Mohon tunggu...
Eka Maryono
Eka Maryono Mohon Tunggu... -

penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gatutkaca Gugat

27 Maret 2012   15:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nggih kakangmas, mungkin ada baiknya jika kita sama-sama menentang takdir Baratayuda,” ujar Dursasana.

“Benar, lebih menguntungkan jika kita bersahabat dengan Pandawa,” jawab Duryodana.

***

Kesuksesan Gatutkaca membuat penghuni kahyangan terpecah belah. Sebagian kembali menyuarakan tuntutan agar Gatutkaca diadili, tapi sebagian lagi malah ikut-ikutan meniru Gatutkaca. Ramai-ramai mereka hijrah ke bumi. Sebagian pergi menemui Gatutkaca dan hidup di alam yang samar-samar di Pringgandani. Sebagian lagi terang-terangan menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bali.

Mereka pun belajar menjadi manusia, makan makanan yang dimakan manusia, berpakaian seperti manusia, berjalan seperti manusia, dan berpikir seperti manusia. Ada yang buka usaha perhotelan, restoran, warung makan, panti pijat, ketok magic, bengkel motor hingga bengkel las. Ada yang meniti karir menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta. Ada pula yang bekerja sebagai wartawan, guru, dosen, tentara, tukang becak, tukang ojek, sopir mikrolet, sales, cerpenis, malah ada yang jadi copet.

Sementara itu, Batara Guru bukannya tidak memahami persoalan yang terjadi. Sejak Gatutkaca mengingkari panggilan untuk datang ke pengadilan para dewa, Batara Guru tahu wibawa kahyangan sudah jatuh. Hanya saja dia merasa harus ekstra hati-hati dalam menangani masalah ini. Bagaimanapun juga Gatutkaca bukan orang biasa, dia dianugerahi kekuatan yang dewa-dewa pun belum tentu sanggup menandingi. Tapi sekarang kelakuan Gatutkaca sudah kelewatan. Tatanan yang ada diporak-porandakan. Takdir diinjak-injak. Dan yang lebih parah, dewa-dewa banyak yang desersi gara-gara mengikuti jejaknya.

Batara Guru gelisah. Seperti biasa kepalanya cenat-cenut.  Dia sadar sudah saatnya kekisruhan ini diakhiri. Sebagai pemimpin dia tidak boleh loyo lagi. Hanya ketegasan pemimpin yang dapat membuat sebuah negara berjalan di atas rel yang sudah ditentukan. Maka Batara Guru memutuskan untuk mempercepat Baratayuda. Sekejap kemudian langit berubah menjadi gelap. Padang Kurusetra tiba-tiba terhampar. Udara dingin. Sunyi seperti dalam ruang hampa.

Sebentar lagi takdir akan datang dan dengan tepat akan mengenai sasarannya. Tapi Pandawa dan Kurawa yang seharusnya berperang malah berada dalam satu barisan. Dewa-dewa yang desersi pun berada di tengah mereka. Gerombolan pemberontak ini kelihatan seram dalam balutan pakaian loreng hijau. Senapan M-16 dipegang erat. Pisau komando terselip di pinggang. Beberapa buah granat terjuntai di dada. Ratusan meriam anti serangan udara sengaja diarahkan ke langit luas, siap menghajar dewa mana saja yang berani turun ke dunia.

Batara Guru sangat murka! Dikirimnya ribuan dewa yang masih setia padanya untuk menggempur tokoh-tokoh wayang yang tingkah lakunya sudah melampaui batas itu. Perang Baratayuda versi milenium pun meletus dengan dahsyat. Tanpa aturan. Tanpa tata krama. Tanpa pakem sebagaimana yang sudah digariskan ribuan tahun silam. Banyak pemberontak yang mati terkena hujan panah dari angkasa, sementara dewa-dewa pun banyak yang tewas terkena siraman peluru kaliber 88 mm dari meriam anti serangan udara, sebagian lagi mati terkena peluru kendali jarak jauh.

Pada malam ke-13, kesedihan dan kemarahan bercampur dengan darah dan bangkai yang berserakan di padang Kurusetra. Kedua belah pihak sudah sama-sama lelah. Maka Gatutkaca memutuskan untuk menggunakan senjata pamungkas demi mempercepat berakhirnya perang. Keesokan paginya, di hari ke-14, Gatutkaca menerbangkan pesawat tempur F-35 Lightning II yang terkenal tangguh untuk pertempuran jarak dekat. Gatutkaca seperti kesetanan, menembaki siapa saja yang ada di depannya. Ratusan dewa mati dalam sekejap, dan ratusan lagi seolah sedang menunggu giliran untuk menemui ajal mereka.

Batara Guru merinding melihat pemandangan itu. Batara Guru terpaksa turun tangan. Dengan menunggang Lembu Andini, Batara Guru berjumpalitan menghindari kejaran hujan peluru sebelum akhirnya berhasil mencapai bumi. Pada sebuah kesempatan, dilihatnya Adipati Karna sedang sibuk mengangkat roda panser yang amblas ke dalam tanah. Di saat Karna sedang lengah itulah, Batara Guru merampas senjata Konta dan buru-buru melesat ke udara sebelum Karna sempat meneriakinya jambret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun