Bab 2 -Asmara Renjana-: Pertemuan yang Terlupakan
Di sebuah sudut kota yang hampir terlupakan, di antara gedung-gedung tua yang berdiri seperti saksi bisu waktu, Balarama berjalan sendirian di antara Jalanan basah setelah hujan deras yang baru saja reda, memantulkan lampu jalan yang temaram. Aroma tanah basah menyusup ke dalam pikirannya, mengingatkan akan sebuah masa yang tak pernah ia miliki sepenuhnya.
Di kejauhan, samar-samar ia melihat sosok yang begitu dikenalinya. Asmara Renjana, perempuan dengan mata penuh kerinduan dan senyum yang tak pernah benar-benar bahagia. Sosok yang selalu menghantui malam-malamnya, muncul dalam mimpi yang penuh kesepian dan tanya yang tak terjawab.
Asmara berdiri di sana, di bawah naungan pohon flamboyan yang daunnya berjatuhan, seakan mengikuti perasaan yang luruh. Balarama melangkah mendekat, pelan namun pasti. Setiap langkah terasa seperti tarikan napas terakhir sebelum menjemput sebuah kenyataan yang tak ingin ia hadapi. Namun di sinilah ia, tak pernah benar-benar bisa menjauh dari gadis itu.
"Balarama," suara Asmara lembut, namun mengalir dengan getaran yang mengiris seperti senar gitar yang dipetik terlalu keras. "Kenapa kita selalu bertemu di saat yang tidak tepat?"
Balarama tersenyum pahit, menghampiri Asmara, berdiri di sisinya seperti sepasang bayangan yang tak bisa bersatu. "Mungkin karena takdir lebih suka mempermainkan kita," jawabnya. Tatapannya lurus ke depan, menembus kegelapan malam yang menyelimuti kota. "Atau mungkin karena kita terlalu takut melawan takdir."
Asmara tertawa kecil, tapi suaranya lebih mirip helaan napas lelah. Ia menoleh, menatap Balarama dengan mata yang penuh rahasia, seperti laut yang menyembunyikan kedalamannya dari pandangan permukaan. "Apakah kita harus selalu begini?" tanyanya, suaranya bergetar, menyiratkan keraguan yang selama ini tak pernah terucap.
"Mungkin kita ini adalah dua penjelajah yang tersesat di lautan yang sama, tapi tak pernah bisa berlabuh di pulau yang sama," jawab Balarama, mencoba mengalihkan rasa yang menyesak di dadanya. "Kita hanya bisa menikmati pelayaran ini, tanpa benar-benar berharap menemukan daratan."
Mereka terdiam, hanya suara angin yang berdesir di antara mereka, seakan membawa kata-kata yang terlalu berat untuk diucapkan. Asmara perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Balarama, mencari tempat untuk menumpahkan lelah yang tak bisa ia bagi pada orang lain. Di bahu itu, ia menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan di sisi siapapun. Dalam dekapan senyap itu, mereka menemukan kenyamanan yang lebih berbicara daripada kata-kata yang bisa diucapkan.
"Kau tahu, Balarama," bisik Asmara pelan. "Ada kalanya aku berharap kita tak pernah bertemu."
Balarama memejamkan mata, merasakan setiap kata yang Asmara ucapkan meresap ke dalam hatinya. Ia tahu, pertemuan mereka adalah sebuah kesalahan yang indah. Sebuah anomali di tengah kehidupan yang seharusnya berjalan lurus, tapi justru tersesat dalam kerumitan perasaan.
"Tapi jika kita tak pernah bertemu," lanjut Asmara, suaranya semakin lirih, "aku takkan pernah tahu bahwa ada bahu yang begitu nyaman untuk kucari setiap kali dunia terasa terlalu berat."
Balarama tidak menjawab. Baginya, apa yang mereka miliki ini bukan sekedar cinta, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang tak bisa mereka lawan. Mereka sama-sama tahu bahwa Asmara terikat pada kehidupan lain, pada seseorang yang bukan dirinya, seseorang yang sudah di tuliskan pada buku nasib milik orang tuanya. Namun di sini, di antara mereka, ada ruang kecil di mana dunia luar seolah tak pernah ada.
"Mungkin kita memang bukan untuk bersama," kata Balarama akhirnya, dengan suara yang hampir tenggelam oleh angin malam. "Tapi di saat-saat seperti ini, aku merasa kita cukup. Aku merasa kau cukup."
Asmara terdiam, membiarkan kata-kata itu tenggelam dalam keheningan. Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik kecil membasahi rambut dan bahu mereka, namun tak ada yang bergerak untuk mencari perlindungan. Mereka hanya berdiri di sana, membiarkan dingin malam meresap ke dalam kulit, seolah ingin merasakan setiap detik yang tersisa.
"Asmara Renjana, Kita adalah dua bibir yang saling melumat namun tak bisa merasakan klimaks, kecuali kita berani untuk bersetubuh, berani melawan takdir," gumam Balarama pelan,dengan tatapan kosong namun tajam.
Dan di bawah hujan yang semakin deras, di tengah kegelapan kota yang sepi, dua jiwa itu kembali tenggelam dalam kerinduan yang tak pernah bisa mereka miliki. Mereka saling bersandar, membiarkan waktu berlalu, tanpa memikirkan esok yang pasti datang dengan perpisahan yang sama.
Mereka tahu, cinta ini hanya akan menjadi kenangan sebuah renjana yang akan selalu ada dalam hati mereka, namun tak pernah bisa terwujud dalam kenyataan, atau mereka berdua berani melawan takdir yang ada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H