Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mekar untuk Gugur

18 Oktober 2024   20:48 Diperbarui: 18 Oktober 2024   21:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mekar untuk Gugur - (Dokpri-AN Sastra)

Bab 5 - Mekar Untuk Gugur (Asmara Renjana)

Dalam pelukan senja yang membara, Balarama melangkah keluar dari rumahnya, menantang bayang-bayang kesunyian yang menjalar seperti akar pohon tua. Langit yang menghamparkan warna jingga dan ungu bagaikan lukisan emosi yang merayakan transisi antara terang dan gelap, menyiratkan bahwa malam akan segera menggenggam dunia.

Setiap langkahnya terasa seperti ketukan pintu menuju sesuatu yang tak terduga, jantungnya berdebar kencang, merasakan tarian harapan dan ketakutan beradu dalam harmoni yang penuh makna. Dia tahu bahwa pertemuan dengan Asmara dengan segala kerentanan dan kebisuannya adalah langkah yang tak terhindarkan, sebuah perjalanan untuk mengurai benang-benang kusut di dalam hati dan menemukan cahaya di balik kabut ketidakpastian.

Dalam momen-momen itu, Balarama merasakan bahwa langkahnya bukan hanya sekadar fisik, tetapi juga sebuah pengabdian kepada cinta yang tak pernah padam meskipun samar bewarna abu-abu, menyiapkan diri untuk menyambut segala kemungkinan yang akan datang.

malam telah berlalu, pagi kembali menghadirkan keraguan pada Balarama, namun dengan keyakinanya ia melangkah dengan keberanian menuju taman tempat balarama dan asamara renjana sering menghabiskan waktu bersama.

Ketika ia tiba di taman yang menjadi saksi bisu cinta mereka, Balarama melihat Asmara sudah berada disana, duduk di bangku kayu, wajahnya tertunduk, seolah sedang berbicara dengan bayang-bayangnya sendiri. Sinar senja menyentuh wajahnya, menyoroti kesedihan yang terpendam. Balarama merasakan tarikan emosional yang kuat; rasa rindu dan cinta yang terperangkap di dalam dadanya.

"Asmara," panggilnya, suaranya nyaris bergetar. Asmara mengangkat wajahnya, dan dalam tatapan itu, Balarama melihat seribu pertanyaan, seribu ketakutan. Dia melangkah lebih dekat, merasakan jarak di antara mereka, jarak yang tercipta oleh kebisuan dan kesalahpahaman.

"Aku rindu," ucap Balarama lagi, kali ini lebih yakin. "Rindu suara hatimu, rindu tawa yang pernah membuatku merasa hidup."

Baca juga: Pil Kadal

Asmara terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Balarama. Kemudian, perlahan-lahan, bibirnya mengulas senyuman yang samar. "Aku pun rindu, Balarama. Rindu saat-saat kita berbagi cerita tanpa takut kehilangan, namun...." kata-kata itu terhenti, seakan tak kuasa untuk melanjutkanya.

Mereka terdiam, namun kali ini, diam itu terasa berbeda. Ada kehangatan yang menyusup, mengalir melalui jarak yang sempat memisahkan mereka. Balarama mengambil napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk menyelami ketidakpastian ini.

"Asmara," katanya, "apa yang terjadi antara kita? Mengapa kau memilih diam? Mengapa kita membiarkan cinta ini terbenam dalam kesunyian?"

Asmara menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Balarama melihat kedalaman emosional dalam matanya. "Aku takut," jawabnya pelan. "Takut akan semua hal tentang kamu, tentang kita, aku takut kenyamanan ini kelak memenjarakan kiya berdua, tapi.. aku juga tajut kehilangan, takut jika semua ini hanya ilusi. Aku menganggap lebih baik diam daripada berisiko melukai hatimu lagi, atau mungkin hati kita."

Mendengar kata-kata itu, hati Balarama mencelos. "Tapi dengan diam, kita justru membiarkan rasa sakit semakin dalam. Cinta tidak seharusnya terjebak dalam ketakutan, Asmara. Kita harus berbicara, saling membuka diri."

"Dari mana kita mulai?" tanya Asmara, suaranya bergetar.

"Mulai dari kita," kata Balarama. "Kita adalah awal dan akhir dari kisah ini. Kita harus saling percaya lagi, berjanji untuk tidak membiarkan kesunyian menjadi penghalang."

Balarama dan Asmara tidak lagi terjebak dalam labirin kesunyian, tetapi menemukan jalan menuju satu sama lain. Di tengah kegelapan, mereka berdua menemukan cahaya yang saling memandu.

"Dari sini, kita mau kemana?" tanya Asmara, senyum penuh harapan di wajahnya.

"Ayo kembali," jawab Balarama. "Kembali kepada pada cerita kita, kembali kepada kepercayaan. Kita akan mengukir kisah baru, dengan lebih cerita."

mereka berdua saling menatap tajam, senyuman di antara mereka bagai bunga yang mekar segar diantara taman yang hampir saja tanahnya kekeringan. namun.. seakan nasib mempermainkan mereka, ketika orang tua asmara renjana yang dari awal memang selalu waspada dengan hubungan mereka, memberikan kabar kalau asmara renjana harus segera ikut pergi menuju kota lain untuk sementara waktu. hal ini tidak lain adalah alasan orang tuanya agar asmara renjana berjarak dengan Balarama.

Dunia serasa runtuh dalam gengaman tangan mereka, baru saja perdamaian mereka disaksikan semesta, namun nasib seakan ingin membentur keyaninan mereka dengan semua hal yang mulai membuat Balarama muak dengan kehiduan yang dianggapnya di ciptakan dari penderitaan umat manusia.

Airmata asmara yang di sembunyikan di antara pelukan Balarama tak mampu di bendungkan lagi, seeangkan mata Balarama yang merah menyala seakan ingin menghujat kehidupan yang di anggapnya sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun