Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kita Butuh Pos Silaturahmi Bukan Poskamling

11 September 2023   20:53 Diperbarui: 17 September 2023   19:07 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun perbedaan adalah sebuah keniscayaan tetapi untuk menerimanya juga bukan hal mudah. Semakin tidak mudah karena di tahun politik ini perbedaan dari hari ke hari semakin mengemuka. Dari sekedar beda warna bendera, beda baju seragam, beda pendapat hingga beda pendapatan. 

Perbedaan-perbedaan itu di beberapa tempat menjadi sebab merenggangnya hubungan antar kawan, tetangga, bahkan antar anggota keluarga. Lihat saja yang terjadi di media sosial (medsos). 

Medsos platform WhatsApp Grup (WAG) bisa menjadi contoh maraknya kerenggangan karena perbedaan. 

Tidak sedikit WAG yang semula guyub, rukun, aman, sentosa, tumbang gegara "member" beda pendapat lalu pada "mutung" dan keluar grup. Banyak pula WAG yang semula hangat lalu hilang tenggelam ditelan emosi "admin"-nya. 

Emosi yang tidak terkendali sering membuat orang lupa akan nilai-nilai sosial, lupa moral luhur, lupa etika, lupa umur dan ujungnya lupa diri. 

Orang yang sedang lupa diri akan cenderung menganggap dirinya paling benar dan orang lain paling salah. Ditambah dengan anggapan dirinya paling peduli akan masa depan dan nasib Negara ini. 

Sementara yang lain lebih dianggap sebagai beban. Dukungan (apabila setuju) dan hujatan (apabila tidak suka) beterbangan tanpa tedeng aling-aling. 

Sebenarnya apabila dilihat dari kacamata "plus", segala keramaian ini patut dilihat sebagai bentuk ekspresi kepedulian para calon dan pendukungnya terhadap masa depan bangsa dan Negara. Menjadi buruk ketika ekspresinya kebablasan, melebihi kepatutan. 

Padahal kehendak masyarakat, sang pemilik hak suara, umumnya tidak muluk-muluk. Mereka hanya berkeinginan siapapun yang terpilih nanti mampu meningkatkan keberdayaan mereka membeli sembako dan membayar biaya sekolah. 

Kalaupun ada keinginan lain, dia mampu memberantas korupsi dari bumi Indonesia sampai ke akar-akarnya. 

Masyarakat di kampung-kampung sudah semakin matang. Belakangan ini pun di beberapa tempat tetap bersemangat ketika menjelang Pemilu Poskamling diaktifkan kembali. Pos tempat warga berkumpul di malam hari yang sempat vakum akibat pandemi kini hangat dengan obrolan dan kopi panas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun