Di tengah hiruk pikuk kehidupan ibukota yang padat dan penuh polusi sesekali aku ingin menyegarkan pikiran dan badan dengan menjelajah alam terbuka. Untungnya sekarang sudah ada kemudahan transportasi dan perizinan setelah pandemi dinyatakan selesai. Sehingga untuk bepergian tidak perlu dokumen yang rumit seperti sertifikat vaksin dan lainnya.Â
Salah satu tempat yang aku datangi ialah suku Baduy yang terletak di Banten. Aku sudah lama mendengar kisah suku  ini sejak SMA karena memiliki keunikan  budaya, tradisi dan sinergi dengan alam. Maka saat KPK dan Koteka salah satu komunitas di Kompasiana mengadakan open trip ke Suku Baduy maka dengan semangat aku mendaftar dan mengikutinya.Â
Tanggal 22 Juli 2023 aku mendatangi stasiun Tanah Abang jam 07.00 pagi agar bisa berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Waktu perjalanan sekitar 2,5 jam aku gunakan untuk tidur agar bisa menyimpan tenaga saat menuju terminal Ciboleger. Begitu tiba di Rangkas Bitung rombongan kami sudah dijemput mang Ojan salah satu warga Baduy Luar berusia 20 tahun.
Dengan menaiki angkot perjalanan selama dua setengah jam kami tempuh sambil melihat pemandangan sawah, hutan dan pedesaan. Tentunya kami bersepuluh banyak mengobrol dan bersenda gurau agar suasana makin akrab dan perjalanan terasa menyenangkan. Setelah sampai kami pun registrasi di depan desa Kaduketug I kabupaten Lebak.Â
Karena disini sinyal telekomunikasi sulit maka aku memutuskan mematikan paket data agar bisa fokus mengenal suku Baduy. Ternyata banyak hal yang aku baru ketahui misalnya anak-anak di suku Baduy tidak bersekolah namun bisa membaca dan menulis karena ada remaja atau orang dewasa yang mengajari. Selain itu disini listrik sangat minim hanya dinyalakan saat malam hari menggunakan lampu yang bisa diisi ulang daya baterainya.Â
Fakta lainnya sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dan pengrajin kain tenun. Banyak barang hasil buatan sendiri seperti gelang, kalung, baju, syal, celana, kain tenun dan lainnya dipajang di teras. Pengunjung bisa membayar dengan tunai atau non tunai. Bagi para perempuan rata-rata menikah muda usia 17 - 18 tahun dan memiliki anak usia 19 atau 20 tahun.Â
Setelah menjelajah kampung Kaduketug I kami pun makan siang dengan menyantap makanan Indonesia seperti tempe, tahu, ikan asin, pete rebus, sambal tomat, kerupuk lalu minum kopi atau teh dengan gula aren padat. Dengan penuh keakraban kami menikmati makanan dengan semangat hingga kenyang.Â
Setelah kenyang sebagian berbelanja kain, baju, gula aren, pete dan lainnya untuk oleh-oleh keluarga di Jakarta. Perjalanan belum selesai kami pun lanjut ke jembatan akar untuk melihat jembatan besar yang disambungkan dua akar pohon besar. Perjalanan menuju jembatan tidaklah mudah kami harus menaiki dan menuruni jalanan yang curam dan penuh berbatu. Lalu melewati jembatan yang terbuat dari bambu namun kurang rapat sehingga mudah bergeser saat diinjak.Â