Mohon tunggu...
Elisabeth Murni
Elisabeth Murni Mohon Tunggu... Editor - dream - journey - discover

Ngeblog di RanselHitam.Com, berkolaborasi di Maioloo.Com, masak-masak di kitabrasa, jualan wedang rempah budhe sumar. Menerima jasa edit dan tulis ini itu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Babel Magical Journey; 2 Minggu Solo Backpacking ke Bangka Belitong

10 September 2013   07:08 Diperbarui: 13 April 2016   01:34 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kamu bimbang, pergilah bertualang! - anonim

Pernahkah kalian merasa bahwa terkadang hidup begitu membingungkan dan menakutkan? Jalan yang awalnya dikira lurus mendadak berubah menjadi kelokan tajam dan turunan curam dengan jurang di kanan kirinya. Saya pernah merasakannya. Semua perubahan yang terjadi dengan begitu cepat membuat saya limbung dan hampir tersungkur. Ada banyak kekecewaan yang menumpuk, duka yang mengendap, kebimbangan yang berkelindan, hingga ketidakrelaan yang akhirnya menggerogoti hati.

Dalam fase gamang dan penuh keragu-raguan itulah saya memilih untuk berhenti dan mengambil jeda. “Kamu perlu menjauh sejenak Sash,” nasihat seorang kawan yang saya amini. Ya, saya perlu melakukan perjalanan untuk mengendapkan semua kebimbangan sekaligus memulihkan luka. Bukankah perjalanan kerap menjadi obat yang ampuh untuk tiap kesakitan dan menjadikan kita jauh lebih pemberani serta tangguh?

Beruntung, pada saat yang bersamaan saya mendapatkan tiket pesawat gratis Jakarta-Belitung PP. Aha! Tuhan memang Maha Yoi, tau saja bahwa saya sedang ingin melarikan diri. Hanya bermodal tiket dan uang mepet di kantong, saya pun memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh sendirian. Meski banyak yang mengkhawatirkan masak-cewek-jalan-jauh-sendirian-tanpa-teman. “Aish, masih di Indonesia juga kok, masih di rumah sendiri. Kenapa harus takut?” jawab saya berkali-kali guna meyakinkan.

Akhirnya pada sore yang sedikit muram (Kamis, 7 Februari) saya pun mengemasi ransel dan memasukkan barang-barang. Setelah melalui serangkaian drama nyaris ketinggalan kereta dan harus lari-lari mengejar rangkaian gerbong yang sudah berjalan pelan sambil menggendong carrier dan daypack, saya pun bisa naik ke atas Kereta Progo menuju Jakarta. Fiuh, perjalanan baru saja dimulai tapi sudah mendapatkan shock therapy. Bagaimana dengan kelanjutan solo backpacking ini?

Sekitar pukul 02.00 dini hari, kereta saya tiba di Stasiun Senen. Ini adalah pertama kalinya saya ke Jakarta sendirian. Berdasarkan data yang saya dapat, saya harus menuju pool DAMRI di Stasiun Gambir guna melanjutkan perjalanan menuju Bandara Soetta. Dari Senen saya bisa naik angkot, tapi katanya angkot baru ada sekitar pukul 04.00 atau 05.00 pagi. Hendak naik ojek maupun taksi saya merasa kurang aman. Lagipula bujet minim. Maka saya pun memilih untuk menggelar koran di stasiun menunggu pagi dan  melanjutkan perjalanan.

Sebelum tidur, saya sempat update status di FB yang mengabarkan bahwa sedang di Stasiun Senen. Rupanya Babeh Helmi membaca status tersebut dan langsung menelpon menanyakan kondisi saya. Begitu tau saya sendirian dan perlu tumpangan, dini hari itu Babeh menjemput saya dan mengantarkan ke Gambir serta menunggu hingga naik ke bis. Ah, Maha Cihuy Tuhan dengan segala skenarioNya.

***

Pukul 08.20, pesawat yang saya tumpangi sudah mengangkasa di Bumi Laskar Pelangi. Dari ketinggian saya melihat sisa-sisa penambangan timah yang menyerupai danau dengan beragam ukuran. Sepintas terlihat cantik, namun sejatinya kolong-kolong timah itu merupakan petaka yang merusak tanah Belitong. Mungkin perlu waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa mengubah kolong tersebut menjadi tanah yang bisa ditanami lagi.

[caption id="attachment_286929" align="aligncenter" width="512" caption="Danau Kaolin, Jejak Luka Sisa Pertambangan"]

13787684261361819013
13787684261361819013
[/caption]

 

Seorang kawan pegiat lingkungan Belitung sempat berujar bahwa keberadaan urat timah di pulau cantik itu selain menjadi berkah juga menjadi kutukan. Orang-orang berlomba untuk mengeruk biji timah sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan efek samping yang ditinggalkan. Ketika timah mulai menipis, yang tersisa hanyalah bopeng-bopeng di permukaan tanah, tak ada lagi yang bisa dilakukan dengan tempat tersebut. Sungguh menyedihkan.

Akhirnya, di Jumat pagi nan cerah saya menginjakkan kaki di Belitong. Sesosok kawan lama telah menanti di pintu kedatangan. Setelah menuntaskan rindu, kami pun langsung meluncur menuju Warung Atep yang menjual mie Belitung. Sudah lama saya kangen dengan kuliner khas ini dan juga es jeruk kunci yang lezat itu.

[caption id="attachment_286930" align="aligncenter" width="336" caption="Mie Belitung Atep & Es Jeruk Kunci, Kuliner Khas Belitong"]

13787685142069388098
13787685142069388098
[/caption]

Usai sarapan, dia mengantarkan saya jalan-jalan di pantai Tanjung Pendam yang terletak tak jauh dari pusat kota. Mendadak, sahabat yang tinggal di Bangka mengirimkan pesan singkat menyuruh saya mampir untuk menyaksikan perayaan Tahun Baru Cina (Imlek). “Santai aja, nanti tiket aku bayarin!” tulisnya saat saya bilang bahwa uang saya tidak cukup. Yippie, sorak saya girang.

Dari Pantai Tanjung Pendam saya langsung menuju Pelabuhan Laskar Pelangi guna mencari tiket kapal. Rupanya saya tidak beruntung. Berhubung ombak sedang tinggi, maka Jumat sore tidak ada kapal berlayar. Kapal Bahari Express baru ada hari minggu pagi. Saya pun membeli 1 tiket kelas ekonomi.

***

Hari kedua di Belitung saya masih belum menemukan ide hendak jalan kemana. Sepagian hanya membaca setumpuk majalah di kantor KPLB (Komunitas Pecinta Lingkungan Belitung) tempat saya numpang tinggal  dan berbincang dengan Bang Budi (ketua KPLB sekaligus owner Belitung Adventure).

Sekitar jam 10, Bang Ade dan Bang Asro datang ke kantor mengajak saya mengunjungi Pulau Kepayang. Pulau yang terletak tak jauh dari Pantai Tanjung Kelayang ini merupakan pulau kosong yang dijadikan kawasan wisata edukatif sekaligus tempat konservasi penyu dan terumbu karang. Tentu saja saya tidak menolak tawaran menggiurkan ini.

Menggunakan jeep tua yang mirip mobil perang kami bertiga menyusuri jalanan Belitong nan mulus. Sekitar 20 menit kami sampai di Pantai Tanjung Kelayang dan langsung menyeberang ke Pulau Kepayang menggunakan boat kayu kecil. Dalam pelayaran yang memakan waktu sekitar 15 menit itu saya disuguhi pemandangan khas pantai-pantai Belitong, yakni batuan granit beraneka bentuk dan ukuran tersebar di sepanjang bibir pantai hingga menyembul di permukaan air.

Sesampainya di Pulau Kepayang saya lantas diajak untuk melihat tempat konservasi penyu sisik, mulai dari tempat penetasan telur penyu, tempat penangkaran tukik, hingga tempat yang biasa digunakan untuk melepaskan anak tukik ke laut. Bahkan Bang Asro juga mengajak untuk mencari sarang yang berisi telur penyu.

[caption id="attachment_286932" align="aligncenter" width="457" caption="Salah Satu Sudut Pulau Kepayang"]

1378768723730318609
1378768723730318609
[/caption]

Menjelang senja, kami bertiga kembali ke kota dan menghabiskan malam minggu dengan nongkrong di salah satu cafe di Pantai Tanjung Pendam yang menyajikan live music bersama kawan-kawan lain yang baru saya kenal. Malam itu kota kecil Tanjung Pandan nampak begitu meriah. Selain karena ada perayaan Imlek, Sabtu malam adalah saat wisatawan berdatangan ke Tanjung Pandan sekaligus malam keluarnya muda mudi untuk nongkrong. Pantai Tanjung Pendam yang biasanya sepi berubah laksana pasar malam yang sangat riuh.

*** Minggu pagi sekitar pukul 06.00, Bang Eko dengan wajah yang masih mengantuk sudah tiba di kantor untuk mengantarkan saya menuju Pelabuhan Laskar Pelangi. Bergegas, saya mengemasi carrier dan menggendongnya. Ini adalah pelayaran pertama saya menggunakan kapal komersil, tentu saja saya sangat excited.

Sekitar 5 jam saya mengarungi Selat Gaspar bersama Bahari Express. Jika hanya berdiam diri tentu saja akan menjadi perjalanan yang sangat membosankan. Untungnya saya bertemu 3 bocah kecil yang lucu-lucu. Saya pun lantas mengeluarkan sebuah buku bergambar “Lilo Sang Penguasa Laut” dari dalam ransel dan mendongengi mereka tentang kisah Lilo si anjing laut. Rupanya mereka sangat senang. Bahkan beberapa bocah yang ada di dalam kapal pun ikut mendekat. Wah, serasa jadi artis dikelilingi bocah-bocah. Sebelum turun dari kapal, buku cerita bergambar itu saya berikan kepada Aura, gadis kecil manis kelas 1 SD yang sudah lancar membaca.

[caption id="attachment_286936" align="aligncenter" width="512" caption="Mendongeng di atas kapal Bahari Express"]

13787689572037024908
13787689572037024908
[/caption]

***

Menjejak di Pelabuhan Pangkalbalam saya sempat kebingungan. Nomor kawan saya tidak bisa dihubungi. Saat hendak bertanya kepeada orang-orang tentang kendaraan apa yang bisa membawa saya menuju Pangkal Pinang, ada suara perempuan memanggil nama saya. Ah syukurlah. Rupanya teman saya sudah menunggu dari tadi.

“Bel aku hari ini belum ke gereja,” kata saya pada Abel setelah kami selesai kangen-kangenan. “Nanti sore aku anterin. Sekarang kamu harus ikut aku kongian, keliling ke rumah murid-murid” jawab teman saya yang guru SMP itu.

Berhubung dia mengajar di SMP Katolik, maka 90% muridnya adalah etnis Tionghoa yang merayakan Imlek. Tradisi yang berlaku di Bangka saat Imlek mirip dengan lebara di Jawa, yakni ada ajang berkunjung ke rumah warga yang merayakan. Jadi, kawan saya yang bersuku Batak akan kongian alias berkunjung ke rumah murid-muridnya yang Tionghoa. Nah, saat Natal tiba gantian murid-muridnya yang datang berkunjung.

Sesampainya di kontrakan Abel saya sempat bingung. Saya hanya bawa 1 celana panjang dan itu pun sobek-sobek, lainnya celana pendek. Masak berkunjung ke wali murid mengenakan celana belel? Abel pun memaksa saya memakai rok dan bajunya lengkap dengan sandal hak tinggi. Fiuh!

Selama sesorean saya pun mengikuti Abel keliling dari satu rumah ke rumah lainnya. “Gong Xi Fat Chai, Kyung hi!” kata Abel tiap memasuki rumah sambil menangkupkan kedua tangan di dada dan mengangguk berkali-kali yang dijawab sama oleh tuan rumah. Saya yang baru kali itu mengikuti imlek hanya membebek apa yang dilakukan Abel. Setelah bersalam-salaman, kami pun disuruh makan. Jika Lebaran menu wajibnya adalah ketupat opor, maka Imlek di Bangka menu wajibnya adalah pempek, tekwan, bakwan, dan laksa. Aneka sofdrink dan camilan seperti manisan kelubi serta kacang ketawa ikut menyemarakkan meja tamu.

[caption id="attachment_286935" align="aligncenter" width="387" caption="Aneka Hidangan Khas Imlek"]

13787688971487670472
13787688971487670472
[/caption]

“Oya, kenalin ini temennya Bu Ibet yang baru datang dari Jawa, namanya Bu Sasha,” kata Abel (dia di sekolah dibanggilnya Bu Ibet) kepada murid-muridnya. “Jangan panggil ibu, mbak aja,” ralat saya. “Oh kalau gitu panggilnya Cece saja. Cece Sasha,” potong Abel cepat. Kontan saya ngakak. Jawa tulen dan hitam gini mana pantas dipanggil Cece? Tapi rupanya bocah-bocah manut dengan bu gurunya, akhirnya saya pun resmi menyandang nama Cece Sasha. Cece kok hitam pekat!

Jelang pukul 17.00 WIB kami pun pergi ke gereja tertua di Pangkal Pinang untuk beribadah. Setelah itu kembali melanjutkan kongian hingga pukul 21.00 WIB. Begitu menjejak di kontrakan, saya pun langsung merebahkan badan di lantai. Tapi mana bisa tidur? Kami yang sudah tidak bertemu selama 3 tahun pun berbincang tentang hidup masing-masing hingga dini hari. Hingga 2 hari selanjutnya, aktivitas yang saya lakukan di Pangkal Pinang dan di Koba hanyalah kongian keliling kota dan makan empek-empek hingga eneg.

Di hari terakhir sebelum saya kembali ke Belitung, Abel mengajak saya pergi ke Bangka Botanical Garden. Kalau saya bilang, Bangka Botanical Garden (BBG) adalah kebun raya yang terbuat dari kotoran sapi hehehe. Areal yang dijadikan lokasi BBG dulunya adalah bekas pertambangan timah berupa kolong, rawa-rawa, dan tanah gersang. Lantas seseorang bernama Johan Ridwan Hasan berinisiatif untuk mengolah tanah kritis ini supaya bisa digunakan kembali. Kotoran sapi dan kapur pun digunakan menjadi bahan utama untuk menyuburkan tanah. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, saat ini kawasan BBG mulai terlihat hijau penuh dengan pepohonan, kolam ikan, ladang sayur, serta peternakan.

[caption id="attachment_286937" align="aligncenter" width="512" caption="Bangka Botanical garden"]

13787690141425065657
13787690141425065657
[/caption]

Dari BBG, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Pasir Padi yang lokasinya cukup berdekatan. Berbeda dengan pantai-pantai di Belitong yang dipenuhi batu granit, Pantai Pasir Padi menyajikan pemandangan pantai berpasir yang sangat landai, panjang, dan luas. Sore itu terlihat banyak anak-anak bermain bola di pantai.

Sambil menunggu sunset, kami berbincang tentang banyak hal. Tentang hari-hari yang telah dijalani, tentang masa depan yang menanti, tentang sakit hati ditinggal pergi, hingga hati yang ingin disinggahi serta dijadikan tempat pulang untuk melabuhkan segala kesah dan lelah. Ada satu ucapan Abel yang sungguh menguatkan saya yang kala itu tengah dirundung beban.

“Sha, saat aku sedang banyak masalah aku selalu main ke pantai ini. Berada di pantai yang sangat luas hingga bisa melihat batas cakrawala selalu membuatku lebih tenang dan berpikir jernih. Masalahku hanyalah sekecil pasir, tidak ada apa-apanya dibandingkan semesta yang luas ini. Jadi kenapa harus takut dan menyerah? Kita terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh masalah-masalah itu. Facing your giants, Sha!”

[caption id="attachment_286938" align="aligncenter" width="512" caption="Pantai Pasir Padi"]

13787690681107258202
13787690681107258202
[/caption]

 

*** Kamis siang, saya pun kembali berlayar ke Belitung menggunakan kapal cepat. Berbeda dengan keberangkatan yang hanya duduk di dalam kabin, kali ini saya memilik untuk berada di dek menikmati semilir angin dan ombak sambil berbincang dengan bapak-bapak dan beberapa abang-abang yang asyik merokok.

Rupanya hari itu ombak cukup tinggi sehingga goyangan kapal cukup terasa. Entah karena masuk angin atau efek ombak tinggi, perut saya langsung mual dan kepala pening. Bergegas saya kembali masuk ke kabin dan mengoleskan minyak ke leher dan perut. “Jangan mabuk laut, jangan sakit, jangan tumbang,” rapal saya dalam hati. Untunglah, ketika kapal merapat di pelabuhan Laskar Pelangi sekitar pukul 17.00 WIB badan saya sudah mendingan.

[caption id="attachment_286939" align="aligncenter" width="576" caption="Senja di Tanjung Pendam"]

13787691141542579530
13787691141542579530
[/caption]

 

Sore itu langit Tanjung Pandan sangat cantik. Semburat pelangi samar terlihat di sebelah timur dan sunset mempesona di sebelah barat. Setelah memotret pelangi dari pelabuhan saya pun bergegas berlari ke Pantai Tanjung Pendam untuk mengabadikan sunset.

Usai menyakasikan sunset, saya berjalan kaki ke Tugu Batu Satam yang berjarak sekitar 1,5 km dari pantai. Berhubung di Tanjung Pandan tidak ada angkutan kota, jadi kemana-mana harus berjalan. Sepanjang jalan saya menjadi tontonan orang-orang. Mungkin pikir mereka ini cewek nyasar dari mana, magrib-magrib jalan sendirian sambil gendong carrier segede gaban. Bukan weekend pula.

[caption id="attachment_286940" align="aligncenter" width="512" caption="Tugu Batu Satam, Landmark Tanjung Pandan"]

13787691612131196585
13787691612131196585
[/caption]

 

Saat tiba di Tugu Batu Satam, jam besar sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Jarak kantor KPLB dan Tugu Batu Satam sekitar 3-4 km, kaki saya sudah terlalu lelah untuk berjalan. Apalagi ini sudah malam. Saya pun berniat minta jemput Bang Asro, Bang Ade, atau Bang Eko. Tapi naas, ponsel saya mati, baterainya habis. Njuk iki piye? Pikir saya kalut.

Sambil duduk kebingungan di pinggir jalan mendadak saya melihat pos polisi. Aha! Pikiran cerdas pun muncul di benak. Saya pun lantas menuju ke pos polisi, “curhat” kondisi saya malam itu sambil numpang ngecharge dan buang air kecil. Ketika ponsel sudah bisa dinyalakan, saya langsung menghubungi kawan-kawan saya. Lagi-lagi saya tidak beruntung. Tidak ada satu pun nomor yang aktif. Sepertinya mereka tengah berada di Batu Mentas. Lagi-lagi saya curhat ke pak polisi yang sedang berjaga.

Entah kasihan, entah sebel, atau bosan melihat tampang saya yang memelas, awut-awutan, kucel, buluk, dan bau, polisi tersebut akhirnya pamit keluar sebentar. Begitu datang dia sudah bersama dengan seseorang.

“Mbak kalau mau pulang ke kantor temannya biar diantarkan pak ojek ini saja. Tidak usah bayar, tadi sudah saya bayar. Saya tidak bisa ngantar soalnya belum ada teman yang menggantikan jaga. Kasihan mbak kalau harus jalan malam-malam” katanya.

“Waduh pak, ndak usah, ngrepotin. Etapi terimakasih ding” jawab saya basa-basi. Padahal aslinya girang. Akhirnya sekitar pukul 21.00 WIB saya diantarakan oleh pak ojek menuju kantor kawan saya. Aish, lagi-lagi saya dipertemukan dengan orang-orang baik.

***

Hari-hari selanjutnya di Belitung saya habiskan dengan kongkow-kongkow bersama warga lokal, ngobrol sana-sini, ketawa-ketiwi, galau di pinggir pantai, menyaksikan pertunjukan dangdut, hingga melihat tradisi ngijing (mencari kijing saat air laut surut). Saya nongkrong di warnet, di titik nol, di pantai, di warung kopi, di warung Mie Atep, di klenteng, hingga di pasar. Saya melipir ke Batu Mentas Tarsius Sanctuary, sebuah kawasan konservasi hewan Tarsius di kaki Gunung Tajam. Menghabiskan malam di tengah hutan ditemani gemintang, derik serangga, gemericik air sungai dan nyanyian Hafidz yang mampu membuat tubuh dan jiwa rileks.

[caption id="attachment_286941" align="aligncenter" width="512" caption="Di Rumah Pohon yang Ada di Batu Mentas"]

1378769217499149842
1378769217499149842
[/caption]

Saya juga sempat menghadiri pernikahan saudara kawan saya di Kecamatan Kelapa Kampit, Belitung Timur. Sesaat saya merasa disorientasi, di Pulau Belitung mendengar puluhan orang berbincang dengan bahasa ngapak Cilacapan. Rupanya yang menikah adalah orang Cilacap yang sudah belasan tahun tinggal di Belitong.

Beberapa kali saya bolak-balik ke Pulau Kepayang, belajar renang dan snorkeling. Sebagai bocah yang dibesarkan di pegunungan tentu saja saya lebih karib dengan halimun dan gigir gunung dibandingkan dengan laut. Namun Bang Asro berhasil “memaksa” saya untuk nyebur ke laut dan berkenalan dengan dunia bawah air. Bersama 4 mahasiswa UNPAD yang sedang penelitian di Pulau Kepayang, kami juga sempat mampir ke pulau pasir untuk mengunjungi Pattrick si bintang laut.

[caption id="attachment_286942" align="aligncenter" width="504" caption="Bermain Bersama Pattrick di Pulau Pasir"]

13787692881210032397
13787692881210032397
[/caption] [caption id="attachment_286943" align="aligncenter" width="480" caption="Menjadi Bocah Laut"]
1378769324241112641
1378769324241112641
[/caption]

Di malam terakhir sebelum pulang, saya dan 7 orang kawan nongkrong di warung kopi yang terletak di bibir pantai. Kami berbincang tentang banyak hal. Saat itu saya dan Bang Ade sempat berbincang tentang mimpi masing-masing.

“Saya nggak mau hidup buat memenuhi mimpi dan ambisi orang lain. Saya pengen menjalani mimpi saya sendiri,” kata saya. “Saya pun begitu. Karena itu saya tetap memilih bertahan di pulau kecil tempat kelahiran saya. Saya pengen membangun ekowisata di tempat ini. Sebenarnya kalau mau ke Jakarta saya bisa dapat pekerjaan yang jauh lebih mentereng. Tapi ini pilihan saya dan saya siap dengan segala konsekuensinya,” “Iya ya. Saya juga nggak pengen jadi orang penting. Saya cuma pengen jadi orang yang berguna buat orang lain,” “Betul, percuma kita jadi orang penting dan sukses tapi mengorbankan banyak hal di sekitar kita. Yang paling penting adalah jadi orang yang berguna untuk sesama!” [caption id="attachment_286945" align="aligncenter" width="448" caption="Bang Jon, Pemilik Warung Kopi Kong DJie Teman Saya Ngobrol"]

1378769426486849273
1378769426486849273
[/caption]

 

***

Kamis 21 Februari, saya bangun pagi-pagi dan mengemasi semua barang-barang. Usai mandi dan keliling kota untuk terakhir kalinya saya lantas menyalami semua orang yang ada di kantor. Bang Budi, Bang Asro, Bang Eko, Bapak depan kantor yang saya lupa namanya, Shinta, Iqbal, Ihsan, Adli, Ridwan, dan Uwak. Saya pamit pulang. Matur suksma untuk tumpangannya selama saya di Belitung. Pagi itu saya diantarkan Titis menuju bandara.

[caption id="attachment_286944" align="aligncenter" width="448" caption="Terimakasih Kawan"]

1378769384604775147
1378769384604775147
[/caption]

Ketika pesawat yang saya naiki mulai mengangkasa saya melihat awan gemawan dan langit biru yang sangat luas. Ya, perjalanan 2 minggu ini telah meluaskan cara berpikir saya. Pertemuan dengan orang-orang baru dan perbincangan dengan mereka telah mengajarkan saya banyak hal. Hidup memang tak pernah mudah dan akan selalu rapuh. Tapi justru disitu kita ditantang untuk melatih diri, menghadapi setiap kegagalan dan kekecewaan, lantas kembali mengumpulkan keping-keping yang rusak dan menyusunnya kembali. Jangan pernah menyerah dengan tiap masalah.

Benar bahwa perjalanan selalu mengajarkan sesuatu. Perjalanan kali ini mengajarkan saya untuk menjadi lebih kuat, tangguh, serta berani mengambil keputusan dalam hidup. Perjalanan ini juga memulihkan luka yang pernah mendera. Tak perlu bersedih meratapi kegagalan, yang perlu dilakukan adalah kembali berjuang. Karena hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan dengan bersedih dan meratapi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun