Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Runtuhnya Kasultanan Pajang ( 1 )

3 Juni 2010   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 1930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemudian ki Tumenggung Mayang melanjutkan :” baiklah anakku, rama tidak sampai hati melihatmu, nanti malam ketika sudah sepi, ayah akan membantumu memasuki kaputren, bukankah tuan putri sudah mengijinkan masuk ketika sudah sirep wong “.

Malam itu langit gelap tak ada bintang, bulan sudah melewati purnama, para penjaga yang tungguk, di gardu itu ada empat orang penjaga, mereka membawa senjata bersiap-siap jika terjadi sesuatu di dalam kaputren.

Di bawah pohon tanjung nampak dua orang yang mengendap-endap, merapat di Baluwerti, kemudian Tumenggung Mayang memberi contoh pada raden Pabelan; “kalau mantra sudah dibaca maka tanganmu meraba tembok ini, jika engkau akan keluar, maka usapkan dengan punggung tanganmu, cobalah ayahanda ingin melihatmu”.

Radèn Pabelan melakukan semua petunjuk dari Tumenggung Mayang, dan pagar tembok kaputren menjadi terbelah, selebar orang yang masuk, tembok terhempas di tanah seperti daun pisang. Raden Pabelan sudah berada di dalam kaputren, dan tembok yang roboh itu kembali tegak dan utuh seperti sediakala. Kemudian tembok itu diraba oleh Tumengung Mayang, tetapi mengunci dari mantra sebelumnya, sehingga tidak mungkin anaknya nanti bisa keluar dari kaputren.

Sang dyah Mutèningrum putri Sekar Kedaton, mendengar isyarat suitan burung malam, segera bergegas membuka pintu sengkeran, ia berdiri di tengah halaman, karena situasinya gelap. Sementara itu raden Pabelan berdiri di balik pohon pucang. Jantungnya berdegup keras dan hatinya gembira bisa bertemu dengan orang yang dicintainya, meskipun sang retna belum mengenalnya.

Pabelan segera merunduk mendekati sang putri, ia sendiri tidak ingin membuat tuan putri menjerit kaget, sebab bisa merusak rencana bahkan belum menikmati hasilnya sudah menerima hukuman pancung.

Ketika mengendap semakin mendekat, tuan putri menyapa;” siapakah gerangan yang ada disitu”.

“hamba tuan putri, aku orang luar, anak Tumenggung Mayang, masuk kaputren dengan cara mengendap-endap, hanya ingin mengabdi tuan putri “.

(bersambung)

Babad Demak II (Buminoto,GPH,1937)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun