Mohon tunggu...
An.Sastra
An.Sastra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Kebisuan - Asmara Renjana

7 Oktober 2024   01:37 Diperbarui: 7 Oktober 2024   04:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 3 -Asmara Renjana- : Pada Kebisuan 

Sinar mentari menyemburat di antara awan yang masih bersisa, menciptakan pelangi yang menjembatani langit dan danau. Balarama dan Asmara Renjana berdiri di tengah keraguan masing-masing, kebisuan di antara mereka seakan menyekap kata-kata.

Sesekali Balarama melirik wajah Asmara yang tampak sepi dan penuh kebisuan. Nafas panjang Balarama hirup dan ia hembuskan bersamaan dengan kepatah hatianya, bagai menyaksikan kebisuan pada sebuah gitar yang kehilangan senarnya.

Dengan berat Balarama membuka bibirnya dengan gemetar sembari mengucapkan kata yang tampak berat ia ucapkan.

"Asmara, aku harus pulang dan kembali, sebab kebisuanmu kali ini benar-benar membuat hatiku tersesat pada ruang hampa tanpa rambu penunjuk arah, bagai mawar yang gugur di tepi jurang, lalu daunya di terbangkan angin tanpa arah." ucap Balarama tanpa berani melihat sorot mata asmara yang seketika Berkaca-kaca menahan tangis, tapi masih dalam kebisuan.

"Tidak perlu kau jawab asmara, aku tau bibirmu kaku untuk berseru, biarkan aku pulang dengan membawa semua kesepianku, juga membawa kesepianmu," ucap Balarama tanpa keraguan meninggalkan bayangan asmara yang kian samar dan lenyap, beriringan dengan langkah kaki yang menjauh.

Wajah Asmara bagai mendung gelap yang seketika menjatuhkan air mata yang tidak bisa dia tahan lagi. Seakan mengutuk sunyi karena telah membiarkan bayangan Balarama pergi membawa kebisuan.

Mereka memutuskan untuk menjalani hari paling sunyi dengan membawa kepatah hatian. mereka menjelajahi jalanan kota yang berbeda, setiap sudut membawa kembali cerita dan ingatan pada masing-masing kepala. Seolah masa lalu dan masa kini bersatu, membentuk jalan menuju kesepian baru.

Baca juga: Asmara Renjana

Asmara dengan segala kekecewaanya mengutuk kepergian Balarama, sedangkan Balarama dengan segala patah hatianya masih tenggelam dalam kebisuan Asmara. Namun, semesta seakan tau kebenaran atas keraguan mereka berdua, badai rindu seakan murka mendatangi kedua hati yang diam-diam saling mendoakan.

Jemari Asmara Renjana perlahan mengambil pena dan secarik kertas, di bawah rembulan yang cahanya redup di mangsa oleh mendung dia tulis sebuah surat.

"Hai Tuan, atau haruskah aku sebut namamu, Balarama. Pada kesepian yang kini mengingatkan semua tentangmu, tentang bayanganmu yang berlalu pergi meninggalkan kebisuanku waktu itu

pada dirimu yang bersuara merdu saat melantunkan syairmu, pada sikap hangatmu di tengah badai hariku, pada canda dan tawa di antara kebosananku, sungguh aku terjebak pada kesepian dan rinduku.

Balarama, pada secarik kertas surat ini entah aku panggil kau sebagai  Tuan atau menyebut langsung namamu, tapi bisakah engkau menjawab kata yang melintas di ruang kepalaku saat ini, yang mengatalan bahwa, kita lanjutkan puisi ini atau harus kita akhiri."

Dengan keraguan yang masih merajai hati, Asmara memutuskan untuk menyimpan suratnya pada sebuah halaman dari buku catatan miliknya.

Sedangkan Balarama, pada kesepianya pula, seakan merasakan getaran yang sama, jemarinya perlahan mulai menggenggam pena pada secarik kertas di atas meja ratapan, pada sudut perapian dia tulis sebuah surat untuk Asmara.

"Asmara Renjana kekasihku,aku bagaikan sebuah kereta tanpa kuda, membawa rindu tanpa bisa melaju untuk memburu. Pada rintik hujan malam ini di kotaku, bayanganmu menyelinap di antara hawa dingin yang menembus perapianku, sedangkan bayanganmu menembus dimensiku.

Dengan cepat menyerbu kantor pusat hati, berdemo menuntut kebebasan rindu, beriringan berjalan dengan riuh ke akal sehatku dengan memasang baliho-baliho yang bertulisankan namamu, bergambarkan wajah murungmu yang masih tampak cantik walau sedikit dingin dan bisa di katakan menyeramkam.

Asmara Renjana pemilik kebisuan yang menghadirkan rindu, pada keraguan aku belajar berdamai dengan diriku, mengajaku membuang ego dan rasa malu untuk mengungkapkan segala kerinduanku.

Bagai seorang politikus berwibawa yang mendeklarasikan bahwa dirimu adalah miliku, dan kesepianmu adalah rinduku, maka tak gentar bagiku mengahadapi nasib buas yang siap menerkamku,"

Seiring mereka melangkah, beban yang tersisa di hati terasa semakin nyata. Balarama dan Asmara  Renjana merasakan ketakutan akan kehilangan namun membenci kenyataan yang ada mereka tak bisa mengabaikan ketentuan yang membayang di belakang.

Mereka berdua terdiam dia antara langit yang sama namun berpijak pada bumi yang berbeda, membiarkan ketegangan itu mengisi ruang antara mereka. Setiap detik terasa seperti arus yang menghimpit.

Langit malam yang berbintang, dan di bawah cahaya rembulan, Balarama dan Asmara merenungi semua, seolah alam pun mendukung keputusan mereka.

Tanpa sepakat, mereka mengukir janji baru di antara bintang-bintang, sebuah perjanjian yang melampaui batasan dan ketakutan. Di tengah badai asmara yang terus mengamuk, mereka menemukan kekuatan untuk melawan arus, berlayar bersama menuju pulau harapan yang belum terpetakan.

Karena cinta adalah perjalanan yang berharga, dan mereka berdua siap menjalani setiap detiknya, dengan hati yang tak pernah pudar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun