Negara-negara maju telah menerapkan efisiensi dalam perjalanan dinas. Misalnya, Jerman dan Korea Selatan menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja yang ketat, memastikan setiap pengeluaran, termasuk perjalanan dinas, memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Mereka juga memanfaatkan teknologi untuk mengurangi kebutuhan perjalanan dinas, seperti melalui konferensi video dan alat komunikasi digital lainnya. Dengan demikian, perjalanan dinas dilakukan hanya ketika benar-benar diperlukan dan memberikan nilai tambah yang signifikan.
Dengan mencontoh praktik-praktik tersebut, Indonesia dapat meningkatkan efisiensi dalam perjalanan dinas, memastikan anggaran digunakan secara optimal, dan mengurangi beban bagi pegawai di daerah.
Untuk mengakomodasi berbagai pengeluaran tak terduga dalam perjalanan dinas, banyak instansi memiliki dana taktis. Secara definisi, dana taktis adalah anggaran yang dialokasikan untuk keperluan mendesak, fleksibel, dan tidak terduga. Namun, dalam praktiknya, ada dana taktis yang tidak tercatat dalam DIPA/RKAKL, sehingga tidak dipertanggungjawabkan secara resmi kepada negara. Lalu, dari mana asal dana ini?
Selama ada celah dalam penggunaan uang negara, dana taktis bisa muncul. Contoh sumbernya antara lain belanja habis pakai seperti ATK atau fee dari vendor dan kontraktor. Ada kalanya, dana ini digunakan untuk sesuatu yang dianggap "mulia," seperti makan bersama untuk mempererat kekompakan tim, merayakan ulang tahun rekan kerja, atau acara perpisahan. Namun, karena tidak transparan, dana ini juga rawan penyimpangan.
Seharusnya, negara mengalokasikan dana yang lebih transparan untuk kebutuhan kesejahteraan pegawai, tetapi tetap dengan batasan dan parameter yang jelas. Selain itu, budaya "melayani atasan" yang berlebihan harus dihilangkan. Ketika ada tamu dari pusat, biarkan mereka membayar makan sendiri, tidak perlu diberi oleh-oleh, dan tidak perlu perlakuan istimewa. Sebab, tamu bukan hanya satu orang, dan ini adalah uang negara yang harus dikelola dengan bertanggung jawab.
Perampingan Kementerian/Lembaga
Ada banyak cara untuk meningkatkan efisiensi dalam pemerintahan, mulai dari pengurangan biaya utilitas seperti listrik, air minum, hingga perawatan taman kantor. Bahkan, anggaran untuk perayaan hari-hari tertentu bisa dikurangi. Namun, ada satu aspek yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu efisiensi dalam organisasi Kementerian dan Lembaga (K/L).
Kabinet Gemuk dan Beban Anggaran
Presiden Prabowo telah mengusung berbagai kebijakan efisiensi, tetapi ironisnya hal tersebut tidak diterapkan dalam struktur birokrasi pemerintahannya. Kabinet saat ini tergolong sangat gemuk, yang berarti ada beban anggaran besar untuk membiayai operasional menteri, staf khusus, staf ahli, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, pusat data dan informasi, biro komunikasi, hingga sewa gedung bagi kementerian yang belum memiliki kantor sendiri. Belum lagi, pengembangan organisasi yang semakin kompleks, di mana satu kementerian yang sebelumnya hanya memiliki satu eselon 1 kini berkembang menjadi 4 atau 5.
Banyaknya kementerian dan lembaga berarti banyak pengeluaran tambahan, yang bisa dikurangi melalui penggabungan struktur organisasi tanpa mengorbankan efektivitasnya. Oleh karena itu, solusi yang lebih masuk akal adalah menggabungkan beberapa kementerian tetapi memperkuat peran wakil menteri (wamen).
Penggabungan Kementerian dan Pergeseran Ditjen
Berikut beberapa usulan untuk mengoptimalkan birokrasi:
- Kementerian ATR/BPN digabung dengan Kementerian Perumahan
- Ditjen Bina Marga dipindahkan ke Kementerian Perhubungan
- Ditjen Sumber Daya Air yang berkaitan dengan irigasi dan bendungan dialihkan ke Kementerian Pertanian, sedangkan yang terkait sungai dan laut ke Kementerian Lingkungan Hidup
- Direktorat Air Minum dan Direktorat Sanitasi sebaiknya diletakkan di Kementerian Lingkungan Hidup
- Kementerian Lingkungan Hidup digabung dengan Kementerian Kehutanan
- Bappenas dan BPIW dialihkan ke Kementerian Keuangan
- Ditjen HAM, Imigrasi, Pemasyarakatan digabung kembali ke Kementerian Hukum.
Setiap tiga Ditjen yang berkaitan dapat dipimpin oleh satu Wakil Menteri, dengan catatan bahwa wakil menteri ini harus memiliki kekuatan dan kewenangan yang jelas. Dengan adanya wamen yang cukup kuat, kita bisa mengakomodasi kepentingan politik tanpa harus menambah struktur birokrasi yang berlebihan.
Mengapa Wakil Menteri Penting?
Ketika sebuah kementerian memiliki banyak wewenang, tanpa organisasi yang kuat, maka kekuasaan bisa berpusat hanya pada satu orang menteri. Setiap menteri pasti memiliki kecenderungan atau prioritas tertentu, dan jika tidak ada pengawasan dari dalam, maka aspek lain bisa terabaikan. Contoh nyata adalah Kementerian PUPR, di mana isu perumahan sering kali kurang mendapat perhatian dibandingkan proyek infrastruktur besar. Dengan adanya wakil menteri yang bertanggung jawab atas beberapa Ditjen, maka kebijakan bisa lebih merata dan tidak berat sebelah.