Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menjajal Geo Tubing Lava Bantal, Syahdu dan Seru

21 Februari 2017   06:31 Diperbarui: 21 Februari 2017   06:39 2543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lava Bantal (pic: dok pribadi)

Siang itu suasana hening. Hanya ada suara gemericik aliran air yang mengalir tanpa henti. Sesekali terdengar kepak sayap burung dan desau angin yang meniup rumpun bambu sehingga membuatnya bergoyang pelan.

Di atas ban pelampung yang meluncur dengan pelan saya sedikit mengantuk. Bukankah ini momen yang syahdu untuk terlelap?

Namun hanya sebentar saya bisa menikmati ketenangan itu. Tiba-tiba aliran sungai sedikit berjeram. Ban saya oleng dan menabrak pinggiran sungai yang terbuat dari sedimen lumpur. “Awas pohon” teriak seorang kawan di belakang mengingatkan. Yang dimaksud pohon tentu saja batang bambu yang roboh dan menjorok ke tengah sungai. Dengan kedua tangan yang menjadi pengganti dayung, saya berusaha mengendalikan ban menjauh dari tumpukan batang bambu tersebut.

pic by Arif Lukman Hakim
pic by Arif Lukman Hakim
Rombongan Kompasianer Jogja yang menjadi kawan seperjalanan saya akhir pekan itu pun akhirnya satu persatu menyusul. Kini suasana tak lagi hening namun berubah riuh. Celotehan dan suara tawa pun memenuhi aliran Sungai Opak.

Berhulu di Gunung Merapi, Sungai Opak meliuk dengan indah sejauh 65 kilometer, melewati Kabupaten Sleman dan Bantul, lantas bermuara di Pantai Samas. Sungai yang melintasi sisi barat Candi Prambanan dan pernah menjadi batas alami wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.

Di salah satu bagian Sungai Opak yang melewati Kecamatan Berbah, terdapat fenomena alam yang menarik, yaitu keberadaan batuan besar di bantaran sungai. Berbeda dengan batu kali yang biasanya berdiri tunggal dan terpisah, batuan ini saling menyambung dengan tekstur tidak beraturan.

Menurut catatan geologis, batuan tersebut terbentuk dari proses pembekuan lahar yang keluar dari gunung api bawah laut. Dalam rentang waktu jutaan tahun, lahar beku tersebut menemukan bentuknya yang lonjong tak beraturan seperti sekarang dan dikenal dengan nama lava bantal watuadeg.

Bertahun-tahun keberadaan lava bantal di kawasan Kalitirto, Berbah, Sleman ini diabaikan. Namun pada akhir tahun 2014 pemerintah menjadikan lava bantal watuadeg sebagai salah satu dari 8 warisan geologi (geoheritage) yang ada di Yogyakarta. Hal ini disebabkan kawasan lava bantal merepresentasikan rangkaian rekaman proses geologi dalam sejarah dinamika permukaan bumi. Lantas pada medio 2016, Gubernur DIY meresmikan kawasan lava bantal sebagai wilayah eskoturisme.

Banyak gaya! (pic by Geotubing lava bantal)
Banyak gaya! (pic by Geotubing lava bantal)
Nah, yang saya dan kawan-kawan Kompasiana lakukan hari itu (sabtu, 18/2) adalah menyusuri aliran Sungai Opak yang melewati kawasan lava bantal. Aktivitas wisata yang baru saja dikenalkan beberapa waktu lalu ini disebut dengan nama Geo Tubing Lava Bantal. Penyematan kata Geo Tubing ini bermaksud untuk memperjelas sekaligus membedakan dengan aktivitas tubing lainnya yang sudah ada di Yogyakarta seperti River Tubing Sungai Oya, Karst Tubing Surobayan Sedayu, atau Cave Tubing Kalisuci.

Secara teknis dan peralatan yang digunakan tidak ada pembeda antara river tubing, karst tubing, cave tubing, dan geo tubing. Yang menjadi pembeda adalah keberadaan kawasan lokasi dilakukannya tubing. Kata geo tubing disematkan karena wisata ini melewati kawasan geo heritage lava bantal.

Sebelum memasuki lokasi keberadaan lava bantal, pengarungan kami melewati sungai yang didekap rimbunnya pohon bambu. Batang bambu yang menjulang tinggi dan berdiri rapat di kanan kiri bantaran kali itu menciptakan lorong alami yang sejuk. Oleh warga sekitar lorong tersebut disebut sebagai lorong syahdu.

Lorong Syahdu (pic by Arif Lukman Hakim)
Lorong Syahdu (pic by Arif Lukman Hakim)
Sedangkan saya lebih memilih nama lorong sendu. Iya sendu. Sendu karena melihat masih ada sampah yang berserakan di antara serasah dan tajuk bambu di beberapa titik sungai. Menurut cerita pengelola, volume sampah tersebut sudah jauh berkurang sejak pertama kali tempat itu dicetuskan sebagai wahana wisata. “Dulunya sampah jauh lebih banyak dari itu,” katanya. Hingga kini,  pengelola masih melakukan pembersihan sampah dan berharap masalah tersebut bisa cepat tertangani.

Keberadaan sampah ini sebaiknya juga menjadi pengingat untuk kita semua. Bahwa sekecil apa pun barang yang kita buang disungai lambat laun akan menumpuk dan menjadikan daerah hilir kotor. Sekuat apa pun masayarakat di bawah membersihkan sampah jika warga yang tinggal di hulu terus membuang sampah ke sungai tetap saja sungai akan terus kotor dan tercemar.

Usai melewati lorong bambu, pengarungan akan dilanjutkan melewati sungai terbuka dimana sudah tidak ada lagi pohon peneduh berukuran besar sekaligus minim jeram. Buat saya yang adrenalin junkie ini sedikit membosankan. Untungnya di bantaran kali sempat menjumpai bocah yang sedang mandi, bapak pencari ikan, atau para penambang pasir, jadi ada sedikit hiburan.

Untungnya kebosanan saya segera terobati saat sampai di lokasi lava bantalnya. Di tempat ini kami mencoba jalur tubing pendek yang berarus sangat deras. Diantara pelukan bebatuan, ban melaju di atas jeram dengan cepat tanpa bisa dikendalikan. Bahkan seorang kawan sempat terjungkal.

Bersiap memasuki trek pendek (pic by Geotubing Lava Bantal)
Bersiap memasuki trek pendek (pic by Geotubing Lava Bantal)
Atas alasan keselamatan, peralatan yang dipakai di trek pendek ini sedikit berbeda. Kami harus mengganti helm dengan yang menutupi bagian belakang kepala serta pelindung tangan dan lutut. Sebagai pamungkas perjalanan, saya pun melompat dari bibir lava bantal ke dalam sungai. Byuuur! Akhirnya usai sudah petualangan kali ini.

Untuk menyusuri sungai sepanjang 2 km dengan durasi pengarungan sekitar 45 – 90 menit ini (tergantung debit air sungai), kalian cukup merogoh kocek sebesar Rp 55.000. Aktivitas wisata ini buka tiap hari mulai pukul 09.00 – 15.00 WIB. Basecamp Geo Tubing Lava Bantal Tirta Wisata terletak di Dadapan, Tanjungtirto, Berbah, Sleman.

Peratalan standar wajib pakai (dok pribadi)
Peratalan standar wajib pakai (dok pribadi)
Tips berwisata di Geotubing Lava Bantal:
  • Sebelum memulai geotubing pastikan perut dalam keadaan terisi dan tubuh dalam kondisi prima. Meski kesannya hanya duduk ngapung di atas ban pelampung, tetap saja aktivitas outdoor akan menguras energi. Lagipula perut kosong akan membuatmu mudah masuk angin akibat lama bersentuhan dengan air sungai.
  • Pakailah pakaian yang nyaman untuk basah-basahan. Sebaiknya hindari penggunaan pakaian berbahan dasar jeans karena akan berat saat terkena air, lebih baik gunakan celana parasut atau kaos yang mudah kering. Jika tak ingin terpapar matahari secara langsung kenakanlah celana panjang dan kaos lengan panjang.
  • Hindari penggunaan sandal jepit karena bisa hanyut. Lebih baik kenakan sandal gunung. Jika kamu tidak membawanya tak usah khawatir, pihak pengelola sudah menyediakan sepatu karet yang cukup fashionable #halah.
  • Jika tidak memiliki kamera underwater atau kamera yang tahan air, kamu bisa membawa drybag. Saat ingin mengambil gambar bisa minta tolong guideuntuk sejenak menepikan banmu dan kamu memotret dari tepian atau dari sisi yang dangkal.
  • Berhubung durasi pengarungan lumayan lama, tak ada salahnya untuk membawa camilan dan minuman yang bisa dimakan di sepanjang aliran sungai. Tapi pastikan untuk membawa kembali bungkusnya ya. Jangan kotori sungai dengan plastik sampahmu!
  • Berbeda dengan cavetubing yang dilakukan di sungai tertutup dalam gua, Geotubing Lava Bantal ini dilakukan di sungai terbuka dimana sinar matahari memanggang tubuhmu secara langsung. Karena itu tak ada salahnya untuk memakai sunblock sebelum memulai aktivitas ini. Ini bukan semata karena takut kulit hitam, namun lebih kepada usaha melindungi lapisan kulitmu dari paparan langsung sinar UV.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun