Oleh : Dr. Sarmini
Menjadi seorang guru menurut penulis, setidaknya harus mampu  berperan terbaik menjadi : pengajar, pendidik, pembimbing, sahabat siswa dan orang tua pengganti, seperti yang diterapkan di Sekolah Islam Nabilah, Batam. Â
Dan untuk mencapainya harus dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendukung empat Pilar Pembelajaran (learning to know, learning to do, learning to be, learning to life together), tetapi juga memberi kesempatan siswa untuk bereksplorasi, bereksperimen serta melakukan  observasi dan akhirnya menemukan jawaban seiring dengan proses pembelajaran berjalan. Lalu bagaimana kegiatan yang dilaksanakan anak ketika libur ? Dapatkah ketika liburan tetap diisi dengan kegiatan bernuansa  edukasi ?
Libur Semester Ganjil TP 2022-2023 telah tiba. Dalam mengisi liburan sekolah, siswa-siswi Sekolah Islam Nabilah, Batam mengisi dengan beberapa kegiatan dan tetap tanpa meninggalkan nilai edukatif. Guru-guru di Sekolah telah terbiasa dan selalu memberikan pesan edukatif kepada siswa, agar dalam mengisi liburan tetap diisi dengan kegiatan yang positif. Dan siswa mengaplikasikan Merdeka Belajar dari Kurikulum Merdeka dari sisi pandang siswa.
Makna Merdeka Belajar
Makna Merdeka Belajar menurut Mendikbud Nadiem Makarim adalah sekolah, murid, dan guru memiliki kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri dan kreatif. Kementerian Pendidikan dan dinas pendidikan akan berupaya untuk memberikan ruang inovasi di masing-masing sekolah.
Konsep Merdeka Belajar menurut Ki Hadjar Dewantara dapat dilihat dalam pemikirannya mengenai pendidikan yang mendorong terhadap perkembangan siswa, yaitu pendidikan mengajarkan untuk mencapai perubahan dan dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat. Pendidikan juga merupakan sarana untuk meningkatkan rasa percaya diri, mengembangkan potensi yang ada dalam diri, karena selama ini pendidikan hanya mengembangkan aspek kecerdasan, tanpa diimbangi dengan sikap perilaku yang berkarakter dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Contoh Merdeka Belajar dalam Islam
Nabi Ibrahim adalah salah satu contoh Agent Of Change dalam Pendidikan. Kisah Nabi Ibrahim AS dalam bereksperimen mencari dan menemukan Tuhan yang Maha Esa merupakan contoh Merdeka Belajar Dalam Pendidikan Islam yang sangat sesuai. Bagaimana Proses berpikir yang didasari oleh rasa ingin tahu yang luar biasa dari hamba Allah yang cerdas dan mempunyai Education - Power yang istimewa.
Diawali ketika Nabi Ibrahim mengkritik perbuatan ayahnya ( Azar ) yang menyembah berhala : "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." [QS. Al-An'am/6:74].
Kemudian  Allah memperlihatkan Nabi Ibrahim AS tanda-tanda kebesaran dan keagungan- Nya di langit dan di bumi. Ibrahim kemudian melakukan dialog kosmologis-teologis. "Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata: Inilah Tuhanku." Tetapi, ketika  bintang itu tenggelam, dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Dialog tersebut menumbuhkan kesadaran teologis pada diri Nabi Ibrahim bahwa Tuhan tidak semestinya "muncul lalu menghilang".
Karena tidak menemukan jawaban, Â maka Nabi Ibrahim melanjutkan dengan mengamati dan mencermati bulan. Dari hasil observasi Nabi Ibrahim terhadap bulan membawanya kepada kesimpulan sementara bahwa fenomena bulan sama saja dengan bintang: muncul dan tenggelam. Bulan tidak layak dituhankan. Artinya, ada Tuhan sejati yang menciptakan dan mengatur peredaran bulan. Nabi Ibrahim mulai merasakan pentingnyaÂ
"pertolongan dan petunjuk" dari Tuhan sejati agar tidak menjadi orang-orang yang sesat.
Kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan observasinya dengan persepsi mendasar bahwa Tuhan tidak mungkin  fenomena alam yang muncul dan hilang begitu saja. Pada pagi harinya, "Ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Tetapi, tatkata matahari mulai terbenam, pencarian dan pembuktian bahwa Allah itu Maha Esa, tiada tuhan selain Dia (tauhid hakiki) mengandung makna liberasi (pembebasan, pemerdekaan). Karena itu, siapapun yang masih terikat dan tergantung pada tuhan selain Allah itu pasti tidak merdeka, atau musyrik.
Atas dasar obervasi fenomena alam, pembuktian ketuhanan ciptaan tuhan yang muncul dan tenggelam, dan penalaran logis, Ibrahim menegaskan bahwa "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." [QS al-An'am/6:79]. Inilah pandangan, sikap, dan keyakinan teologis yang rasional bahwa bertauhid itu sejatinya merdeka dari segala sesembahan, berhala, atau tuhan palsu yang membuat manusia tersandera dan terkungkung oleh sifat-sifat makhluk.
Jadi, dalam perspektif Islam, merdeka belajar itu harus berangkat dari keyakinan teologis (tauhid) yang memerdekakan diri pembelajar. Keyakinan teologis ini berimplikasi kepada sikap kritis bahwa sumber kebenaran ilmu, baik melalui proses pembelajaran maupun pengalaman empirik, berasal dari Allah SWT.
Berdasarkan kisah Ibrahim tersebut, merdeka belajar itu sejatinya merupakan fitrah, kecenderungan alami dan kecintaan terhadap kebijaksanaan (filsafat) yang ditanamkan oleh Allah pada diri manusia. Dengan demikian, merdeka belajar bukan sekadar bebas tanpa batas dalam belajar, mempelajari, dan mencari ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, merdeka belajar dalam Islam merupakan spirit untuk memenuhi rasa ingin tahu (kuriositas) dan rasa ingin mengenal Allah, di samping rasa ingin menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan dan keterampilan secara tidak "dibatasi" batasan ilmu dunia.
Spirit merdeka belajar itu sejatinya belajar menguasai kompetensi dan keterampilan secara lebih luas dan multidisiplin ilmu. Dalam al-Qur'an, konsep merdeka belajar ini dapat diejawantahkan dengan memahami filosofi "iqra'" (perintah membaca). Iqra' di sini lebih kepada membaca segala sesuatu ciptaan Allah dengan niat mendapatkan kemanfaatan agar lebih dekat dan memikirkan segala keagungan-Nya. Sehingga akan menumbuhkan sifat-sifat dan karakter positif.
Selaras dengan pelajaran dari Allah melalui Nabi Ibrahim, maka kita juga harus mengajarkan anak-anak menjadi cerdas dalam belajar. Bahkan ketika anak-anak kita mengisi liburannya dengan segala kegiatan yang bersifat eksperimen, eksplorasi dan observasi akhirnya menemukan sesuatu yang jawaban ( sebagai hasil ) bermakna maka secara proses itu merupakan pembelajaran terbaik.Â
Sekalipun pada saat liburan sekolah, anak-anak tetap dapat mengambil makna pembelajaran merdeka dari sisi pandang anak dengan berlibur ke pantai bersama keluarga, atau liburan ke luar negeri begitu pulang membawakan oleh-oleh untuk teman-temannya di kelas, sehingga temannya yang tidak pergi liburan merasakan "seakan-akan" juga ikut mengunjungi tempat di mana oleh-oleh tadi berasal. Ini merupakan bukti fisik dari keberhasilan Pembelajaran Character Building.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengambil kalimat bijak dari Nabi Muhhamad SAW, yaitu  Sabda Rosululloh menyatakan sebagai berikut,"Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."
Hal ini dapat diartikan bahwa guru senantiasa mendidik seluruh peserta didik sesuai dengan zamannya, di mana anak tersebut berpijak, bukan sesuai dengan zamanmu/guru tersebut, karena mereka hidup bukan pada zamanmu. Seperti hadits berikut: "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu" (H.R. Ali Bin Abi Thalib).
Mari terus menjadi fasilitator generasi cerdas intelektual, emosional dan spiritual dalam setiap niat kita. Semoga menjadi amal jariyah kita semua, aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H