Bab 4 - Monolog Tanpa Dialog (Asmara Renjana)
Senja kembali hadir, seperti tamu tak diundang yang datang setiap hari, membawa kilasan cahaya lembut sebelum ditelan gelap. Balarama duduk di tepi jendela, menghadap ke luar, menyaksikan langit yang seolah ingin berbicara tapi terdiam, seperti dirinya yang tak lagi punya suara. Tangannya menggenggam pena, tetapi jemarinya gemetar setiap kali menyentuh kertas.
Di hadapannya, lembar-lembar puisi yang ia tulis berserakan, memantulkan kegundahan hatinya yang semakin sulit diucapkan. Setiap kata yang tertulis adalah irisan luka yang semakin dalam, setiap bait adalah jerit yang tak bisa disuarakan.
Dia mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Asmara. Seperti menyaksikan ulang sebuah drama sunyi, di mana tak ada dialog, hanya tatapan kosong dan kebisuan yang menghancurkan.
Saat itu, Balarama mencoba membuka percakapan, berharap suara hatinya bisa sampai kepada Asmara. Tapi, yang ia dapatkan hanyalah bentakan kebisuan yang lebih tajam daripada belati. Tak ada ruang untuk penjelasan, tak ada tempat untuk mengungkapkan perasaan. Kebisuan Asmara adalah tembok tebal yang tak bisa ia tembus, dan di balik tembok itu, Balarama terjerat dalam labirin perasaannya sendiri.
"Asmaraku..." tulisnya pelan, kata-kata mengalir seperti darah yang keluar dari luka yang tak kunjung sembuh.
"Aku telah berusaha memahami kesepianmu, menunggu saat kau akan bersuara. Aku mencoba menjadi angin lembut yang menyusup di sela-sela kebisuanmu, berharap bisa menenangkan hatimu. Tapi, setiap kali aku mencoba bicara, kau memaksaku untuk diam. Dan setiap kali aku diam, aku merasa semakin jauh darimu. Kini aku sadar, bahwa mungkin aku tidak pernah benar-benar mengenalmu, tidak pernah benar-benar memahami mengapa hatimu begitu sunyi, begitu tak terjangkau."
Balarama berhenti menulis, menatap pena di tangannya. Pena itu, yang dulu menjadi alat untuk merangkai puisi penuh cinta, kini hanya menggoreskan luka di hatinya. Setiap kata yang ia tulis membawa kenangan tentang Asmara, tapi kenangan itu tidak lagi hangat.
Kini, kenangan itu terasa seperti duri yang menancap di dadanya, menghimpit perasaannya dengan rasa sakit yang tak terelakkan. Namun, di balik semua rasa sakit itu, Balarama tetap memilih untuk bertahan, berharap ada sedikit cahaya yang bisa ia temukan di balik kegelapan kesepian Asmara.
"Aku telah mencoba segalanya," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku telah menawarkan cinta, kesabaran, pengertian... Tapi mengapa rasanya semua itu sia-sia?"
Ia menatap senja yang mulai memudar, memberikan sedikit ruang bagi dirinya untuk benar-benar merasakan patah hati. Balarama tidak lagi melawan perasaan itu, ia tidak lagi berusaha menyembunyikan kekecewaannya di balik senyuman yang dipaksakan. Kali ini, ia membiarkan hatinya tenggelam dalam keheningan, membiarkan luka-lukanya terbuka lebar, merasakan setiap getaran sakit yang menghampiri.
"Mungkin," pikirnya, "aku benar-benar gagal memahami kesepianya."
Sementara itu, di tempat lain, Asmara duduk sendiri di kamarnya, menatap kosong pada secarik surat yang belum ia kirimkan. Surat itu berisi kata-kata yang ia tulis dengan penuh keraguan, mencoba merangkai perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat di dalam dirinya. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi selalu ada sesuatu yang menahannya.
Kebisuannya telah menjadi penjara, dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana. Setiap kata dan kalimat seakan tidak bisa menggambarkan betapa sunyinya hatinya selama ini.
Asmara memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang Balarama kembali menghampirinya.
Ia teringat pada cara Balarama tersenyum, pada suaranya yang lembut saat membaca puisi, pada kehangatan yang selalu hadir setiap kali mereka bersama.
Namun, semakin lama ia mengingat, semakin dalam rasa bersalah menghantam hatinya. Asmara tahu, Balarama terluka, dan semua itu karena kebisuannya. Ia sadar, ia telah membiarkan jarak tumbuh di antara mereka, Ia terjebak pada ketakutanya terhadap jarak yang begitu lebar, hingga ia takut tak mampu lagi bisa menjangkau Balarama, meskipun hanya dengan satu kata.
"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Asmara bertanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam. "Apakah aku ingin dia kembali, ataukah aku hanya takut merasa sepi lagi?"
Di bawah cahaya rembulan yang tertutup awan, Asmara mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi. Setiap kalimat seolah mewakili perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
"Balarama, pada akhirnya aku hanya bisa berkata bahwa aku terjebak dalam kesepianku sendiri. Aku tidak pernah bermaksud melukaimu, tapi kesunyian ini terlalu dalam, terlalu kuat untuk kuatasi sendirian. Maafkan aku, jika akhirnya hanya luka yang kau dapat dariku."
Dengan hati yang berat, Asmara melipat surat itu dan menyimpannya di antara celah halaman buku catatannya. Ia belum siap untuk mengirimkannya, belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa mungkin semua sudah terlambat.
Di sudut kota lain, Balarama masih duduk di tepi jendelanya, memandangi langit yang mulai gelap. Ia menatap lembaran kertas di hadapannya, penuh dengan puisi-puisi yang tak lagi bermakna. Dengan satu tarikan nafas panjang, ia memutuskan untuk menulis bait terakhirnya.
"Asmara Renjana, kekasihku yang sunyi," tulisnya perlahan. "Aku telah mencoba memahamimu, mencoba menembus kebisuanmu. Namun pada akhirnya, aku sadar bahwa mungkin kau memang tidak pernah ingin dipahami. Mungkin, kebisuanmu adalah caramu melindungi hatimu dari rasa sakit yang kau tahu akan datang. Asmaraku, aku merasa gagal menjadi seorang yang bisa memahami kesepianmu, pada ujung air matamu, aku melihat diriku yang tidak berguna, seakan angin memaksaku untuk ikhlas menerbangkan semua kertas-kertas puisiku, Asmaraku, apakah aku gagal?."
Balarama menutup puisinya dengan satu kalimat terakhir yang penuh kepasrahan. "Jika cinta ini adalah takdirku, maka biarkan aku jatuh dalam patah hati yang sempurna. Biarkan aku belajar mencintaimu dari jauh, tanpa berharap kau akan kembali."
Senja telah hilang, dan malam datang membawa kegelapan. Di bawah langit yang sama namun di tempat yang berbeda, Balarama dan Asmara merenungi nasib mereka masing-masing, mencoba memahami cinta yang telah memisahkan mereka. Di dalam hati, mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka belum usai, tapi untuk saat ini, hanya kesunyian yang menjadi teman mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H