Kata pedagang mainan anak-anak: "Saya pagi berangkat jualan dan malam-malam pulang lewat sana juga..., terus sekarang harus lewat mana?".Â
Disamber oleh Parto: "Lhha ini niih, (sambil telunjuk jarinya menunjuk ke orangnya) jualan maianan anak-anak mah jualan saja, gak usah pakai bunyi-bunyian thoeet-thoeet..., bikin orang uring-uringan saja ...".Â
Dijawab: "Lhhaah kalau gak thoet-thoet, dagangan saya tidak laku dong...".Â
"Bagaimana Pak RT,... tanggulnya bongkaaar saja...!!!" kata yang lain ke pak RT.Â
Pak RT dengan suara baritonnya berkata: "Begini lho pak Parto,... bagaimanapun gang itu sudah menjadi tempat banyak orang berlalu-lintas ke sana-kemari untuk segala macam keperluan...." Kata pak Ketua RT mencoba ngomong secara halus, dilanjutkan dengan "sambutan" panjang lebar tentang bermasyarakat.Â
Sambutan Ketua RT yang mirip dengan "pidato politik" itu antara lain berisi, bahwa tanggul-tanggul di gang itu telah mengganggu perputaran ekonomi warga.Â
Banyak pemenuhan hajat hidup warga terhambat. Gerobak makanan berkuah tidak bisa lewat, gerobak bakso, siomay dan cilok tidak bisa lewat. Pedagang tahu bulat goreng dadakan juga terhalang.Â
Tanggul itu pun mengganggu proses pendidikan. Antar jemput anak sekolah menjadi lambat, anak-anak sekolah bersepeda juga menjadi kerepotan.Â
Ketentraman dan ketenangan warga juga terusik karena orang jadi gaduh sibuk membahas tanggul dan ulah Parto. Bahkan ada yang siang malam menganalisanya dengan gaya politikus di TV. Orang-orang sampai lupa mikir urusan rumah.Â
Padahal, warga kampung ini harus terus berkarya dan memelihara kerukunan dan keguyuban. Pak RT mengakhiri pidatonya dengan pesan agar warganya  tidak mudah terpancing pertengkaran dan perselisihan. Rugi sendiri.Â
Pak RT memungkasi pertemuan sore itu dengan meminta pada Parto untuk membongkar tanggulnya, meminta yang lain untuk menjaga sopan santun dan tenggang rasa. Knalpot-knalpot bronk yang berisik juga diminta di ganti dengan yang standar.Â