Misalnya, seperti ketatabahasaan, kosa kata, atau bagaimana seseorang menciptakan tuturan yang utuh. (2) Akuisisi, yaitu pemerolehan bahasa. Psikolinguistik mampu memahami proses yang berlangsung dalam otak dari seorang anak yang memperoleh bahasa pertamanya dari lingkungan terdekatnya. (3) Performansi, yaitu pola tingkah laku berbahasa. Performansi dalam studi psikolinguistik berorientasi pada sistem penggunaan bahasa dalam situasi tertentu. performansi dapat dilihat melalui kegiatan komunikasi, yaitu hasil dari pergerakan organ suara dalam tubuh manusia.Â
Selanjutnya, (4) Asosiasi verbal dan pemerolehan makna. Saat berkomunikasi, setiap penutur selalu berupaya mengekspresikan lambang-lambang bahasa (semantik) pada mitra tuturnya. Hal tersebut dapat dikaji oleh psikolinguistik yang membahas bagaimana makna tersebut diperoleh. (5) Proses bahasa pada orang abnormal. Psikolinguistik mengkaji penyebab dan penyembuhan dari gangguan berbahasa pada manusia. (6) Persepsi ujaran dan kognisi. Berkenaan dengan hal ini, psikolinguistik akan mempelajari penafsiran proses ujaran yang melibatkan tiga proses, yaitu pendengaran, penafsiran, dan pemahaman pada suara yang dihasilkan. (7) Pembelajaran bahasa. Tingkat kemampuan berbahasa dapat nilai melalui bagaimana seseorang menguasai pembelajaran bahasa tersebut. Psikolinguistik mampu menjadi "pisau" kajian dalam menilai bagaimana pembelajaran bahasa dimaknai oleh setiap pembelajarnya.
Psikolinguistik menjadi pengetahuan dengan jangkauan ilmu yang sangat luas, bersifat kompleks, dan melahirkan beberapa subdisplin psikolinguistik, antara lain (Damayanti & Suryandari, 2017: 36-37):Â
- Psikolinguistik teoritis, yaitu psikolinguistik yang berorientasi pada proses-proses mental manusia dalam melakukan kegiatan berbahasa, seperti rancangan fonetik, pemilihan kata, sistem sintaksis, wacana, dan penggunaan intonasi. b. Psikolinguistik perkembangan, yaitu psikolinguistik yang berkeenaan dengan pemerolehan bahasa, baik yang pertama mau pun kedua. Objek kajiannya seperti pemerolehan fonologi, semantik, dan sintaksis.Â
- Psikolinguistik sosial, yaitu psikolinguistik yang mengkaji beragam aspek sosial yang bekaitan dengan bahasa. Hal ini bertujuan agar bahasa tidak hanya dipahami sebagai alat berkomunikasi, namun juga sebagai gejala, identitas suatu kelompok sosial, dan bahkan bukti ikatan batin yang telah dijalani dari waktu ke waktu.Â
- Psikolinguistik pendidikan, yaitu psikolinguistik yang mengkaji proses pendidikan yang terjadi pada sebuah sekolah. Misalnya, perihal pengajaran bahasa dan kemampuan berbahasa.Â
- Psikolinguistik neurologi (neuropsikolinguistik), yaitu psikolinguistik yang berfokus pada hubungan yang terjalin antara bahasa, berbahasa, dan seperangkat otak manusia. Melalui subdisiplin ini, banyak pakar yang telah berhasil memberi nama pada bagian struktur biologis otak yang baru diketahui. Bisa dikatakan, neuropsikolinguistik menjadi disiplin ilmu yang berfokus pada perkembangan otak melalui eksperimen yang melibatkan psikologi dan linguistik.Â
- Psikolinguistik eksperimen, yaitu psikolinguistik yang berfokus pada observasi dan eksperiman pada sebab-akibat dalam kegiatan berbahasa, baik yang melibatkan satu pembicara maupun lebih.Â
- Psikolinguistik terapan, yaitu subdisiplin yang bertugas menjembatani penerapan dari enam subdisiplin sebelumnya, seperti implementasi pada psikologi, linguistik, pembelajaran bahasa, komunikasi, sastra, dan lainnya. Â
Peran Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa
Psikolinguistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran merupakan sebuah kesatuan dari berbagai sistem yang terdiri dari beragam komponen yang saling bergantung dan menunjang (Damayanti & Suryandari, 2017: 34). Menurut (Abidin, 2015: 3), pembelajaran adalah serangkaian proses yang dilakukan guru untuk menciptakan kondisi belajar pada siswa. Sejalan dengan dua pendapat di atas, (Kristiantari, 2010: 18) juga menjelaskan bahwa pembelajaran dianggap sebagai proses yang berisi kegiatan penyampaian informasi dan rancangan aktivitas untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Setiap pembelajaran bersubstansi pada penyampaian informasi dan materi pada keilmuan tertentu, tak terkecuali pada ilmu kebahasaan.
Pembelajaran bahasa dimaknai sebagai pembelajaran yang berupaya memberikan pengetahuan kepada siswa perihal kaidah-kaidah kebahasaan (Suwarno dalam Natsir, 2017: 27). Dalam pembelajaran bahasa, cakupan materinya melibatkan dua sasaran kemampuan berbahasa. Pertama, keterampilan berbahasa menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Kedua, kompetensi kebahasaan yang diukur melalui kemampuan menggunakan komponen bahasa seperti bunyi bahasa, kosakata, pemilihan kata frasa, kata, dan kalimat, serta penggunaan tata bahasa (Djiwandono dalam Tajuddin, 2017: 202). Apabila dikaitkan dengan tujuan instruksional dalam pembelajaran, maka guru seharusnya mengajarkan bahasa, bukan mengajarkan teori bahasa. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menguasai materi dan menentuk model pembelajaran apa yang tepat untuk diterapkan. Terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat menjadi opsi sebagai salah satu acuan sistematika proses pembelanjaran, diantaranya (Tajuddin, 2017: 204):
- Model Spolsky, yaitu pengajaran bahasa yang berorientasi pada teori belajar bahasa, deskripsi bahasa, dan teori penggunaan bahasa.
- Model Imigram, yaitu pembelajaran bahasa yang melibatkan wawasan keilmuan secara teori dan praktik, seperti ilmu dasar, prinsip pembelajaran bahasa, dan metodologi yang berkaitan.Â
- Model Mackey, yaitu pembelajaran yang berfokus pada lima variabel, yaitu metode dan materi, kegiatan apa yang dilakukan oleh guru dan siswa, apa yang diperoleh oleh siswa, dan aspek sosiokultural dan sosiolinguistik (Pringgawidagda, 2002: 25).Â
- Model Steven, yaitu proses pembelajaran yang melibatkan kebijakan dan tujuan, administrasi dan organisasi yang menjalankan proses pendidikan, profesionalisme tenaga pendidik, pembelajar, hingga evaluasi pembelajaran. Â
Keberhasilan pembelajaran diukur dari peran guru, peran siswa, materi pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, evaluasi pembelajaran, serta sarana yang mendukung proses pembelajaran. Selain berlangsung secara mekanistik, pembelajaran juga berlangsung secara mentalistik atau melibatkan kegiatan mental. Seperti yang kita ketahui, siswa tidak hanya dipahami sebagai subjek pembelajaran, melainkan juga sebagai organisme yang memiliki aktivitas dalam mencapai ranah psikologi. Demikian pula pada pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, psikolinguistik menjadi pendekatan yang tepat dalam memahami aspek psikologis yang terlibat pada kegiatan berbahasa dalam pembelajaran bahasa.Â
Harley (dalam Kadir, 2017: 2) memaparkan bahwa psikolinguistik merupakan sebuah studi yang mampu mengungkap proses mental dalam penggunaan bahasa. Artinya, studi ini juga bisa diterapkan dalam pembelajaran bahasa di kelas melalui proses reduksi pembelajaran. Psikolinguistik menuntut guru untuk lebih mengenal kondisi psikologis yang dimiliki oleh setiap siswa. Hal tersebut bisa diketahui melalui kegiatan pendekatan guru terhadap siswa-siswanya demi terciptanya suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan.Â
Pendekatan dalam konsep psikolinguistik ini didefinisikan sebagai salah satu cara yang efektif dan baik dalam mengoptimalkan pembelajaran bahasa. Lebih rincinya, pendekatan dianggap sebagai asumsi perihal hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan pembelajaran bahasa itu sendiri (Kadir, 2017: 3). Richard dan Rodgen (dalam Abidin, 2012: 21) berpendapat pendekatan merupakan landasan yang bersifat teoretis sekaligus sebagai asumsi pada ilmu pengetahuan dan pembelajarannya, serta impelementasinya pada pendidikan. Oleh karena itu, karakteristik dari pendekatan pembelajaran antara lain: (1) bersifat aksiomatik, (2) asumsi menjadi sumber utama dari lahirnya pendekatan dalam pembelajaran, (3) pendekatan akan menghasilkan sejumlah metode, dan (4) dijadikan sebaai acuan penerapan metode dalam sebuah pembelajaran.Â
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, terkait pendekatan psikolinguistik bisa dimaknai sebagai sebuah landasan teoritikal dan asumsi perihal kebahasaan, khususnya cara pengajaran dan penerapannya yang dilandaskan pada teori psikolinguistik. Melalui pendekatan psikolinguistik, guru harus mampu mencari strategi yang baik dan beragam materi yang relevan dalam proses pembelajaran (Titone, 1985: 120). Selain itu, guru juga dituntut untuk mengetahui beragam kondisi psikologis dari siswa supaya proses pembelajaran dimaknai dengan baik oleh siswa, baik dari materi pembelajaran maupun suasanya kelasnya.Â
Sebagai subjek dalam pembelajaran bahasa, siswa dituntut memiliki kemampuan menggunakan bahasa dengan baik dan benar, baik secara produktif (berbicara dan penulis) mau pun reseptif (menyimak dan membaca). Dalam banyak kasus kesalahan yang dilakukan pembelajar bahasa, kesaratan beban (overloading) menjadi satu penyebab yang paling banyak ditemui. Kesaratan beban adalah perasaan waspada terhadap orang atau pertemuan dengan orang yang disegani atau karena tidak terlalu memahami materi. Ketidakpahaman tersebut juga bisa dipengaruhi oleh perasaan yang tidak stabil, sukar dalam menghafal, atau kurang menguasai topik. Kasus yang sedemikian rupa semakin membuktikan bahwa pembelajaran bahasa membutuhan ‘sosok’ psikolinguistik demi mencapai tujuan pembelajaran.Â
Tujuan pembelajaran bisa dilihat melalui kawasan taksonomi yang dibentuk oleh Benyamin, yaitu: (1) kognitif, yaitu pembelajaran yang berkaitan dengan teknik mental yang berasal dari tahap pengetahuan dan diakhiri dengan tahap evaluasi, (2) afektif, yaitu pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari sikap-sikap yang terkandung dalam pembelajaran, (3) psikomotorik, yaitu pembelajaran yang berhubungan dengan keterampilan (Magdalena et al., 2020: 133). Oleh karena itu, kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya diukur melalui aspek kognitif atau pemahaman bahasa saja, namun juga kesiapan psikologisnya yaitu afektif (mampu percaya diri dan mengatasi kegugupan), kognitif (penguasaan materi), dan psikomotorik (keterampilan dalam mengolah diksi dan memilih kosakata). Penilaian tersebut dapat diukur melalui kacamata linguistik, sedangkan aspek psikologis yang terlibat didalamnya bisa dilihat melalui psikologi.