Empat mug beda bentuk teronggok di sudut kamar. Semuanya menanggung ampas kopi yang mengering di dasarnya. Tak tersentuh entah berapa waktu. Tiga buntalan kertas pembungkus nasi ikut menemani dalam ikatan karet yang menggulung asal-asalan. Semuanya membisu di atas lantai dingin, lembab, dan berdebu tebal.
Tuan Kesepian tergolek di situ. Merenung di dalam kamar kos. Ia tidak pernah pergi berkencan, karena dia terlalu sibuk dengan lembur yang berkepanjangan. Tak beralasan, bahwa waktu yang sangat berharga menguap begitu saja untuk sekadar internet-an. Bisa dipastikan, bahwa di usianya yang lewat tiga puluhan tahun, ia masih melajang. Menolak dijodohkan. Ia tak pernah peduli dengan perkara lain selain dirinya sendiri.
"Lagi apa?" Juga "Apa kabar?" pesan singkat dari Bapaknya. Tuan Kesepian hanya menjawab seperlunya. "Baru pulang" dan "Baik-baik saja."
"Ya sudah. Hati-hati di sana, jangan lupa salat, ya." Pesan Bapaknya yang disahut dengan balasan singkat: "Ya, Pak."
Tuan Kesepian jauh dari menarik. Ia terlihat mengerikan dalam kondisi macam apa pun. Perutnya buncit seperti pantat mangkuk yang tergolek di bawah dipannya, kulitnya hitam lagi keriput. Jerawat di kulit wajahnya terlihat seperti jamur-jamur di musim hujan semakin memperparah lekuk wajahnya yang bulat kusam tertutup debu nikotin. Hidung yang tak mancung dan rambut yang berantakan benar-benar merusak pemandangan. Seringkali, tangannya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang ketombean, di tempat umum dan keramaian."Oh, tuhan, sungguh menjijikkan. Mana ada perempuan yang tahan di dekatnya."
Mengapa pria itu bagai surga dan neraka dibandingkan kedua orangtuanya? Ibu dan Bapaknya, cantik dan tampan. Sungguh, mereka kerap merasa bingung dengan anak sulungnya yang sama sekali tak menunjukkan kesan bahagia. Sangat jauh berbeda dengan penampilan adiknya yang selalu mengikuti larinya zaman. Hanya postur tinggi jangkung dan kecerdasan di atas rata-rata yang dapat dibanggakan. Sungguh sangat disayangkan, bahwa ia juga tidak terlalu suka dengan kegiatan berolahraga.
Orangtuanya adalah tipe orang tua yang penuntut yang kerap meneror Tuan Kesepian dengan pertanyaan-pertanyaan yang kejam di saat mudik lebaran.
"Kapan kamu menikah?" Itu pertanyaan yang selalu berulang pada satu jam pertama saat Tuan Kesepian beradu muka dengan kedua orangtuanya.
"Nanti, Bu. Nanti, Pak, belum saatnya saya menikah."
Begitulah jawabnya yang dibalas dengan raut wajah kecewa dari kedua orangtuanya.
Kata Ibunya, "Apa kamu tidak punya pacar?"
"Belum ada," jawabnya.
Kata Bapaknya, "Apa perlu Bapak carikan?"
Tuan Kesepian mendengus. Kentara ia tidak nyaman dengan tawaran yang merendahkan kemampuannya, "Tidak usah. Saya bisa cari sendiri."
Lain lagi kata adiknya, "Halah, dasar bencong!"
"Diam, Kau, jahanam!" Kutuknya dengan penuh dendam.
Sayangnya, Tuan Kesepian tidak pernah sekalipun keluar dari kamar kos-nya, bahwa ia bangkit berdiri hanya untuk sekadar mencari segayung air di kamar mandi pembasuh muka dan menggosok gigi.
Sepanjang hidup, Tuan Kesepian memendam begitu banyak kebencian pada saudaranya. Bagaimana bisa, ia dilahirkan begitu tampan, juga populer, dan digilai banyak gadis remaja? Jawabannya, apalagi kalau bukan dengan perawakan berotot nan atletis, serta hidung mancung, kulit putih dan senyum menawan yang sanggup melelehkan hati setiap orang? Kesempurnaan yang selalu dikhayal-khayalkan oleh Si Tuan Kesepian.
Sementara Si Tuan Kesepian tak lebih dari seorang kutu buku buruk rupa yang tak punya teman. Di sekolah, Ia juga selalu diejek karena penampilannya yang culun dan pemalu. Itu sebabnya, ia tidak pernah mau datang dalam setiap undangan acara-acara reuni. Ia pikir, reuni hanya akan menjadikan dirinya bahan olok-olokan. Dia berharap bahwa jalannya takdir suatu saat akan berpihak kepadanya.
Di usia muda Tuan Kesepian tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Tapi Dia selalu bersyukur. Maka apa yang akan dilakukan dunia terhadapnya, selain memberikan kesedihan dan penderitaan, lalu perlahan-lahan mengantarkannya kepada gerbang kesuksesan?
Dia tidak juga menikah, tapi pada masa lalu ia memiliki karier yang bersinar menyilaukan. dengan penghasilan yang tinggi, yang memungkinkannya untuk menumpuk kekayaan yang menggunung. Uang bukan lagi jadi masalah untuk memenuhi kebutuhannya. Adalah royalti beratus-ratus juta yang dihasilkan dari pekerjaannya sebagai seniman sastra. Sebuah profesi yang dianggap oleh kedua orangtuanya sebagai hobi yang sia-sia dan buang-buang waktu saja.
Tidak seperti saudaranya yang bekerja sebagai pegawai negeri yang meskipun bergaji rendah, namun menjamin kesejahteraan sampai di hari tua. Dengan catatan, jika berhasil memasuki masa pensiun dengan pangkat setingkat jenderal.
Tuan Kesepian adalah novelis paling dicari penerbit pada masa kejayaannya. Sepuluh tahun ia rintis profesi itu dengan merangkak melalui koran-koran daerah yang mau menerima cerpennya. Pelan namun pasti, dari cerpen ia beranikan nyali untuk mengirimkan novelnya. Jemarinya seperti pendongeng ajaib, daya imajinasinya menembus batas dan sekat realita. Novelnya bestseller. Penerbit mengantre menunggu karyanya. Media berebut mengundangnya untuk talkshow. Royalti menjadi makanan yang menggendutkan sederet rekening tabungannya. Pesta digelar untuknya.
Sorot lampu menyilaukan di panggung dan televisi hanya terarah pada sosok novelis itu. Easy come easy go. Roket pada akhirnya akan hilang di pekatnya atmosfer saat tak mampu menjaga apinya. Novelis itu pun masuk ke lumpur hedonis, pesta pora yang merengut waktu-waktu kreatifnya. Otak imajinasinya dibekukan oleh gelegak buih alkohol di setiap pesta sepanjang malam. Tak ada lagi karya mengagumkan lahir dari imajinasi seorang pemabuk.
Maka sang waktu pun punya peluit juga. Melengkingkan jerit bahwa masa keemasan akan berganti mendung tebal. Dan inilah waktunya, pada suatu sore di kota Sendawar, hanya ada satu hal yang menunggunya; di mana rasa sakit hati akibat ditinggal kawin, digantikan oleh suara-suara telepon berdering perempuan-perempuan labil. Betapa dulu ia sangat membenci dunia.
Kapankah semua kemewahan itu akan berbalik lagi padanya? Rasa-rasanya masih belum akan terwujud dalam waktu dekat. Nyatanya, Si Tuan Kesepian masih berkutat dengan hal-hal yang sama. Tergolek malas di atas dipannya, menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut biru tua yang baunya hanya disukai kecoa, semut, dan lalat. Khawatir, menunggu sisa-sisa royalty yang tak juga masuk ke rekening. Di dalam telepon, ia mendengar suara adiknya yang sedang bercengkerama dengan anak-anaknya, serta keluh-kesah ibunya yang stres karena seminggu sebelum lebaran, Ia tak juga pulang. Sayup-sayup terdengar sumpah-serapah Bapaknya yang berisikan nada-nada kekecewaan atas anak tertuanya yang tak bisa datang.
Apa boleh buat, isi rekening tabungannya habis dipakai untuk membayar utang. Rencana untuk kembali menjadi orang yang sukses mengendap bersama lembabnya kamar kos tanpa kehidupan itu.
Begitu telepon ditutup, Tuan Kesepian mendengarkan musik yang menggelegar dari laptop-nya-menulis sebuah karya masterpiece yang tidak juga akan membuatnya kembali terkenal dan kaya raya di masa tuanya. Dia ingin sekali lagi membuat semua orang histeris berteriak menyebut namanya. Sayangnya, semua imajinasi itu tidak akan pernah menjadi soneta yang nyata.
Ketika waktunya tiba, akan ada sudut pandang baru, tentang Si Tuan Kesepian yang semakin menua dalam setelan kemeja lusuh dan celana jeans-nya yang sudah luntur; Seorang Pria tua yang miskin dan sebatang kara. Ditemani cangkir-cangkir kotor teronggok penuh debu dan jamur.
-Selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H