Baru beberapa hari yang lalu ada peringatan Hari Pahlawan, 10 November. Salah satu hari yang sejak lama telah ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional. Namun sepertinya banyak orang yang melewatkan dan melupakan begitu saja hari besar itu. Begitu juga nasib hari-hari besar lainnya, kerap kali berlalu begitu saja.Â
Hari-hari besar itu tenggelam oleh hari lain yang dirayakan dengan lebih menghebohkan. Halloween, misalnya, hari peringatan hantu-hantuan yang berasal dari Amerika Serikat dirayakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sering kali lebih meriah dari perayaan di negeri asalnya. Di Korea Selatan bahkan perayaannya membawa korban jiwa yang tidak sedikit. Belum lagi perayaan lainnya seperti hari valentine, hari ulang tahun, dan lain-lainnya.Â
Padahal pada hari Pahlawan tahun ini, Presiden menetapkan lagi lima orang sebagai Pahlawan Nasional. Bertambah panjanglah sekarang nama-nama Pahlawan Nasional yang kita miliki.Â
Untuk ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional tidaklah semudah menjadi penyanyi. Persyaratannya banyak dan berat. Syarat berat pertama adalah dia harus sudah meninggal. Berat bukan?Â
Syarat-syarat berikutnya tidak kalah beratnya. Salah satunya, seorang Pahlawan semasa hidupnya haruslah insan yang memiliki akhlak dan moral yang tidak dipertanyakan lagi kemuliaannya. Begitu mulia akhlak dan moralnya, rasanya tidak ada satupun Pahlawan Nasional yang pengabdian dan perjuangannya diawali dengan pamrih supaya suatu hari nanti diakui sebagai Pahlawan.Â
Para Pahlawan adalah orang yang dengan rela dan ikhlas mengabdikan jiwa dan raganya untuk membangun dan  meningkatkan harkat martabat bangsa. Itu dilakukan sepanjang hidupnya dengan dijiwai semangat nasionalisme yang tinggi. Pahlawan Nasional itu warga unggul yang patut diteladani.Â
Pahlawan tidak selalu terhubung dengan peperangan dan menumpahkan darah melawan musuh demi mempertahankan tanah air. Banyak hal-hal yang menyebabkan orang bisa ditetapkan menjadi Pahlawan. Pekerjaan yang dilihat sebelah mata pun bisa membuat orang menjadi "Pahlawan".Â
TKI dan TKW misalnya, sudah sejak lama mendapat sebutan sebagai pahlawan devisa. Apalagi Guru, yang memiliki andil dan berjasa besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, juga mendapat sematan Pahlawan meskipun tanpa tanda.
 Guru itu profesi yang mulia, makanya konon, yang dilakukan pertama kali oleh Kaisar Jepang saat kalah dalam Perang Dunia II adalah mencari tenaga Guru yang masih ada untuk membangkitkan kembali "manusia baru" Jepang.Â
Di sekitar kita era sekarang, era serba "aku", serba buru-buru dan era hoax ini, kehadiran orang yang bermental dan berjiwa pahlawan sangat diperlukan. Siapa mereka?Â
Mereka adalah anak sekolah yang anti nyontek karena lebih menghargai kerja keras dan anti jalan pintas. Perilaku nyontek itu menempuh jalan pintas adalah  sikap tidak jujur dan jauh dari sifat kepahlawanan.Â
Mereka itu orang muda perkasa yang mendahulukan kepentingan umum dan yang lebih membutuhkan. Mereka ini dengan gagah berani yang membuka jalan untuk ambulan menerobos kemacetan lalu lintas. Mereka juga adalah insan yang penuh empati rela membantu korban bencana tanpa melhat latar belakang suku, agama, golongan dan status sosialnya.Â
Mereka juga adalah orang yang ditengah maraknya ketidakpedulian tetapi masih bersedia berhenti saat lampu menyala merah, membuang sampah pada tempatnya, tidak mengotori sungai dan lingkungan dengan kotoran apapun jenisnya, apalagi jenis yang susah terurai. Mereka rela antri dengan tertib teratur.Â
Dari mereka muncul secercah harapan cerah bagi masa depan bersama ditengah-tengah banyak orang yang tanpa rasa malu mempertontonkan sikap egois, mengutamakan keluarga, mementingkan kawan sendiri dan menomorsatukan golongannya.Â
Merekalah pencerah di tengah-tengah orang-orang yang tidak amanah mengemban kepercayaan. Merekalah penebar benih-benih kebaikan tanpa pamrih.Â
Mereka orang yang langka ini adalah orang yang tidak bosan dan tidak pernah berhenti berbuat baik dan menebar kebaikan dalam keramaian maupun dalam kesenyapan jauh dari berita, jauh dari niat berburu konten demi setumpuk rupiah dari media sosial. Mereka Pahlawan tanpa Hari Besar.Â
Mereka sepantasnya diberi kesempatan untuk terus tumbuh. Kalaupun tidak mampu memberi kesempatan, setidaknya tidak dihalangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H