Memasuki tahun ajaran  baru beberapa hari yang lalu, jangan mengira hanya ada pemandangan keceriaan para orang tua mendampingi anak-anaknya masuk sekolah. Ada juga tontonan kemuraman wajah orang tua yang sibuk dan pusing akibat anak-anaknya yang tidak naik kelas, tidak mampu melanjutkan sekolah atau anak-anaknya yang dikeluarkan dari sekolah.Â
Tidak naik kelas jelas membuat pusing kepala. Itu sama dengan mensia-siakan waktu belajar dan membuang-buang biaya sekolah. Bagi si anak, tidak naik kelas akan menimbulkan perasaan malu dan mungkin saja muncul perasaan sesal berkepanjangan.Â
Apalagi bagi anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah. Ini tentu jauh lebih memusingkan orang tua. Paling tidak, waktu belajar sepanjang satu atau beberapa tahun terbuang sia-sia, biaya besar melayang dan kesempatan emas raib entah kemana. Rasa malu dan sesal tidak hanya dirasakan oleh si anak, tetapi juga orang tuanya.Â
Tidak naik atau dikeluarkan dari sekolah bisa disebabkan oleh banyak hal. Dari ketidakmampuan si anak mengikuti pelajaran, tidak taat dan tidak disiplin mengikuti peraturan sekolah hingga berbagai jenis pelanggaran ringan maupun berat.Â
Pelanggaran seperti ikut tawuran yang berakibat kerusakan, luka-luka atau bahkan nyawa melayang, tidak bisa ditawar, berakibat dikeluarkan dari sekolah. Termasuk juga membully dan merampok.Â
Meski sejatinya mengeluarkan anak usia sekolah dari sekolah itu sama saja dengan menghadapkannya pada ancaman menjadi anak terlantar tanpa pendidikan. Sebuah tindakan yang kurang mendidik. Itu sungguh mengenaskan, di tengah gencarnya menggenjot bidang pendidikan, masih ada tindakan kurang mendidik.Â
Keduanya, tidak naik kelas atau dikeluarkan dari sekolah, adalah sebuah keadaan yang tidak ramah bagi anak. Bukan tidak mungkin, mereka tinggal kelas, dikeluarkan atau terkena sanksi lainnya juga karena "kita", Sekolah dan Orang Tua, berperilaku kurang ramah terhadap anak.Â
Kurang ramah bisa dimaknai sebagai kurang memahami apa yang mereka kehendaki, kurang mengerti apa yang mereka perlukan, kurang mendalami kepribadiannya. Bisa juga karena kurang peduli dan tidak memberi solusi terhadap masalah yang mereka hadapi. Kehadiran kita bagi mereka bukan sebuah kehadiran yang menyenangkan, untuk tidak menyebut menakutkan, bagi mereka.Â
Ramah bukan hanya penting dalam pergaulan kehidupan nyata sehari-hari tetapi juga penting dalam dinamika dunia pendidikan.Â
Tidak ada yang tidak setuju bahwa pendidikan itu penting. Penting bagi individu, bagi keluarga, bagi masyarakat dan penting bagi Negara. Begitu pentingnya sampai-sampai banyak orang mempertaruhkan apa saja demi pendidikan anak-anaknya.Â
Mempertaruhkan apa saja, artinya, bagi yang mampu, semahal apapun biayanya akan ditempuh demi pendidikan anaknya. Bagi yang tidak mampu, apapun akan ditempuh asal anaknya bisa sekolah, tidak peduli sekolahnya bagus atau jelek.Â
Bagi mereka ini, sejelek-jeleknya sebuah sekolah, masih lebih baik dari pada tidak sekolah. Semua diyakini demi masa depan yang lebih baik daripada orang tuanya.Â
Kita saksikan sekarang semakin banyak anak-anak bangsa yang berpendidikan dan nyaris tidak ada lagi anak-anak yang tidak "makan" sekolah. Harapannya, tidak hanya menambah jumlah anak yang berpendidikan, tetapi juga mampu membawa berkah bagi bangsa.Â
Saat ini siapa yang tidak gemes melihat dan merasakan keadaan yang setiap hari disuguhi berita korupsi yang cenderung makin ganas, berita kejahatan yang makin brutal, berita tipu-menipu dan bohong-membohong yang semakin canggih. Tidak jarang pelakunya orang-orang yang berpendidikan tinggi.Â
Dalam alam bawah sadar, para orang tua dan sebagian masyarakat berharap sekolah akan mampu menggembleng anak-anak yang semula malas menjadi cekatan, yang awalnya licik menjadi baik, yang tadinya curang dan korup menjadi lurus, yang tercela dan kotor menjadi bersih, yang dungu dan bodoh menjadi cerdas.Â
Selain juga mampu membangun anak-anak yang memiliki daya tahan kuat terhadap godaan hidup serba enak, serba mudah, serba cepat dan serba mewah. Sebuah godaan berat yang bisa membuat orang meninggalkan pola hidup sederhana, mengabaikan perilaku gotong-royong dan menafikan kebersamaan.Â
Gemblengan dengan pendekatan keramahan yang mengena di hati bisa membentuk generasi mendatang yang berkarakter tangguh. Karakter yang menyukai kejujuran, menggemari kerja keras, menghargai keringat orang lain, menghormati hak dan privacy orang  lain.Â
Sekolah bukan lagi sekedar tempat mentransfer ilmu, tetapi juga tempat Guru dengan perangkatnya menggembleng penghuninya. Gemblengan yang menghasilkan anak didik berkarakter unggul yang berbudi pekerti luhur, tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah putus harapan dan tidak pernah menyerah untuk mencapai tujuan.Â
Kota Layak Anak itu adalah kota dengan Sekolah-sekolah dan Rumah-rumah yang ramah anak. Itu bagaikan lahan subur yang ditanami benih seburuk apapun mutunya bisa tumbuh optimal dengan hasil maksimal. Ini adalah harapan yang nyata dan bisa diwujudkan, bukan utopia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H