Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sutawijaya Mbalela (2)

7 Juni 2010   00:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wimbasara yang diutus meninggalkan desa Mayang dan melaporkan kepada Sultan bahwa Senapati minta maaf karena sudah minta diri meninggalkan Pajang, tetapi menunggu waktu kehendak dari Yang Maha Kuasa. Setelah Baginda mendengar laporan Wimbasara, dalam hati mengatakan; “ terlalu berani anak ini”.

Dalam pada itu yang sedang singgah di desa Mayang, tengah malam tatkala kokok ayam pertama, udara semakin dingin, keadaan di dalam istana menjadi hening, suara cengkerik, gangsir dan orong-orang yang memecah kesunyian malam. Senapati ing Ngalaga keluar dari rumah, kemudian berdiri di tengah pelataran dan tak seorangpun yang melihatnya. Datanglah Juru taman (utusan Nyai Rara Kidul), setelah memberikan sembah kemudian menundukkan badannya yang sebesar bukit itu, tengkurap di hadapan Danang Sutawijaya.

“ adhuh Gusti manawi darbé karsi angrabasèng rama Prabu, kawula kang lumampah, pejah gesang kawula katur sang Ulun panduka akantuna wirya “( tuanku, jika menginginkan mengalahkan ayahanda Sultan Pajang, maka hambalah yang akan melaksanakannya, mati hidupku sudah aku baktikan kepada tuanku ).

“ Ki Juru taman sun tarima prasetyamu marang ingsun, sayekti ingsun datan darbé kayun, apa sakarepira “ ( Juru Taman, aku berterima kasih, niat baikmu aku terima, tetapi aku tidak punya keinginan apa-apa, terserah kamu saja).

Kemudian Jurutaman memberikan sembahnya dan keluar menuju ke dalam istana , Sultan Pajang pada waktu itu sedang duduk bersama para putra sentana dan Pangeran Benawa. Mendadak sang Prabu jatuh pingsan tanpa sebab. Dalam pada itu setelah Juru taman meninggalkan desa Mayang langsung menuju ke dalam istana dimana sang Prabu berada, kemudian mencekik leher Sultan Pajang sampai pingsan. Tentu saja tidak ada yang mengetahui keberadaan Jurutaman, karena Jurutaman memang bukan golongan manusia, ia adalah orang kepercayaan ratu Kidul yang di abdikan kepada Senapati Ing Ngalaga. Sultan Pajang keadaanya semakin menghawatirkan para putrasentana dan isteri. Keluarga dekat sahut menyahut menangis, sehingga menjadikan suasana bertambah mengharukan.

Tiga hari tiga malam, Senapati berada di desa Mayang, kemudian meninggalkan desa Mayang dan kembali ke Mataram kemudian memerintahkan kepada seluruh kerabat Mataram untuk membeli bunga telasih dan di tumpuk di jalanan menuju ke pura Pajang.

Kejadian ini tentu membuat sentanadalem ing Pajang menjadi terkejut, siapa yang telah meninggal dunia. Sultan memang sakit tetapi mengapa jalan yang menuju ke Pura Pajang dipenuhi tumpukan bungan telasih? Maka Pangeran Benawa masuk kedalam istana dan menghadap Sultan Pajang . “ Rama Sultan, putra pukulun kakang Senapati saha tiyang Mataram kinèn mundhut sekar telasih tinumpuk lawang sedami “ ( rama Prabu, putra baginda kakang Senapati menyuruh orang-orang membeli bunga Telasih dan ditumpuk dijalanmenuju ke Istana, apa maksudnya).

kakangira Senapati Mataram, sanget bektiné marang ingsun, anggoné duwe wong tuwa, pratandha sih waspada kakangirèku, wruh ingsun yèn mèh praléna, pracihna iku gumanti” ( kakakmu Senapati Mataram, itu sangat berbakti pada orang tua, ia memang waskitha, mengetahui bahwa aku hampir meninggal, dan ia akan menggantikannya ).

Beberapa hari kemudian Kanjeng Sultan Pajang wafat (1583 M), para putra Pangeran, kadang sentana dan nayaka praja, gandhèk bupati lengkap hadir. Juga beberapa isteri para ponggawa, Tumenggung, pecat tandha, rangga demang, dan ngabèhi menangisi kepergian sang Prabu.

Kemudian Pangeran Benawa, mengutus ki Patih dan beberapa sentana dalem untuk memberitahukan kepada Senapati ing Ngalaga, bahwa Sultan Pajang telah meninggal dunia. “hèh paman Patih lawan sira lurahing tamtama, padha sun tari ing rembag, ingsun kinèn atut dhingin wewelingé rama Prabu kang swarga, marang kakang Senapati Mataram, pan punika kadang sepuh. Kanjeng rama wus séda , prayoga kakang Senapati ingaturan weruh, nadyan miyang ta miyanga kadang ingsun tuwa, yekti gegentiné kanjeng rama, ing dunungé sembah ingsun sayekti” ( paman Patih beserta para komandan pasukan, aku minta kepda kalian untuk mengikuti wasiat dari Rama Prabu almarhum, untuk memberitahu kakang Senapati Mataram, betapapun ia adalah saudara tua, karena kini ramanda Prabu sudah wafat, maka sebaiknya kakang Senapati diminta hadir dalam pemakaman nanti, sebagai ganti orang tua, entah nanti berangkat atau tidak berangkat itu tidak menjadi masalah yang penting sekarang ini, kalian harus melihat bahwa mereka adalah saudaraku tertua.

Dalam pada itu ki Patih sudah sampai di Mataram dan menemui Senapati ing Ngalaga, dengan penuh rasa hormat ia berkata;” inggih amba dhinuta tur udani ing rayi paduka tuhu njeng Pangéran Benawa, ing paduka mangké , rama njeng Prabu Sultan Pajang aséda, panduka dipunaturi, ingantos anyiramana ing layoné rama panduka Aji maksih gilang-gilang tuhu (hamba diutus oleh adik tuan, Pangeran Benawa untuk memberitahukan, bahwa saat ini ayahanda paduka Sultan Pajang telah wafat, tuan hamba ditunggu kehadirannya untuk memandikan jenazahnya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun