pada dirimu yang bersuara merdu saat melantunkan syairmu, pada sikap hangatmu di tengah badai hariku, pada canda dan tawa di antara kebosananku, sungguh aku terjebak pada kesepian dan rinduku.
Balarama, pada secarik kertas surat ini entah aku panggil kau sebagai  Tuan atau menyebut langsung namamu, tapi bisakah engkau menjawab kata yang melintas di ruang kepalaku saat ini, yang mengatalan bahwa, kita lanjutkan puisi ini atau harus kita akhiri."
Dengan keraguan yang masih merajai hati, Asmara memutuskan untuk menyimpan suratnya pada sebuah halaman dari buku catatan miliknya.
Sedangkan Balarama, pada kesepianya pula, seakan merasakan getaran yang sama, jemarinya perlahan mulai menggenggam pena pada secarik kertas di atas meja ratapan, pada sudut perapian dia tulis sebuah surat untuk Asmara.
"Asmara Renjana kekasihku,aku bagaikan sebuah kereta tanpa kuda, membawa rindu tanpa bisa melaju untuk memburu. Pada rintik hujan malam ini di kotaku, bayanganmu menyelinap di antara hawa dingin yang menembus perapianku, sedangkan bayanganmu menembus dimensiku.
Dengan cepat menyerbu kantor pusat hati, berdemo menuntut kebebasan rindu, beriringan berjalan dengan riuh ke akal sehatku dengan memasang baliho-baliho yang bertulisankan namamu, bergambarkan wajah murungmu yang masih tampak cantik walau sedikit dingin dan bisa di katakan menyeramkam.
Asmara Renjana pemilik kebisuan yang menghadirkan rindu, pada keraguan aku belajar berdamai dengan diriku, mengajaku membuang ego dan rasa malu untuk mengungkapkan segala kerinduanku.
Bagai seorang politikus berwibawa yang mendeklarasikan bahwa dirimu adalah miliku, dan kesepianmu adalah rinduku, maka tak gentar bagiku mengahadapi nasib buas yang siap menerkamku,"
Seiring mereka melangkah, beban yang tersisa di hati terasa semakin nyata. Balarama dan Asmara  Renjana merasakan ketakutan akan kehilangan namun membenci kenyataan yang ada mereka tak bisa mengabaikan ketentuan yang membayang di belakang.
Mereka berdua terdiam dia antara langit yang sama namun berpijak pada bumi yang berbeda, membiarkan ketegangan itu mengisi ruang antara mereka. Setiap detik terasa seperti arus yang menghimpit.
Langit malam yang berbintang, dan di bawah cahaya rembulan, Balarama dan Asmara merenungi semua, seolah alam pun mendukung keputusan mereka.
Tanpa sepakat, mereka mengukir janji baru di antara bintang-bintang, sebuah perjanjian yang melampaui batasan dan ketakutan. Di tengah badai asmara yang terus mengamuk, mereka menemukan kekuatan untuk melawan arus, berlayar bersama menuju pulau harapan yang belum terpetakan.
Karena cinta adalah perjalanan yang berharga, dan mereka berdua siap menjalani setiap detiknya, dengan hati yang tak pernah pudar.