Siang itu suasana hening. Hanya ada suara gemericik aliran air yang mengalir tanpa henti. Sesekali terdengar kepak sayap burung dan desau angin yang meniup rumpun bambu sehingga membuatnya bergoyang pelan.
Di atas ban pelampung yang meluncur dengan pelan saya sedikit mengantuk. Bukankah ini momen yang syahdu untuk terlelap?
Namun hanya sebentar saya bisa menikmati ketenangan itu. Tiba-tiba aliran sungai sedikit berjeram. Ban saya oleng dan menabrak pinggiran sungai yang terbuat dari sedimen lumpur. “Awas pohon” teriak seorang kawan di belakang mengingatkan. Yang dimaksud pohon tentu saja batang bambu yang roboh dan menjorok ke tengah sungai. Dengan kedua tangan yang menjadi pengganti dayung, saya berusaha mengendalikan ban menjauh dari tumpukan batang bambu tersebut.
Berhulu di Gunung Merapi, Sungai Opak meliuk dengan indah sejauh 65 kilometer, melewati Kabupaten Sleman dan Bantul, lantas bermuara di Pantai Samas. Sungai yang melintasi sisi barat Candi Prambanan dan pernah menjadi batas alami wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.
Di salah satu bagian Sungai Opak yang melewati Kecamatan Berbah, terdapat fenomena alam yang menarik, yaitu keberadaan batuan besar di bantaran sungai. Berbeda dengan batu kali yang biasanya berdiri tunggal dan terpisah, batuan ini saling menyambung dengan tekstur tidak beraturan.
Menurut catatan geologis, batuan tersebut terbentuk dari proses pembekuan lahar yang keluar dari gunung api bawah laut. Dalam rentang waktu jutaan tahun, lahar beku tersebut menemukan bentuknya yang lonjong tak beraturan seperti sekarang dan dikenal dengan nama lava bantal watuadeg.
Bertahun-tahun keberadaan lava bantal di kawasan Kalitirto, Berbah, Sleman ini diabaikan. Namun pada akhir tahun 2014 pemerintah menjadikan lava bantal watuadeg sebagai salah satu dari 8 warisan geologi (geoheritage) yang ada di Yogyakarta. Hal ini disebabkan kawasan lava bantal merepresentasikan rangkaian rekaman proses geologi dalam sejarah dinamika permukaan bumi. Lantas pada medio 2016, Gubernur DIY meresmikan kawasan lava bantal sebagai wilayah eskoturisme.
Secara teknis dan peralatan yang digunakan tidak ada pembeda antara river tubing, karst tubing, cave tubing, dan geo tubing. Yang menjadi pembeda adalah keberadaan kawasan lokasi dilakukannya tubing. Kata geo tubing disematkan karena wisata ini melewati kawasan geo heritage lava bantal.
Sebelum memasuki lokasi keberadaan lava bantal, pengarungan kami melewati sungai yang didekap rimbunnya pohon bambu. Batang bambu yang menjulang tinggi dan berdiri rapat di kanan kiri bantaran kali itu menciptakan lorong alami yang sejuk. Oleh warga sekitar lorong tersebut disebut sebagai lorong syahdu.