Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terpesona Tali Sepatu Kamila

20 April 2023   21:43 Diperbarui: 20 April 2023   21:50 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kali ini aku tidak akan menangis. Tidak akan setetes pun air mata kubiarkan keluar meninggalkan mataku. Sudah terlalu berumur untuk menangisi urusan picisan seperti ini...", begitu tekad hati Kamila setelah membaca pesan dari Fadhil. 

Kamila agak emosi, terbawa perasaan: "Terlalu...!! Namamu Fadhil tetapi kamu berperilaku kurang adil...". 

Kamila yang biasa ngudarasa perasaannya dengan melakukan monolog dalam dirinya, meneruskan: "Kan aku sudah bilang urusanku belum selesai dan aku masih harus di Fakultas entah berapa lama lagi, maka aku kirim pesan, minta ditunda dulu ketemuannya...". 

"Aku memang terlambat memberitahu, tapi kan aku sudah minta maaf..." lanjutnya. 

Lalu diteruskan: "EEhh, malah nuduh aku ga punya komitmen pegang janji, ya sudah terserah saja...". 

Waktu itu Mahasiswi manis ini memang sedang ditunggu Fadhil, seorang Dosen muda yang pernah mengajarnya dua semester yang lalu. Kamila ditunggu di bangku taman di halaman Masjid Kampus. 

Beberapa hari sebelumnya Kamila sudah meng-iyakan ajakan Fadhil untuk ketemu. Hari itu si Dosen hanya punya waktu 40 menit, setelah itu dia sudah masuk kelas, mengajar lagi. Kamila tidak tahu persis pertemuan hari itu untuk ngomongin apa. 

Kamila menduga Fadhil sepertinya sedang mencoba mendekatinya. Cuma dia masih malu-malu. Dari pandangan mata saat pertemuan sebelumnya, kata-katanya dan isi pesan-pesannya, sangat kentara dia sedang jatuh hati. 

Seperti isi pesannya pada suatu pagi: "Assalamualaikum Kamila..., apa kabar? Sehat-sehat yaa...". 

Baca juga: "Is This Heaven?"

Kali lain: "Selamat pagi..., lagi apa?". 

Atau juga pertanyaan "Good morning, sudah sarapan? Hari ini kuliah sampai jam berapa? Makan siang di mana?". 

Dan lain-lain pertanyaan remeh-temeh. 

Kamila berusaha selalu menjawab dengan bahasa ramah dan meladeni dengan baik sebagai ungkapan rasa hormatnya. Bagaimanapun Fadhil pernah menjadi "gurunya" dan masih menjadi Dosennya.   

Janjian bertemu di bangku taman hari itu juga bukan yang pertama. Dan, seperti sebelumnya, untuk pertemuan ini juga Kamila menyiapkan diri sebaik-baiknya. Dia menyiapkan baju, tas, hijab dan rok yang belum pernah dia pakai untuk ketemu Fadhil. 

Hanya satu yang pernah dia pakai sebelumnya, yaitu sepatunya. Sepatu itu memang selalu dia pakai di kampus. 

Fadhil pernah ngomong dia suka dengan sepatu dan talinya. Katanya khas dan dia belum pernah lihat orang lain lain memakainya. Omongan Fadhil ini membuat Kamila seolah tidak pernah melepas sepatunya itu. 

Meski modelnya sudah jadul, sepatu bertali itu memang enak sekali dipakai. Apalagi untuk jalan kesana-kemari dan naik-turun tangga dari satu ruang kelas ke ruang kelas yang lain. Telapak kaki tidak terasa capek. 

Sebenarnya Kamila juga merasa senang ketemu Fadhil. Orangnya humble, enak menjadi teman ngobrol, wawasannya luas, bisa menjadi tempat bertanya tentang apa saja, dari soal mendoan hingga oli mobil. 

Apalagi kalau ngobrol tentang film, buku, dan tokoh nasional dari Jokowi hingga Rocky Gerung. Ternyata asyik sekali obrolannya. Dia berharap pertemuan kali ini bisa lebih asyik dari pertemuan sebelumnya. Kamila antusias untuk ketemu Fadhil hari ini. 

Namun sebagai wanita, Kamila sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan rasa sukanya. Apalagi kenalnya relative belum terlalu lama. Dia masih memegang nilai-nilai agung seorang wanita. 

Tapi manusia memang hanya bisa membuat rencana. Kamila sama sekali tidak menduga, tetiba ada urusan yang tidak bisa ditunda. Persisnya, kalau tidak segera dia selesaikan, akan mengganggu urusan akademiknya. 

"Saudara Kamila, tinggal satu syarat lagi yang harus dicukupi, baiknya hari ini sudah lengkap, sehingga segera bisa diurus", itu kata Staf Tata Usaha Fakultasnya. 

Celakanya, untuk urusan mendadak ini Kamila tidak segera mengabari Fadhil. Dia pikir urusan akan selesai dalam beberapa menit dan, meski terlambat, masih bisa ketemu Fadhil. 

Apa boleh dikata, urusan ternyata tidak bisa selesai dalam hitungan menit. Akibatnya Fadhil menghabiskan 40 menit menunggu Kamila tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa pindah duduk dari satu bangku taman ke bangku yang lain. Baru di menit-menit terakhir Kamila mengabari, meminta maaf tidak bisa menepati janji dan usul ketemu di hari lain. 

Kamila tahu persis ketidaknyamanan yang dirasakan Fadhil. Tapi mau bagaimana lagi....? 

Kamila ingin urusan dengan Fakultas bisa segera selesai maka diterimanya tawaran boncengan teman kuliahnya, cowok, mengantar pulang-pergi dari tempat kost kembali ke kampus untuk mengambil satu syarat adminitrasi kuliahnya. 

Kamila sedang berjuang untuk memperoleh beasiswa. Kesempatan emas hanya datang sekali, kali ini dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. 

Seperti pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga", Fadhil ternyata sangat tidak suka dengan Kamila membonceng teman kuliahnya pulang pergi kost-kampus. 

Dalam perjalanan membonceng pulang-pergi itu Kamila tidak melihat Fadhil di bangku taman lagi.   

"Yaaah, pasti Fadhil sudah kembali mengajar di kelas lagi..." Kamila membatin. 

Kamila benar-benar sial, masalah datang susul-menyusul. Kali ini sialnya seperti bersambung dengan tali sepatu yang dia selalu pakai. 

Dia memang tidak melihat Fadhil di bangku taman, tetapi Fadhil melihat tali sepatu yang dipakai Kamila saat membonceng seorang lelaki. Fadhil yakin, dari tali sepatunya itu pasti Kamila. Tidak lain tidak bukan. 

Bonceng membonceng yang untuk orang lain adalah hal biasa, tetapi kalau itu terjadi pada Kamila, bagi Fadhil, menjadi masalah serius. Di pandangan Fadhil mereka berdua berboncengan dalam keakraban dan dengan laju kendaraan yang cepat. 

Fadhil memaknai kendaraan melaju cepat karena menghindari dirinya. Sedangkan keakraban bermakna keduanya tidak berteman secara biasa. Fadhil memandang Kamila dengan mudah telah melepas komitmennya untuk ketemu dirinya demi yang lain. 

Tentu saja darah lelaki Fadhil mendidih, dia merasa dikhianati. Kamila yang  di mata Fadhil awalnya dipandang seperti bunga anggrek bulan yang anggun, indah menawan kini berubah menjadi seperti bunga mawar. Tetap indah tetapi penuh duri. 

Fadhil mendadak berubah menjadi hakim yang menvonis "bersalah" pada Kamila tanpa banyak pertimbangan. 

Fadhil biasa melihat dunia dalam dua warna, hitam dan putih. Dia tidak mengenal warna abu-abu. Baginya dunia ini hanya ada kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. Dia hanya tahu "ya" atau "tidak". 

Sesuai karakternya, Fadhil sampaikan uneg-unegnya apa adanya ke Kamila, tanpa filter, tanpa basa-basi tanpa ba-bu-bi. 

Fadhil lupa semua kata-kata bijak yang pernah dibacanya, semua tertutup emosi. 

Dia lupa adagium "jangan berburuk sangka". 

Dia lupa kata bijak: "don't judge the book by it's cover". 

Dia juga lupa Kamila juga punya rasa punya hati. 

Lupa bahwa Kamila belum jadi miliknya. Kamila adalah makhluk bebas. 

Fadhil mengeluarkan semua amunisinya untuk memberondong Kamila semau piirannya sendiri. 

Dia lupa bahwa setiap omongannya bisa membunuh harapannya sendiri. 

Dia tidak mampu menahan emosi dan mengendapkannya barang satu atau dua jam umtuk menjernihkan pikiran. 

Kamila membaca isi pesan Fadhil lebih dari sekali. Dia berfikir, inikah Fadhil yang dia kenal? 

Kamila lantas menulis pesan balasan untuk Fadhil. Isinya kurang lebih: 

Kak Fadhil, kakak pasti orang pintar, buktinya bisa menjadi Dosen dan sepertinya cocok sekali sebagai Dosen. Tetapi menurutku kakak tidak akan berhasil menjadi Politikus, karena kurang bisa bernegosiasi, tidak pandai berbasa-basi, kurang ahli bersilat lidah, tidak mampu menyimpan rasa dan tidak suka tipu-tipu sedikit. 

Kak Fadhil, teruslah meniti karir sebagai Dosen, tidak usah menjadi eksekutif perusahaan karena kakak kurang pandai mengambil hati. Juga tidak usah menjadi Bupati atau Gubernur karena kakak kurang berani ambil risiko tetapi juga kurang bisa mengendalikan emosi. 

Kak Fadhil, kadang wanita suka pria yang heroik seperti Rocky Balboa, tapi suka juga tipu-tipu sedikit, misalnya disebut cantik meskipun cuma sedikit, disebut anggun meskipun cuma karena gaun, disebut wajahnya seperti rembulan meskipun hasil make-up. 

Kak Fadhil, semoga ketemu wanita yang cocok sesuai keinginan dan impian kakak.... 

Aku, ah..sudahlah.... 

Sederet pesan itu tidak jadi dikirim, Kamila berpikir, ada baiknya Fadhil tetap menjadi seperti itu, siapa tahu negeri ini nanti memerlukan sosok-sosok seperti Fadhil. 

Aku, Kamila, biarlah menjadi aku sendiri. Mahasiswi yang sedang berburu beasiswa. Aku akan beli sepatu tanpa tali. 

Aku tidak ingin ada lelaki lain terpesona dan lalu terbakar tali sepatuku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun