Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemiskinan, Pemiskinan, dan Demokratisasi

16 Juni 2011   15:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27 2901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_249733" align="alignleft" width="300" caption="sumber: google image"][/caption]

“Ketiadaan demokrasi adalah akar kemiskinan yang sejati”.

(Amartya Sen)

Terminologi Kemiskinan

Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing lagi, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan masih multi-interpretable.Secara sangat sederhana, Levitan mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sementara itu, Bappenas merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.Hal ini tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.

Uraian tersebut secara simpikatif memperlihatkan dua cara pandang dalam menyoroti fenomena kemiskinan. Pandangan pertama melihat kemiskinan sebagai suatu proses, sedangkan pandangan kedua melihat kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil.Pandangan ini melahirkan konsep tentang kemiskinan relatif yang sering dikenal dengan sebutan kemiskinan struktural. Sebaliknya, pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.

Walaupun secara sepintas ada perbedaan pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan terkecil.Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakattersebut.Secara diagramatis hubungan sebab akibat antara masyarakat yang lemah (secara relatif) dan yang miskin (secara absolut) ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:

[i] Levitan, Sar A., (1980). Program in Aid of the Poor for the 1980’s. Policy Studies in Employment and Welfare, the Johns Hopkins University Press, London.

Bappenass dan Depdagri (1993). Panduan Program Inpres Desa Tertinggal, Bappenas, Jakarta.

Karena itu, saat ini konsep kemiskinan yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti pada proses pemiskinan dan sebab-sebab kemiskinan. Dari perspektif ini kemiskinan dipahami sebagai perampasan kapabilitas dan akses. Posisi yang diambil dengan sudut pandang kemiskinan struktural mencakup lima dimensi pokok, yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan fisik.

Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses pemiskinan dan kemiskinan struktural adalah hal yang paling mendominasi realitas persoalan yang sebenarnya. Sayangnya, menurut HS. Dillon, orientasi pembangunan di Indonesia masih terlalu “economic minded” sehingga penanganan terhadap kemiskinan (poverty alleviation strategy) bersifat parsial. Kesemuanya adalah konsekuensi dari pilihan orientasi pembangunan yangmenitikberatkan pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan hanya digerakkan oleh dan bagi para pemilik modal bercorak kapitalistik, sementara peran rakyat sekadar menjadi penyokong pembangunan semata. Bahkan, dalam pandangan agrarian populist, seperti pernah diungkapkan sosiolog Loekman Soetrisno, justru negara-lah penyebab utama kemiskinan.

Harus disadari bahwa kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks.Karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan, permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut pemahaman hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik.Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu atau antargolongan masyarakat merupakan karakteristik intern.Karena itu pula untuk menanggulangi kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalam entitlement.Baik terhadap sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti kesempatan untuk memperoleh share dari aliran manfaat. Kemiskinan juga merupakan akibat dari proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan hilangnya partisipasi, keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas. Karena itu, kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi juga karena masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat dan negara maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.

Namun demikian, kekonyolan yang sering kita lakukan adalah bersikap terlalu optimis terhadap trend pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya parameter yang absah untuk mengukur keberhasilan pengentasan kemiskinan. Benarlah dugaan Amartya Sen bahwa penyebab kegagalan kita dalam menangani kemiskinan selama ini seringkali disebabkan antara lain karena kegagalan kita dalam memahami kemiskinan itu sendiri. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, bahkan, tidak saja akan mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga menjadi tidak tepat sasaran.

Dalam perspektif yang lebih makro, pemiskinan juga dapat dilihat sebagai grand design kaum kapitalis dan “mafia” neoliberal dimana negara-negara miskin menjadi objek utamanya. Aktivis debtWach, Arimbi Heroepoetri menduga bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya regulasi yang dimiliki negara-negara miskin. Dengan begitu, mesin uang globalisasi yang terdiri dari kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID), Kelompok TNCs/MNCs, dan lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak negara-negara miskin melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja hanya dinikmati para kapitalis, sementara rakyat miskin di berbagai belahan dunia terus-menerus menjadi sapi perahan.

Fenomena Pemiskinan Global

Sidang Umum PBB direncanakan akan secara khusus membicarakan persoalan kemiskinan di penghujung September 2005. Agenda sidang ini juga akan mengevaluasi program Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2000. Inti dari MDGs adalah komitmen masyarakat dunia untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara bersama-sama. Target utama program ini adalah bahwa pada tahun 2015 dunia harus terbebas dari kemiskinan. Akankah misi ini tercapai di tengah iklim global yang kian carut-marut ini ?

Kini dunia ibarat sebuah kampung! Masihkah negara berperan mengayomi rakyatnya ketika dominasi modal-global berhasil menancapkan kuku-kukunya? Bersamaan dengan krisis keuangan di negara-negara “Dunia Ketiga”, paham neoliberalisme dengan sadar didesakkan menjadi kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Word Bank, dan WTO. Pasar bebas kemudian diciptakan menjadi perangkap untuk menerkam negara-negara miskin dengan lilitan dan jebakan utang yang secara sengaja diciptakannya. Pasar bebas memang bukan sebuah konsep netral, tapi lebih merupakan wajah lain dari kapitalisme dimana globalisasi diideologisasi menjadi kredonya.

Elizabeth Martinez dan Arnold Garcia mencatat beberapa poin penting yang menjadi karakter utama neoliberalisme. Pertama, mekanisme pasar bebas dimana perusahaan-perusahaan swasta dibebaskan dari segenap keterikatan dan intervensi pemerintah. Mekanisme ini pada akhirnya akan menghilangkan kontrol negara terhadap mekanisme pasar sehingga harga sepenuhnya didasarkan atas kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa. Kedua, mereduksi pengeluaran negara, terutama anggaran publik dalam hal pelayanan sosial, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial, subsidi BBM, dan lain-lain. Ketiga, melakukan deregulasi dengan menekan peraturan-peraturan pemerintah agar menguntungkan kalangan pengusaha. Keempat, privatisasi dalam bentuk penjualan aset-aset publik seperti BUMN kepada investor swasta. Termasuk aset-aset strategis seperti bank, listrik, jalan tol, rumah sakit, dan bahkan barang yang menjadi public goods seperti air minum. Kelima, sebagai konsekuensinya, rakyat kehilangan akses terhadap barang publik yang sesungguhnya merupakan hak-milik komunitas.

Dengan skema kebijakan seperti itu, aktivis ICRP Trisno S. Sutanto menilai arus globalisasi neo-liberal merupakan perluasan kekuasaan segelintir pemodal yang mau mencaplok seluruh pelosok dunia di bawah kendali mereka. “Fenomena globalisasi yang sangat kompleks itu merupakan penciptaan kampung global tetapi sekaligus juga penjarahan secara global,” ungkapnya. Menurut aktivis HAM Asmara Nababan, pengabdian negara pada kepentingan modal-global bahkan akan memicu kekerasan modal (capital violence) yang menindas rakyat dengan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai kedoknya. Padahal, konsep pembangunan yang hanya bertopang pada pertumbuhan ekonomi harus segera direvisi. Pembangunan harus diorientasikan pada pemajuan manusia yang dilakukan untuk memastikan bahwa ia dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan. Sejalan dengan ini, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, negara dapat memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati pemenuhan hak-hak asasinya –baik hak-hak sipil-politik maupun hak-hak ekonomi-sosial-budaya— demi peningkatan kualitas hidupnya.

Namun, ironisnya, pemerintah Indonesia yang ‘mengaku-aku’ sebagai pengikut paham welfare state justru terjerembab ke dalam lumpur ekonomi neoliberalisme yang amat dalam. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, merupakan contoh vulgar dimana skandal keuangan yang disarankan IMF itu telah merampas sejumput harapan dan mengusik rasa keadilan masyarakat serta mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya lebih layak diterima masyarakat kecil. Aktivis KIKIS, Andik Hardiyanto, menilai bahwa lemahnya posisi Indonesia terhadap IMF telah mendorong pemerintah untuk mempercepat proses liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan liberalisasi sektor pertanian tampak antara lain pada pencabutan berbagai subsidi untuk petani yang berakibat pada lemahnya kinerja petani yang pada gilirannya juga mengakibatkan peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

Senada dengan itu, aktivis BINA DESA, Syaiful Bahari, menilai fenomena tersebut sebagai bentuk kekonyolan pemerintah. Memang yang diharapkan kapitalisme global adalah berkurangnya peran negara, melemahkan peran negara agar mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara negara hanya diperlukan keberadaannya sebatas menjadi backing pengusaha semata. Menurutnya, pemerintah tidak punya keberanian untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan masyarakat. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi rakyatnya dari intervensi asing. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya, semua diprivatisasi, semua diliberalisasi.“Kalau semua diprivatisasi, kalau semua diliberalisasi, buat apa ada negara?buat apa ada pemerintah ? Kita bubarin saja negara!,” tukasnya.

Kerisauan Syaiful Bahari patut dimengerti karena terbukti banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih peduli pada kepentingan pemodal dari pada kepentingan rakyat. Kasus Buyat, misalnya, merupakan contoh nyata dimana kepentingan rakyat dikorbankan atas nama investasi dan kalkulasi ekonomi. Direktur SERAT Manado, Reiner Ointoe menilai bahwa PT Newmont Minahasa telah melakukan kontrak karya yang sama sekali tidak memihak rakyat. Kontraknya dibuat dengan Pemerintah Pusat dengan landasan UU Pertambangan yang sangat sentralistik. Masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan dalam kontrak karya itu. Rakyat hanya ditipu dan menjadi korban penambangan yang mencemarkan lingkungan hidup itu.

Menurutnya, memang ada semacam corporate social responsibility yang dilakukan PT Newmont, seperti pembangunan puskesmas, tapi itu kecil sekali dan tidak sebanding dengan sejumlah kerugian yang diderita rakyat atas rusaknya lingkungan akibat ‘penambangan berkelanjutan’ itu. Bahkan, selain kerugian lingkungan, PT Newmont juga telah memancing terjadinya konflik horisontal diantara masyarakat. Kerugian sosial-kultural ini muncul karena PT Newmont telah menciptakan “kelas masyarakat” dengan memanjakan sebagian kecil masyarakat untuk ‘diadu-domba’ dengan sebagian masyarakat lainnya yang menentang kehadiran PT Newmont.

Sayangnya, kalangan LSM cuma mengadvokasi persoalan di ujungnya saja. Mereka cenderung hanya mengadvokasi persoalan kesehatan dengan munculnya penyakit Minamata, padahal persoalannya jauh lebih besar dari itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah perlu adanya gugatan soal kontrak karya dan gugatan atas kerugian lain yang diderita masyarakat akibat beroperasinya PT Newmont. Namun yang terjadi justru makin pelik karena sebagian masyarakat, LSM, wartawan, dan kalangan kampus pun sudah banyak yang bisa “dibeli” untuk mendukung PT Newmont. “Ujung-ujungnya, masyarakat kecil juga yang dirugikan karena mereka menjadi korban dari segala pertikaian yang terjadi,” ujar Reiner menambahkan.

Hal serupa terjadi dalam kasus privatisasi air. Dalam laporannya mengenai Kerangka Kebijakan Sektor Air Perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework) Word Bank telah merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) diswastanisasi. Ide awalnya memang untuk efisiensi, tapi kenyataannya justru air semakin mahal dan akses masyarakat terhadap air juga makin sulit. Padahal, hak terhadap air yang setara merupakanbagian dari hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 secara tegas telah menjamin hak dasar tersebut.  Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ini mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Aktivis WALHI, Edang Ridha Saleh menilai bahwa hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.  Agenda privatisasi ini didorong oleh lembaga keuangan dunia (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program Water Restructuring Adjustment Loan (WATSAL) dari World Bank. “Ini sebenarnya merupakan modelkolonialisme baru yang perlu kita lawan,” ujarnya.

Senada dengan itu, aktivis Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Surabaya, Herlambang Perdana, menilai persoalan privatisasi air sarat dengan kepentingan para kapitalis global. Menurutnya, bisnis air yang sering disebut sebagai blue golditu telah menjadi incaran perusahaan multinasional (multinational corporate). Karena itu ia heran, kenapa para wakil rakyat di DPR pada tanggal 19 Februari 2004 yang lalu begitu mudahnyamengesahkan UU Sumberdaya Air yang jelas-jelas merugikan rakyat. “Padahal, dalam proses pembuatan perundangan, DPR harus lebih utama mengakomodasi harapan publik. Tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. DPR malah main-mata sama pemilik modal untuk menggolkan peraturan perundangan,” ujarnya. Lebih tragis lagi, di tengah berbagai keprihatinan yang melanda bangsa ini, para wakil rakyat malah “asyik-masyuk” dengan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak malu-malu meminta kenaikan gaji, sementara rakyat didera busung lapar dan kerawanan pangan.

Sinyalemen tersebut sesuai dengan temuan Riset Demos yang menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan memperlihatkan angka yang buruk. Dalam hubungannya dengan Parpol dan lembaga legislatif, kualitas keterwakilan itu dapat disimak pada tebel-1 berikut:

No

Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi

Kualitas H/I Demokrasi (%)

Kualitas H/I

After 1999 (%)

Baik

Buruk

[+]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun