Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ancaman Pak RT

9 Mei 2023   19:57 Diperbarui: 9 Mei 2023   20:02 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bogem mentah Erick hampir saja mendarat telak di dagu Parto, untung pada saat yang tepat, bogem yang sudah melayang itu bisa ditahan pak Ketua RT. Erick tidak kuat menahan bogemnya untuk melampiaskan kekesalan dan emosinya karena sepeda motornya tidak bisa lewat lagi dengan leluasa di ruas gang tepat di depan rumah Parto. 

"Sabar pak Erick, kita bicarakan baik-baik dulu..." ujar Ketua RT berusaha meredam emosinya. 

"Okey Pak RT, tapi ini orang bikin kesal warga saja, seenaknya bikin tanggul di gang jalan umum... jangan didiamkan saja dong Pak..." kata Erick setengah menuntut. 

Baca juga: Legacy Pak Ketua RT

Parto menyeringai sengit. "Emangnya aku gak kesel..., hargai orang lain juga dong ..., kapan saya bisa tidur? Siang-malam sepeda motor sliweran ngalor-ngidul, suara knalpotnya keras lagi...". 

Warga yang lain menyahut: "Yaah gimana tidak terganggu tidurnya Pak RT..., Dia mah dari pagi, siang, sore dan malam tiduuurrr teruuuus....". 

Seorang Ibu juga menyahuti: "Iyaaaa tuuh Pak RT... jangan dibiarin, ntar terluang lagi, terulang lagi..., dulu pernah malam-malam pak Parto hidupin musik keras-keras, anak bayi kami sangat terganggu dan tidak bisa tidur semalaman, kami protes tapi gak digubris..." 

Pak RT nyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu berujar: "Sabaaaar, sebentaaaar, mari kita bicara dengan kepala dingin...". 

"Silahkan bapak ibu duduk..., seadanya..." pak RT menyilahkan para tamu duduk di ruang tamu rumahnya. 

Sore itu beberapa warga, termasuk Parto, datang memenuhi undangan Pak RT untuk merespon keresahan. Warga resah karena Parto seenaknya membuat tanggul cukup tinggi di depan rumahnya. Lima buah tanggul berjarak dua meter satu dengan yang lain itu tentu mengganggu mobilitas warga.  Tidak semua kendaraan bisa melintasi tanggul-tanggul tersebut. 

Baca juga: "Is This Heaven?"

Bukan sekali ini saja Parto membuat warga resah. Ada saja ulahnya, persis seperti anak-anak yang mencari perhatian. Padahal umurnya sudah di akhir enampuluhan tahun. 

Awalnya Parto sebenarnya baik-baik saja, bergaul biasa dan ikut ronda malam. Ulahnya menjadi aneh setelah ditinggal istrinya yang meninggal mendadak. Kematian istrinya membuatnya sangat kehilangan dan sering menangis sendiri sesenggukan. 

Para tetangga menduga, Parto tidak siap ditinggal istrinya. Semasa hidup, istrinya jualan sayur, makanan matang, gorengan dan melayani pesanan berbagai macam makanan. Dapurnya tidak pernah berhenti ngebul. 

Kini Parto menghidupi dirinya sendiri dengan mengandalkan keahliannya sebagai tukang batu. Sayangnya tenaganya tidak selaris dulu. Umurnya semakin tua, geraknya semakin lamban dan hasil kerjanya tidak bagus lagi. Akibatnya penghasilannya menjadi tidak pasti. Tekanan hidupnya kian hari kian berat. 

Tekanan hidup seperti itu cukup berat untuk dipikul sendiri. Tetapi Parto tidak sendirian. Tekanan hidup yang sama beratnya juga dialami oleh banyak warga lainnya. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Mereka sibuk menyelamatkan keluarganya sendiri. Akibatnya kepedulian warga yang satu kepada warga lainnya tergerus. Sikap individualis di kampong ini pelahan-lahan mulai menampakkan wujudnya. 

Kampung ini memang cukup padat. Rumah-rumah nyaris berhimpitan, hanya dibatasi tritisan dan gang sempit. Tidak ada pekarangan yang cukup lega untuk anak-anak bermain. Tua, muda, remaja dan anak-anak seperti berebut ruang untuk bermain, healing dan bersosialisasi. 

Keadaan seperti ini rawan konflik karena mudah tersulut perselisihan dan pertengkaran. Perselisihan kadang dipicu hal kecil seperti soal anak-anak, sampah atau suara bising musik dan lalu-lalang kendaraan bermotor. 

Seperti pertengkaran keluarga Jimmi dan keluarga Sugeng yang dipicu oleh anak-anak berebut mainan beberapa waktu yang lalu. Dua anak mereka nangis meraung-raung. 

Jimmi: "Makanya dididik yang baik tuh anaknya. Jangan main rebut saja, mainan orang lain kok direbut...." 

Sugeng: "Heeh... enak aja, didik juga tuh anak sok, gak usah suka pamer. Mentang-mentang punya duit, pamer..." 

Jimmi: "Haalllaaaah, duit-duit sendiri kok ribut siih...." 

Selang beberapa menit si anak-anak sudah main bareng lagi, tetapi orang tuanya masih diem-dieman sampai berhari-hari. 

Pak RT menjadi super sibuk mengurus warganya dengan berbagai sifat dan karakternya padahal dia juga punya pekerjaan lain. Ketua RT ini sering merasa pusing dalam menjalankan tugasnya. 

Dia sudah beberapa kali menyatakan tidak mau dipilih lagi, tetapi warganya seperti tidak punya pilihan lain. Maka setiap kali ada pemilihan Ketua RT, dia lagi-dia lagi yang terpilih menjadi Ketua RT. 

Ada untungnya bagi Pak RT yang terpilih bukan atas keinginannya, dia sering mengancam: "Saya mau jadi Ketua RT, tetapi Bapak, Ibu dan Saudara semua harus nurut...". 

Wargapun tidak keberatan: " Siaaaap Pak RT......" 

Warga di situ memang ibarat petasan bersumbu pendek, mudah tersulut. Hidup sehari-harinya penuh dengan tekanan. Tekanan dari penghasilan yang pas-pasan, anak banyak, beli susu, biaya sekolah, pulsa listrik, pulsa internet dan tentu saja makan-minum dan jajan. 

Aneka rupa jajanan keliling kadang tidak sekedar lewat, tetapi sambil ngeledek dan membuat anak-anak merengek-rengek. Tukang jajan lantas seperti sengaja berhenti agak lama ketika tahu ada anak-anak merajuk minta beli ke emaknya. 

Promosinya  juga terus dikumandangkan: "Tahu bulat goreng dadakan, hanya lima ratus rupiah....". 

Belum lagi: "Bakpao-bakpao...hanya duaribu rupiah....". 

Pedagang lain tidak kalah ramainya: " Thoet-thoet-thoet..., ting-ting-ting, tolalit-tolalit...". 

Pak RT sering mengingatkan warganya untuk bisa mengendalikan diri, mengelola hati dan jaga emosi jangan sampai naik tinggi. Seperti saat menghadapi ulah Parto yang terakhir ini, membuat tanggul-tanggul tinggi di ruas gang depan rumahnya. 

Ulah jahil ini tentu saja membuat gaduh warga. Berbagai keluhan nyampai ke Pak RT. Keluhan dari pedagang kecil, ibu-ibu, remaja dan anak sekolah. 

Seorang pedagang makanan berkuah mengadu: "Lhahh, saya dari dulu jam tiga pagi sudah lewat sini menuju ke pasar ...., sekarang mati dong saya...". 

Kata pedagang mainan anak-anak: "Saya pagi berangkat jualan dan malam-malam pulang lewat sana juga..., terus sekarang harus lewat mana?". 

Disamber oleh Parto: "Lhha ini niih, (sambil telunjuk jarinya menunjuk ke orangnya) jualan maianan anak-anak mah jualan saja, gak usah pakai bunyi-bunyian thoeet-thoeet..., bikin orang uring-uringan saja ...". 

Dijawab: "Lhhaah kalau gak thoet-thoet, dagangan saya tidak laku dong...". 

"Bagaimana Pak RT,... tanggulnya bongkaaar saja...!!!" kata yang lain ke pak RT. 

Pak RT dengan suara baritonnya berkata: "Begini lho pak Parto,... bagaimanapun gang itu sudah menjadi tempat banyak orang berlalu-lintas ke sana-kemari untuk segala macam keperluan...." Kata pak Ketua RT mencoba ngomong secara halus, dilanjutkan dengan "sambutan" panjang lebar tentang bermasyarakat. 

Sambutan Ketua RT yang mirip dengan "pidato politik" itu antara lain berisi, bahwa tanggul-tanggul di gang itu telah mengganggu perputaran ekonomi warga. 

Banyak pemenuhan hajat hidup warga terhambat. Gerobak makanan berkuah tidak bisa lewat, gerobak bakso, siomay dan cilok tidak bisa lewat. Pedagang tahu bulat goreng dadakan juga terhalang. 

Tanggul itu pun mengganggu proses pendidikan. Antar jemput anak sekolah menjadi lambat, anak-anak sekolah bersepeda juga menjadi kerepotan. 

Ketentraman dan ketenangan warga juga terusik karena orang jadi gaduh sibuk membahas tanggul dan ulah Parto. Bahkan ada yang siang malam menganalisanya dengan gaya politikus di TV. Orang-orang sampai lupa mikir urusan rumah. 

Padahal, warga kampung ini harus terus berkarya dan memelihara kerukunan dan keguyuban. Pak RT mengakhiri pidatonya dengan pesan agar warganya  tidak mudah terpancing pertengkaran dan perselisihan. Rugi sendiri. 

Pak RT memungkasi pertemuan sore itu dengan meminta pada Parto untuk membongkar tanggulnya, meminta yang lain untuk menjaga sopan santun dan tenggang rasa. Knalpot-knalpot bronk yang berisik juga diminta di ganti dengan yang standar. 

"Setuju kan Bapak-Ibu semua di sini...?" tanya Pak RT. 

"Setujuuu, tapi biayanya ganti knalpot mana Pak RT?" tanya warga. 

"Biaya sendiri dong..., emang aku emak-mu..." kata Ketua RT. 

Dilanjut dengan: "Bapak ibu sekalian, saya minta keputusan kita tadi dalam tiga hari sudah harus beres ..., kalau gak selesai tiga hari, aku mundur dari Ketua RT...". 

"Wouuaaah, Pak RT ngancam mundur niih..., kayak pejabat Jepang saja...". 

Dan.... 

Tidak sampai tiga hari semua telah beres. Tanggul-tanggul hilang, orang kembali sopan dan warga kembali bisa hidup nyaman. Ancaman Pak RT ternyata ampuh...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun