Sejak akhir tahun 2019, dunia dikejutkan dengan wabah virus corona Covid-19 yang lalu menginfeksi hampir seluruh negara di dunia. WHO semenjak Januari 2020 telah menyatakan dunia masuk ke dalam darurat global terkait virus ini.
Dalam hal ini, pandemi Covid-19 merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi oleh perusahaan, organisasi maupun negara. Seperti yang kita ketahui, sejauh ini pandemi belum usai. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa penerapan manajemen risiko belum optimal.
Hingga kini pandemi Covid-19 masih merajalela ditambah lagi dengan adanya varian-varian baru. Tak heran, Covid-19 menjadi masalah besar yang dialami semua negara. Per tanggal 16 September 2021, total masyarakat Indonesia yang positif terkena Covid-19 mencapai 4.181.309 dengan jumlah yang meninggal dunia sebanyak 139.919 orang (Sumber: Kemenkes RI).
Pandemi Covid-19 merupakan salah satu risiko yang perlu diatasi dengan baik, agar kerugian dapat diminimalisir. Apa itu risiko?
Berdasarkan definisi dari ISO 31000, Risiko adalah dampak dari ketidak pastian untuk pencapaian tujuan perusahaan.
Dampaknya berupa penyimpangan dari yang diharapkan. Bisa berdampak positif, negatif, atau keduanya, dan dapat mengatasi, menciptakan, atau menghasilkan peluang serta ancaman. Oleh karena itu, risiko dapat didefinisikan sebagai pengaruh ketidakpastian terhadap tujuan.
Sebagian besar, dampaknya dalam bentuk akibat yang tidak menyenangkan, seperti merugikan perusahaan, kerusakan, cedera, kewajiban, kerugian, atau kejadian negatif lainnya. Namun, efeknya bisa positif jika dikelola dengan baik. Covid-19 terjadi secara tidak terduga dan membawa dampak yang tak hanya merugikan dari sisi kesehatan saja, Covid-19 juga sangat berdampak pada perekonomian di Indonesia. Berikut beberapa dampaknya:
- Beberapa barang menjadi mahal dan langka untuk ditemukan, serta munculnya fenomena panic buying yang terjadi di Indonesia. Sebagian besar masyarakat melakukan panic buying berupa kebutuhan pangan, masker, hand sanitizer, dan vitamin (Pingit, 2020)
- Kunjungan para wisatawan mancanegara di Indonesia menurun, dimana banyak negara yang menutup akses warga negaranya berpegian ke luar negeri
- Merusak tatanan ekonomi di Indonesia.
- Ekspor dan impor barang menjadi terhambat.
Lalu bagaimana kita mengelola risiko ini? Jawabannya adalah dengan budaya risiko.
Budaya risiko merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengelola risiko. Sehingga dapat dikatakan budaya risiko sangat dibutuhkan untuk menghadapi Pandemi Covid-19.
Apa itu budaya risiko? Mengapa hal ini penting?
Budaya risiko adalah istilah yang menggambarkan nilai-nilai, keyakinan, pengetahuan dan pemahaman tentang risiko secara bersama oleh sekelompok orang dengan memiliki tujuan yang sama.
Jadi, budaya risiko akan membuat orang lebih sadar dengan risiko apa pun di balik tindakan mereka. Orang dengan budaya risiko akan lebih sadar dengan risiko apa pun di balik tindakan mereka. Oleh karena itu, mereka akan terbiasa mempertimbangkan segala risiko saat melakukan sesuatu yang lain.
Dalam hal ini, masyarakat yang memiliki budaya risiko akan mengikuti peraturan pemerintah tentang pelaksanaan protokol kesehatan secara sukarela karena mereka menyadari bahwa dengan mengikuti protokol kesehatan tersebut, mereka akan aman, dan Pandemi Covid-19 dapat dilalui.
Orang dengan budaya risiko tidak akan terkejut ketika risiko berulang. Mereka tidak akan terkejut karena mereka selalu belajar dari risiko yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, mereka sudah memiliki rencana mitigasi untuk mengatasinya. Seperti kita ketahui, sebelum sampai di Indonesia, Pandemi Covid-19 sudah terjadi di beberapa negara. Orang-orang dengan budaya risiko akan mengamati situasi dan belajar dari kasus-kasus tersebut sehingga mereka telah menyiapkan rencana mitigasi untuk mengendalikan dampak.
Penerapan budaya risiko di Indonesia
Pada awal pandemi, sebelum 2 orang pertama dikonfirmasi positif terkena paparan Covid-19, banyak orang yang percaya bahwa Covid-19 tidak mempan masuk ke Indonesia, banyak yang menganggap remeh Covid-19 dan membuat candaan bahwa masyarakat Indonesia kebal Covid-19, atau virus Covid-19 takut masuk ke Indonesia. Â Hal ini secara tidak langsung menunjukkan rendahnya kesadaran risiko & kegagalan dalam mengelola risiko. Kasus Covid-19 sudah seharusnya diantisipasi karena sudah terjadi di beberapa negara. Namun sayangnya, sebagian besar masyarakat belum mengetahui tentang budaya risiko. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengatasi pandemi, dan juga Indonesia juga menjadi salah satu negara yang memiliki kasus Covid-19 tertinggi di dunia, oleh karena itu penting untuk menanamkan budaya risiko bagi setiap individu.
Budaya risiko harus dilihat sebagai kewajiban bukan pilihan. Pertanyaannya, bagaimana membangun budaya risiko?
Untuk mengembangkan dan memelihara budaya risiko, diperlukan:
1) Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi budaya risiko, seperti kesadaran, kepemimpinan risiko, lingkungan, dan pengalaman;
2) Memutuskan semua pihak yang akan terlibat dalam penerapan budaya risiko, seperti sponsor perubahan, agen perubahan, dan target perubahan;
3) Membuat direktori kompetensi yang baik terkait dengan manajemen budaya risiko;
4) Melibatkan semua pihak dalam tahapan manajemen perubahan menuju budaya risiko.
Ketika budaya sadar risiko sudah ditanam dan diterapkan dengan baik, kita bisa lebih siap menghadapi segala risiko yang akan terjadi di masa mendatang. Perlu dipahami, budaya risiko dapat diterapkan juga untuk menghadapi kemungkinan risiko-risiko lainnya, sehingga kasus seperti Covid-19 ini dapat dimitigasi lebih awal dan dampaknya dapat dikendalikan agar tidak terlalu parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H