Dia sudah beberapa kali menyatakan tidak mau dipilih lagi, tetapi warganya seperti tidak punya pilihan lain. Maka setiap kali ada pemilihan Ketua RT, dia lagi-dia lagi yang terpilih menjadi Ketua RT.Â
Ada untungnya bagi Pak RT yang terpilih bukan atas keinginannya, dia sering mengancam: "Saya mau jadi Ketua RT, tetapi Bapak, Ibu dan Saudara semua harus nurut...".Â
Wargapun tidak keberatan: " Siaaaap Pak RT......"Â
Warga di situ memang ibarat petasan bersumbu pendek, mudah tersulut. Hidup sehari-harinya penuh dengan tekanan. Tekanan dari penghasilan yang pas-pasan, anak banyak, beli susu, biaya sekolah, pulsa listrik, pulsa internet dan tentu saja makan-minum dan jajan.Â
Aneka rupa jajanan keliling kadang tidak sekedar lewat, tetapi sambil ngeledek dan membuat anak-anak merengek-rengek. Tukang jajan lantas seperti sengaja berhenti agak lama ketika tahu ada anak-anak merajuk minta beli ke emaknya.Â
Promosinya  juga terus dikumandangkan: "Tahu bulat goreng dadakan, hanya lima ratus rupiah....".Â
Belum lagi: "Bakpao-bakpao...hanya duaribu rupiah....".Â
Pedagang lain tidak kalah ramainya: " Thoet-thoet-thoet..., ting-ting-ting, tolalit-tolalit...".Â
Pak RT sering mengingatkan warganya untuk bisa mengendalikan diri, mengelola hati dan jaga emosi jangan sampai naik tinggi. Seperti saat menghadapi ulah Parto yang terakhir ini, membuat tanggul-tanggul tinggi di ruas gang depan rumahnya.Â
Ulah jahil ini tentu saja membuat gaduh warga. Berbagai keluhan nyampai ke Pak RT. Keluhan dari pedagang kecil, ibu-ibu, remaja dan anak sekolah.Â
Seorang pedagang makanan berkuah mengadu: "Lhahh, saya dari dulu jam tiga pagi sudah lewat sini menuju ke pasar ...., sekarang mati dong saya...".Â