Dalam hitungan bulan, Pemilu akan segera datang. Kinilah saatnya mulai berhati-hati dan waspada terhadap kemungkinan terjadinya persekusi, intimidasi, provokasi, agitasi, gontok-gontokan dan segala macam gejala munculnya ketidaknyamanan suasana di sekeliling kita.Â
Ketidaknyamanan seperti itu bagi sebagian orang bisa jadi hanya dianggap sebagai keramaian biasa, tetapi bagi sebagian lain bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengancam keamanan jiwa.Â
Dalam perumpamaan lain, keramaian menjelang Pemilu bisa dilihat sebagai sekedar sepercik kembang api yang menghiasi gelapnya langit malam. Tetapi di lain sisi bisa dilihat seperti nyalanya bara api dalam sekam yang berpotensi membakar ketentraman dan kenyamanan.Â
Lebih lagi, Pemilu 14 Februari 2024 nanti menjadi arena pesta demokrasi lima-tahunan untuk memilih secara serentak Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota DPD dan Anggota Legislatif dari Pusat hingga Daerah.Â
Hanya beberapa bulan setelah itu, 27 November, diselenggarakan Pilkada untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota serempak di seluruh daerah.Â
Terbayang ramainya. Ada belasan partai politik yang akan berlaga mengantar para calonnya untuk dipilih. Karena ini hanya terjadi lima tahun sekali, mereka tentu akan berpikir, terpilih sekarang atau tidak sama sekali. Kemudian akan habis-habisan pula berkampanye bahwa dirinyalah yang terbaik dan paling sesuai untuk dipilih.Â
Seperti apapun ramainya, rakyat berharap pada saatnya nanti, siapapun yang terpilih dia berhati tulus ingin mewujudkan cita-cita bangsa.Â
Cita-cita itu tercantum dalam Pembukaan UUD 45, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Hanya saja jalan mencapai cita-cita memang mahal dan terjal. Mahal, anggaran untuk memilih para pengendali Negara melalui Pemilu saja lebih dari Rp37 T.Â
Jumlah yang tidak sedikit. Terjal, karena memilih yang terbaik juga tidak mudah. Harus bergelut dulu dengan tajamnya perbedaan dan mengasah kejelian mata-hati untuk membedakan mana calon yang bermutu dan mana yang dungu.Â
Meskipun perbedaan adalah sebuah keniscayaan tetapi untuk menerimanya juga bukan hal mudah. Semakin tidak mudah karena di tahun politik ini perbedaan dari hari ke hari semakin mengemuka. Dari sekedar beda warna bendera, beda baju seragam, beda pendapat hingga beda pendapatan.Â
Perbedaan-perbedaan itu di beberapa tempat menjadi sebab merenggangnya hubungan antar kawan, tetangga, bahkan antar anggota keluarga. Lihat saja yang terjadi di media sosial (medsos).Â
Medsos platform WhatsApp Grup (WAG) bisa menjadi contoh maraknya kerenggangan karena perbedaan.Â
Tidak sedikit WAG yang semula guyub, rukun, aman, sentosa, tumbang gegara "member" beda pendapat lalu pada "mutung" dan keluar grup. Banyak pula WAG yang semula hangat lalu hilang tenggelam ditelan emosi "admin"-nya.Â
Emosi yang tidak terkendali sering membuat orang lupa akan nilai-nilai sosial, lupa moral luhur, lupa etika, lupa umur dan ujungnya lupa diri.Â
Orang yang sedang lupa diri akan cenderung menganggap dirinya paling benar dan orang lain paling salah. Ditambah dengan anggapan dirinya paling peduli akan masa depan dan nasib Negara ini.Â
Sementara yang lain lebih dianggap sebagai beban. Dukungan (apabila setuju) dan hujatan (apabila tidak suka) beterbangan tanpa tedeng aling-aling.Â
Sebenarnya apabila dilihat dari kacamata "plus", segala keramaian ini patut dilihat sebagai bentuk ekspresi kepedulian para calon dan pendukungnya terhadap masa depan bangsa dan Negara. Menjadi buruk ketika ekspresinya kebablasan, melebihi kepatutan.Â
Padahal kehendak masyarakat, sang pemilik hak suara, umumnya tidak muluk-muluk. Mereka hanya berkeinginan siapapun yang terpilih nanti mampu meningkatkan keberdayaan mereka membeli sembako dan membayar biaya sekolah.Â
Kalaupun ada keinginan lain, dia mampu memberantas korupsi dari bumi Indonesia sampai ke akar-akarnya.Â
Masyarakat di kampung-kampung sudah semakin matang. Belakangan ini pun di beberapa tempat tetap bersemangat ketika menjelang Pemilu Poskamling diaktifkan kembali. Pos tempat warga berkumpul di malam hari yang sempat vakum akibat pandemi kini hangat dengan obrolan dan kopi panas.Â
Poskamling tidak lagi hanya untuk berjaga-jaga terhadap maling ayam, tidak juga hanya berjaga-jaga terhadap koruptor, maling milyaran dan trilyunan uang rakyat.Â
Poskamling kini menjadi arena ngorol ngalor-ngidul menyambung silaturahim antar warga setelah sepanjang siang bekerja memeras keringat mencari nafkah.Â
Poskamling kini menjadi arena pertemuan warga dengan berbagai perbedaan latar belakang. Mungkin mereka berbeda pandangan dan pikiran, tetapi mereka bersatu dalam tugas, tugas  mulia, ngobrol di Poskamling.Â
Meski hanya beberapa jam bersama-sama pada malam hari di Poskamling, bisa meredam panasnya suasana menjelang pencoblosan. Hawa panas perbedaan bisa didekatkan dengan silaturahim di Poskamling. Apalagi ada kopi panas dan gorengan gurih.Â
Ganti saja nama Poskamling dengan Pos-Silaturahmi, Pos mempererat Silaturahmi. Soal keamanan? Serahkan saja kepada CCTV yang bisa dipasang di setiap sudut kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H