Mohon tunggu...
Sarwo Edhi Ubit
Sarwo Edhi Ubit Mohon Tunggu... Administrasi - PNS muda

Seorang insinyur muda dan pemerhati sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik Terhadap "Law of Attraction"

1 Maret 2016   21:59 Diperbarui: 1 Maret 2016   22:13 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[3] Lalu, kenapa saya mengkritik?

Karena dalam masalah takdir LOA saja tidak cukup. LOA (sebagian) adalah sunatullah, tetapi tak cuma itu saja. Pasti ada hukum lain yang menggandengnya. Karena ini masalah ghaib, maka tak mungkin kita dapati semuanya. Salah satu konsep “invers” dari LOA adalah hukum tolak menolak sendiri. Adapula hukum “intervensi Tuhan”.

Contoh agar saya tidak di cap pembohong, di Kampung Gani, Kec. Ingin Jaya Kab. Aceh Besar adalah seorang wanita yang dipanggila “Kak baik budi“. Kesantunannya adalah mahsyur, tapi tahukah Anda suaminya justru jauh berbeda dengan dia? Bisa juga karena penafsiran “si pria ingin mencari wanita saleh” dan “si wanita ingin pria dengan tipikal suaminya itu”. Malah ini menjadi paradoks. Berfikir menginginkan impian spesifik bisa menjadi boomerang, persis orang yang menginginkan uang, alhasil ibunya meninggal dan ia mendapat uang santunan. Mengerikan bukan?

Menginginkan kebaikan dunia dan akhirat disertai sabar lebih baik daripada menginginkan dunia yang berujung mengerikan
Jadi cukupkah LOA menjelaskannya? TIDAK. Andaikan ada tafsiran untuk mendukung kasus tersebut tapi masih dalam judul LOA itu tidak tepat, sama dengan menjelaskan teori Kalor dengan hukum kabel. Jelas ga ada hubungan alias dipaksakan. Ketika kita ingin menafsirkan setiap aspek kehidupan dengan LOA pada akhirnya berujung pada kelelahan, kelelahan untuk meraih garis merah dari semua takdir Tuhan.

[4] Kenapa LOA begitu populer?

Meski lahir dari konsep timur yang kata mereka arif, tapi hakikatnya LOA sudah jadi barang jualan, memberi impian muluk-muluk bahwa dengan berfikir semua masalah terselesaikan. Seakan-akan cukup dengar Brainwave maka masalah karir, cinta datang sendirinya. Tapi yang anehnya kok trainernya pun kadang biasa aja? Dia mematok tarif tinggi-tinggi dalam pelatihan, namun tiba-tiba mengajarkan kebajikan dalam trainingnya, mengajar tidak tamak, berfikir positif, bersedekah.

[5] Efektifkah menggunakan teori LOA?

Menggunakan teori LOA terus menerus menurut saya bisa menjadi jebakan. Jebakannya lazim dialami para motivator yaitu terlalu mempelajari LOA Anda mengurangi energi Anda untuk melakukan pekerjaan lain seperti meningkatkan skill, ilmu, dll. Hal ini karena kebanyakaan kasus, LOA hanya kuat di awal. Seiring waktu Anda akan paham bahwa LOA saja tidak cukup. Sangat banyak faktor yang mempengaruhi impian kita bisa diraih apa tidak. Akibatnya Anda sibuk mempelajari soal takdir.

Seiring waktu Anda akan paham, LOA tak cukup menjelaskan masalah takdir

Selanjutnya Anda (motivator) ini meraih mimpinya dengan mengajarkan LOA. Padahal setiap kita punya skill masing-masing untuk meraih cita-citanya. Misal jika seorang doktor Teknik Sipil, tentu ingin menjadi seorang professor atau perancang struktur hebat di dunia. Hal ini tidak kita raih jika menyibukkan diri mempelajari LOA, tapi mengasah kemampuan yang berhubungan dengan skill kita.

[6] Adakah jalan efektif lebih sukses dunia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun