Pawai juga dimeriahkan dengan atraksi drumband, karnaval pasukan merah putih, pasukan pemuda dengan pakaian adat dari berbagai daerah, pembagian roti Ganjel Rel dan air khataman Al Quran ke masyarakat.Â
Saya juga suka melihat kemeriahan pawai karena banyak kesenian tradisional yang ditampilkan apalagi warak ngendok yang dihias dengan warna-warna cerah. Semua masyarakat Semarang senang dan antusias dengan tradisi Dugderan yang menjadi agenda tahunan bahkan menjadi event pariwisata yang dipadati oleh wisatawan.Â
Kini dengan adanya pandemi, tradisi Dugderan tetap dilakukan namun tidak diiringi pawai atau karnaval. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerumunan masyarakat dan mencegah penularan virus penyakit, bapak Hendrar Prihadi sebagai walikota Semarang menggantinya dengan mendatangi Masjid Besar Kauman untuk menemui ulama dan tokoh masyarakat guna menentukan awal puasa.Â
Walaupun dengan cara sederhana, namun makna tradisi Dugderan tetap dipertahankan menyesuaikan kondisi saat ini. Intinya adalah budaya yang memiliki nilai luhur tetap dijalankan walaupun ada beberapa bagian yang sementara ditiadakan.Â
Puasa tetap dijalankan dengan semangat menjaga kebersihan, kesehatan dan kerukunan dalam perbedaan di masyarakat. Beruntunglah dulu saya masih sempat merasakan kemeriahan Dugderan, menonton pawai Warak ngendok dan suka cita menjalankan ibadah puasa dari anak-anak sampai dewasa.Â
Semoga tradisi Dugderan bisa lebih meriah tahun depan sehingga anak-anak bisa merasakan, mencintai tradisi lokal dan menjadi ciri khas kota Semarang dalam melaksanakan toleransi beragama serta menyambut datangnya bulan suci Ramadan.Â
Saya juga berharap tahun depan bisa menjalankan puasa dengan kondisi lebih baik seperti menjalankan tarawih di masjid, buka puasa di luar rumah, mudik ke kampung halaman dan sholat Idul Fitri berjamaah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H