa-apa. Tapi jika pemuda ini adalah jodohmu, alhamdulillah, karena Ibu tidak sabar lagi untuk menimang cucu."

"Ibu," Nissa pura-pura merajuk lalu tersenyum.

Anak dan ibu itu kemudian keluar kamar menuju ruang tamu. Karena di sana sudah menunggu Paman Ali dan pemuda yang di ceritakannya.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikumsalam...."

Astaghfirullah, ternyata pemuda berpakaian rapi itu...

"Max??" ucap Nissa terkejut.

Pemuda itu juga kaget, tapi bisa menahan sikapnya. Kalem.

"Namaku Muhammad Iqbal. Max itu panggilanku waktu dulu," kata Max, eh, Iqbal.

Suasana di rumah itu menjadi hangat.

"Oo,jadi kalian sudah saling kenal ya? Alhamdulillah," Paman Ali menadahkan tangannya.

Hmmm... ternyata Allah sudah menyiapkan skenario cerita untuk umatnya yang bertaqwa. Dua anak manusia yang saling mencintai di jalan-Nya. Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia hingga ajal menjemput. (TAMAT)

(Bangka, dari arsip pribadi Mei 2010)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun