Berdasarkan pemahaman pendidikan yang dimiliki Ki Hajar Dewantara tersebut, bisa dikatakan bahwa beliau memandang manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek yang bisa dibentuk sedemikian rupa sesuai keinginan pihak tertentu, baik itu guru maupun orang tua. Sebagai objek, siswa memiliki kebebasan berekspresi yang disesuaikan dengan norma-norma yang berkembang di lingkungannya.
Hal ini disebabkan oleh tugas pendidikan yang tidak hanya membangun konstruksi nilai-nilai humanis saja, namun juga sebagai sarana yang menyediakan "kemerdekaan" pada siswa sehingga mereka tidak merasa didikte untuk menjadi sesuatu yang tidak relevan dengan kodratnya (Wahid, 1984: xv).
Selaras dengan paragraf sebelumnya. Ki Hajar Dewantara pun merumuskan tujuan pendidikan yang memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari sekadar transfer of knowledge atau transfer ilmu. Baginya, penting untuk memiliki keseimbangan dalam mencetak asas cipta, rasa, dan karsa pada proses transformasi nilai-nilai pendidikan (Maulana, 2019: 78). Dalam jangka panjang, pendidikan juga menentukan peradaban pada sebuah bangsa dan negara. Hal ini bisa dibentuk melalui pembentukan esensi pendidikan, yakni membantu siswa untuk menemukan potensi dirinya.Â
Hal ini diupayakan untuk mencapai konsep Tri Hayu Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yaitu, Memayu Hayuning Sarira, Memayu Hayuning Bangsa, dan Memayu Hayuning Bawana yang berarti seseorang hendaknya bermanfaat bagi dirinya sendiri, bangsanya, dan manusia pada umumnya (Hidayati, 2017). Singkatnya, pendidikan dipandang menjadi sebuah pedoman yang mampu mencetak manusia agar memiliki kebermanfaatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, pada setiap pembelajaran memberikan ruang pada siswa untuk menggali dan mengembangkan potensi masing-masing yang sesuai dengan minat dan bakatnya (Dewantara, 20011: 20-21).
Realisasi tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara terlihat pada sistem pendidikannya yang mewajibkan guru meletakkan kepentingan peserta didik di atas kepentingannya sendiri. Istilah ini dikenal dengan sistem Tri Mong, yaitu Momong, Among, dan Ngemong. Momong berarti merawat dengan penuh kasih sayang, Among berarti mengajarkan untuk mendekatkan pada kebaikan dan menjauhkan dari kejahatan, dan Ngemong berarti mengembangkan potensi siswa sesuai minat dan bakatnya.Â
Apabila sistem ini diterapkan dengan baik dalam proses pembelajaran, maka siswa memiliki ruang eksplorasi yang luas secara kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Dampaknya, pembelajaran pun mengandung aspek kognitif yang lebih tinggi, baik dalam berkeilmuan maupun dalam menentukan sikap mental, nilai, kepercayaan, dan tujuan dari perilaku moral yang searah dengan norma masyarakat yang beradab (Prasetyo, 2019: 226).
Untuk menciptakan perilaku moral yang baik, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa guru harus memahami dasar pendidikan dengan kandungan konstruksi nilai humanis yang baik. Pendidikan yang paling sesuai diterapkan pada bangsa Timur, tak terkecuali Indonesia, ialah yang berbasis humanis, kebangsaan, dan kerakyatan (Wiryopranoto, 2017: 14). Ki Hajar Dewantara selanjutnya menerapkan semboyan Tri Loka sebagai manifestasi resistensi kultural pada pendidikan sebagai wadah yang mengayomi siswa dalam mengembangkan potensinya.Â
Awalnya, Tri Loka diterapkan pada semua jenjang Taman Siswa sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap sikap guru pada era kolonialisme. Namun, sejak saat itu, Taman Siswa pun berkembang pesat sebagai representasi sekolah swasta yang memberikan "pelayanan terbaik" pada siswa. Tidak heran bila Tri Loka ini kemudian diadaptasi dan diterapkan sebagai dasar pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan istilah Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun cita-cita), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) (Musyafa, 2015: 30).
Seperti yang kita ketahui, guru tidak hanya dianggap sebagai sebuah profesi pengajar belaka. Pemahaman siswa terhadap kebaikan dan keburukan lebih ditentukan melalui sikap keseharian yang ditujukkan oleh guru. Melalui Ing Ngarso Sung Tulodho, guru diharapkan dapat mencontohkan teladan yang baik pada siswa (Apriliyanti et al. dalam Setiyadi & Rahmalia, 2022: 275). Istilah selanjutnya, yakni Ing Madyo Mangun Karso berorientasi pada guru yang harus memosisikan diri secara fisik maupun fungsional dengan siswa.Â
Melalui hubungan yang erat, guru lebih leluasa untuk menginternalisasikan semangatnya supaya siswa juga ikut bersemangat dalam mengembangkan potensinya sebaik mungkin. Sementara itu, Tut Wuri Handayani merupakan istilah yang merujuk pada tugas guru sebagai pendorong kinerja (motivator) yang berperan dalam memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai minat dan bakatnya.