Pendahuluan
Korupsi secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi mencakup berbagai tindakan seperti penyuapan, penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan anggaran publik. Korupsi merupakan salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi Indonesia, dengan dampak yang merusak berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Praktik korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi negara tetapi juga melemahkan sistem demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Fenomena ini sering kali terjadi karena kombinasi faktor individu, kelembagaan, dan budaya sosial yang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, teori GONE oleh Jack Bologna menjadi alat analisis yang relevan untuk memahami penyebab utama korupsi di Indonesia, termasuk dalam kasus-kasus besar seperti korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 oleh mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Teori GONE menjelaskan bahwa korupsi terjadi akibat adanya empat elemen utama: Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Elemen-elemen ini saling berkaitan dalam menciptakan kondisi yang mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Keserakahan muncul sebagai dorongan utama bagi individu untuk memanfaatkan kekuasaan atau sumber daya untuk kepentingan pribadi. Kesempatan tercipta dari kelemahan dalam sistem pengawasan, transparansi, atau akuntabilitas yang memungkinkan pelaku bertindak tanpa pengawasan yang memadai. Kebutuhan, baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan, dapat memperkuat dorongan untuk melakukan korupsi. Sementara itu, rendahnya risiko pengungkapan atau hukuman, akibat lemahnya penegakan hukum, memperkuat keyakinan pelaku bahwa tindakannya akan lolos dari konsekuensi.
Kasus korupsi bansos COVID-19 yang melibatkan Juliari Batubara menjadi contoh nyata dari penerapan teori GONE dalam praktik. Skandal ini terjadi ketika pemerintah melalui Kementerian Sosial melaksanakan program bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Program tersebut bertujuan untuk mendukung kelompok rentan yang mengalami kesulitan ekonomi akibat krisis. Namun, pelaksanaan program ini tercemar oleh tindakan korupsi yang dilakukan oleh Juliari dan pihak terkait, di mana suap sebesar Rp 10.000 per paket sembako dikumpulkan dari vendor yang ditunjuk. Total suap yang diterima mencapai Rp 32,4 miliar, sebuah angka yang mencerminkan pengkhianatan terhadap tanggung jawab publik dan penderitaan masyarakat.
Kasus ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam birokrasi Indonesia, terutama dalam situasi darurat seperti pandemi. Selain itu, budaya patronase, gaya hidup mewah pejabat, dan rendahnya risiko pengungkapan turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung praktik korupsi. Dalam konteks ini, teori GONE memberikan kerangka yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan tindakan korupsi dan untuk merancang strategi pencegahan yang efektif.
Melalui artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada bagaimana elemen-elemen teori GONE terwujud dalam kasus korupsi Juliari Batubara dan bagaimana langkah-langkah pencegahan dapat diterapkan untuk meminimalkan kemungkinan kasus serupa di masa mendatang. Dengan menganalisis hubungan antara teori dan kasus, artikel ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam mengenai penyebab utama korupsi di Indonesia serta solusi strategis untuk memberantasnya. Harapannya, langkah-langkah tersebut dapat membantu membangun tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi.
Apa itu Teori GONE oleh Jack Bologna?
Teori GONE adalah kerangka analisis yang dikembangkan oleh Jack Bologna untuk menjelaskan penyebab utama di balik tindakan korupsi, penipuan, atau kejahatan lainnya yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Teori ini menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang mendorong terjadinya tindakan tersebut, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Faktor-faktor ini sering kali saling berkaitan, menciptakan kondisi yang kondusif bagi individu untuk melakukan tindakan korupsi. Berikut penjelasan rinci setiap elemen:
- Greed (Keserakahan): Keserakahan adalah dorongan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi atau materi secara berlebihan. Dalam konteks korupsi, keserakahan sering kali menjadi motivasi utama bagi pejabat publik atau individu untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka. Contoh nyata adalah pejabat yang mengambil suap meskipun mereka sudah memiliki gaji dan fasilitas yang cukup.
- Opportunity (Kesempatan): Kesempatan mengacu pada celah atau kelemahan dalam sistem yang memungkinkan seseorang melakukan korupsi. Kurangnya pengawasan, akuntabilitas, atau transparansi dalam sistem pemerintahan atau organisasi memberikan peluang bagi pelaku untuk bertindak tanpa risiko besar terdeteksi.
- Need (Kebutuhan): Kebutuhan adalah alasan mendasar yang mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Ini dapat mencakup tekanan ekonomi pribadi, gaya hidup yang melebihi penghasilan, atau kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan atau jaringan sosial.
- Exposure (Pengungkapan): Pengungkapan adalah risiko yang dirasakan pelaku atas kemungkinan tertangkap atau dihukum. Ketika risiko ini rendah, individu cenderung merasa aman untuk melakukan tindakan korupsi. Lemahnya penegakan hukum atau budaya impunitas memperburuk kondisi ini.
Relevansi Teori GONE terhadap kasus korupsi di Indonesia
Teori GONE, yang dikembangkan oleh Jack Bologne, sangat relevan untuk menganalisis kasus korupsi di Indonesia. Faktor keserakahan (Greed) terlihat jelas dalam banyak kasus korupsi, di mana pejabat atau pengusaha berambisi untuk mengumpulkan lebih banyak kekayaan meskipun mereka sudah memiliki cukup. Faktor kesempatan (Opportunity) juga sangat penting di Indonesia, karena sistem yang sering kali tidak transparan, lemahnya pengawasan, dan celah hukum memberi peluang bagi koruptor untuk melakukan penyalahgunaan wewenang tanpa takut terbongkar. Kebutuhan (Need), baik itu kebutuhan finansial atau sosial, mendorong individu untuk terlibat dalam korupsi, terutama di daerah dengan tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi, di mana pejabat atau masyarakat merasa terpaksa berkorupsi untuk memenuhi gaya hidup atau kebutuhan dasar mereka. Faktor terakhir, Pengungkapan (Exposure), berhubungan dengan seberapa besar risiko seseorang untuk terungkap melakukan korupsi. Meski ada lembaga seperti KPK, penegakan hukum yang lemah di tingkat lokal sering kali memberikan rasa aman bagi koruptor, sehingga mereka merasa tidak terancam. Keseluruhan faktor ini saling berinteraksi, menjelaskan mengapa korupsi terus menjadi masalah besar di Indonesia, dan mengapa upaya pencegahannya memerlukan perhatian lebih.
Mengapa Korupsi Bisa Terjadi?
Korupsi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang menciptakan lingkungan kondusif untuk praktik ini. Budaya patronase dan feodalisme membuat korupsi seperti suap dan nepotisme dianggap lumrah, sementara rendahnya kesadaran antikorupsi memperkuat toleransi terhadap tindakan tersebut. Ketimpangan ekonomi dan tekanan finansial sering kali mendorong individu untuk mencari jalan pintas, termasuk melalui korupsi, terutama karena gaji yang rendah dan gaya hidup yang melebihi penghasilan.
Di sisi kelembagaan, lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas publik membuka peluang besar bagi korupsi, sementara penegakan hukum yang lemah membuat pelaku merasa aman dari risiko pengungkapan atau hukuman. Elemen-elemen ini sejalan dengan teori GONE oleh Jack Bologna, yang menjelaskan bahwa korupsi dipicu oleh empat faktor utama: keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (need), dan rendahnya risiko pengungkapan (exposure). Sistem di Indonesia memperbesar peluang korupsi melalui kelemahan pengawasan, birokrasi yang rumit, dan budaya impunitas. Dalam konteks ini, Greed muncul melalui gaya hidup mewah pejabat, Opportunity melalui kelemahan kontrol, Need karena tekanan ekonomi, dan Exposure karena lemahnya hukum. Dengan memahami hubungan ini, strategi antikorupsi dapat difokuskan pada memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum untuk menciptakan sistem yang lebih bersih.