Mohon tunggu...
Saskia Noviyanti
Saskia Noviyanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Interested in Language, Literature and Linguistics

Penulis pemula yang berusaha mengekspresikan diri secara kreatif melalui kepenulisan. Bagi saya, tulisan merupakan bentuk antusiasme dalam melantangkan pendapat, namun tak mengganggu pendengaran. Sebagaimana yang disuarakan oleh Isabel Allende, "Menulis adalah cara berbicara tanpa terdengar. Menulis adalah cara melihat tanpa terlihat.".

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Program Merdeka Belajar

31 Maret 2023   21:16 Diperbarui: 31 Maret 2023   21:27 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Program Merdeka Belajar adalah program yang mengusung adanya upaya penerapan kebebasan otonomi dan berpikir pada penyelenggara pendidikan. Program ini merupakan salah satu inovasi kebijakan pendidikan dari Nadhim Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan untuk memaksimalkan minat dan bakat pada peserta didik (Hendri, 2020: 2). Merdeka Belajar berfokus pada peran guru sebagai penggerak pembelajaran di kelas.

Melalui program ini, guru diharapkan untuk lebih berinovasi dalam menjalankan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, Merdeka Belajar diupayakan sebagai Grand Design pendidikan nasional untuk menciptakan perubahan fundamental dalam mencetak generasi Indonesia yang berkualifikasi unggul, cerdas, dan berkarakter (Nasution, 2020: 9).

Kemerdekaan dalam belajar sesungguhnya telah dipelopori oleh beberapa tokoh sebelumnya, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich. Freire (dalam Sesfao, 2020: 1) menyatakan bahwa Merdeka Belajar merupakan sebuah konsep yang memberikan kebebasan pada siswa dalam menentukan proses pembelajaran yang relevan dengan kondisinya. Dengan kata lain, hal ini sama halnya dengan banking system atau sistem menabung yang menggagas adanya upaya pembentukan minat dan bakat yang disesuaikan dengan kondisi siswa tersebut. 

Dimana siswa menjadi "tempat menabung atau bank" dan guru menjadi "nasabah". Selanjutnya, Illich (Illich, 2008: 1) juga berpendapat bahwa pembelajaran seharusnya tidak terlalu berpaku pada aturan kehadiran dan kurikulum. Baginya, pembelajaran dengan mengutamakan sistem empirisme yang mampu meningkatkan pengalaman siswa. Melalui prosesnya, pembelajaran harus memaparkan realitas sehingga siswa dapat belajar implementasi keilmuan yang diperlukan dalam masyarakat. Konsep "merdeka" dari Illich menunjukkan adanya kebebasan siswa dalam memperoleh ragam pengetahuan.

Ditinjau dari kacamata humanistik, program Merdeka Belajar memiliki karakteristik khas dalam penyelenggaraannya, antara lain: (1) Bersifat bebas, yang merujuk pada kemerdekaan dari beragam formalistik yang kerap mencetak generasi yang tidak kritis dan kreatif. (2) Mencakup semangat keberpihakan, yang menganggap pendidikan sebagai hak yang bisa diperoleh oleh seluruh kalangan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan harus dipersiapkan sebaik mungkin. 

(3) Memiliki prinsip partisipatif, yang mewajibkan adanya kerja sama yang baik dari berbagai pihak, seperti sekolah, orang tua, dan lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengawasan terhadap perkembangan siswa. (4) Kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pendidikan, yang merujuk pada penguatan sistem pendidikan secara internal dan eksternal.

(5) Menjunjung tinggi upaya kerja sama dalam menciptakan suasana pembelajaran yang efisien, efektif, kondusif, dan menyenangkan. (6) Kontinuitas evaluasi perkembangan peserta didik selaku subjek pembelajaran. (7) Berupaya untuk meningkatkan self-esteem atau kepercayaan diri siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya (Arifin, 2000: 133).

Berdasarkan pemaparan di atas, program Merdeka Belajar ini berorientasi pada aliran humanisme dalam sistem pendidikan. Pendidikan humanisme merupakan proses pendidikan yang menjadikan manusia sebagai objek utama atau pelaku dalam pendidikan (Djatman, 2005). Selain berperan penting sebagai penggerak pembelajaran, manusia juga memerlukan kebebasan diri dalam memperoleh potensi-potensi yang terkandung dalam pendidikan. 

Paulo Freire mendefinisikan konsep pendidikan humanis sebagai penegas arah pendidikan yang memberikan pemberdayaan individu menuju perubahan yang kritis dan transformatif (Yamin dalam Fadli, 2020: 99). Selain itu, humanisme juga memandang manusia sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kekuatan konstruktif-deduktif. Kaitannya dengan program Merdeka Belajar ialah terdapatnya persamaan konsep yang melihat manusia sebagai mahluk yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, baik secara spritual, intelektual, maupun psikis. 

Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai ajang persaingan, melainkan sebagai tempat yang bisa memanusiakan fitrah manusia. Maksudnya, pendidikan lebih dititikberatkan pada proses ketimbang hasil yang diperoleh. Keseimbangan antara potensi dan lingkungan yang mendukung menjadi kunci keberhasilan program ini. Untuk mencapai hal tersebut, program Merdeka Belajar pun menerapkan empat pokok kebijakan dalam sistem pendidikan. Berikut penjabaran kebijakan tersebut (Kemendikbud, 2019) :

  • Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan oleh sekolah. Ujian tersebut dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau tes lainnya yang lebih relevan, misalnya penugasan dan portofolio. Kebijakan ini diterapkan untuk meningkatkan kemerdekaan pihak guru dalam menilai hasil belajar siswa.
  • Ujian Nasional (UN) diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang mengandung aspek literasi (penalaran dalam berbahasa), numerasi (penalaran dalam berhitung), dan karakter (penalaran dalam bersikap), yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang mengacu pada praktik internasional seperti PISA dan TIMSS.
  • Terdapat penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai administrasi pembelajaran. Dari segi format, guru memiliki kebebasan dalam menciptakan, mengembangkan, dan menggunakan RPP. Dari segi komponen, hanya terdapat tiga komponen inti yang wajib digunakan dalam RPP, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Komponen lainnya berperan sebagai pelengkap dan dapat dipilih sesuai kebutuhan pembelajaran. Dari segi durasi penulisan, RPP pun dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif. Hal ini dilakukan supaya guru dapat lebih berfokus dalam meningkatkan kualitas pembelajaran ketimbang administrasinya.
  • Diterapkannya zonasi sebagai bagian dari Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Zonasi dilakukan sebagai bentuk perwujudan Tri Pusat Pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) dalam mengatasi ketimpangan akses terhadap pendidikan yang bermutu. Ada pun persentase zonasi dalam PPDB sebesar minimal 50%  dari total jumlah siswa yang diterima. Sisanya diberikan pada jalur afirmasi (minimal 15%) dan jalur perpindahan (maksimal 5%), dan jalur prestasi (maksimal 30% atau disesuaikan dengan situasi). Dalam kebijakan ini, daerah berhak untuk mengatur proporsi final dan menentukan wilayah zonasi sehingga diharapkan adanya pemerataan implementasi pendidikan dan jumlah guru pada daerah tersebut.

 

Relevansi Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Kebijakan Penghapusan UN dan USBN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun