Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Temanku, Profesor Wahyu Dwianto

31 Oktober 2022   10:49 Diperbarui: 31 Oktober 2022   10:53 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu penulis menerima kejutan. Tidak seperti kejutan-kejutan yang lain, kejutan kali ini sungguh mengejutkan. Bagaimana tidak mengejutkan, setelah sekian lama hanya menjadi angan-angan yang nyaris menjadi angin, beberapa hari yang lalu angan-angan itu menjadi kenyataan. 

Kejutannya adalah, teman lama yang juga teman kuliah, teman nongkrong dan teman mencari kerja bareng-bareng puluhan tahun yang lalu, datang berkunjung. Kedatangannya berkunjung dari Ibukota ke kota kecil, Purwokerto, pastilah sebuah kunjungan yang dipentingkan. Ditambah dengan serunya proses memperoleh tiket kereta-api yang lumayan seru. 

Dia adalah teman saya, Profesor Wahyu Dwianto. Profesor dengan keahlian di bidang biomaterial dan teknologi modifikasi kayu. Dia ke daerah dalam penerapan teknologi untuk meningkatkan produktifitas bangsa. Di balik penampilan yang biasa saja dia ini adalah orang luar biasa. Luar biasa karena pasti tidak mudah untuk mendapat gelar terhormat itu. 

Jelas, dia harus sekolah setinggi-tingginya dengan nilai sebaik-baiknya. Dia juga harus meneliti, menemukan sesuatu hal baru dan menulis banyak karya ilmiah. Dia juga harus rela tanpa henti menimba dan sekaligus berbagi ilmu kepada yang lain seluas-luasnya. 

Di atas semuanya, sekali lagi, dia adalah teman saya. Teman lama yang bertemu kembali setelah puluhan tahun yang lalu pernah kringkelan, kuliah dan kemudian juga mencari kerja bareng-bareng. Terkenang saat dulu bersama-sama berjalan dari pintu ke pintu kantor menembus panas terik matahari Jakarta tanpa satu patah katapun suara keluhan. Semua dibawa ceria, termasuk ketika bersama-sama menerima penolakan. 

Kami memang akhirnya harus berpisah karena diterima bekerja di tempat yang tidak sama dan berlainan bidang yang digeluti. Takdir membuat kami menempuh jalan hidup berbeda. Setelah itu kami tumbuh dalam penggodogan kawah dan tempaan kehidupan masing-masing. 

Kawah, tempaan dan ombang-ambing alam kehidupan, membentuk kami menjadi manusia dengan dunianya masing-masing. Apalagi kemudian berkeluarga, beranak, bermantu dan bercucu. Menjadi berbeda adalah hal wajar yang harus dimengerti, dipahami dan dihormati. 

Namun sungguh beruntung, dari sekian banyak perubahan, tetapi ada yang tidak berubah, sehingga pertemanan bisa terjaga tetap hangat. Dia masih tetap rendah hati, humble dan jauh dari sikap tinggi hati meskipun kesibukannya, pekerjaannya, dan karirnya sudah mengantarkannya ke puncak kepangkatan dan kepakaran tertinggi. Menjadi seorang Profesor. 

Tergambarkan betapa hanya orang-orang super saja yang mampu mencapainya. Begitu supernya seorang Profesor sehingga orang sering memaklumi saja apapun yang mereka lakukan. Mereka ada dalam posisi yang istimewa karena ke-superannya.

Contoh sederhana terjadi pada pertemuan ini. Kami berdua tidak menemukan cara lain yang lebih tepat untuk merayakan pertemuan ini selain ngobrol sambil sarapan dan minum kopi panas di hotel tempatnya menginap. Kami juga tidak begitu peduli dengan menunya. Apapun menunya, ngobrol mengenang masa lalu jauh lebih lezat dibandingkan senampan pizaa atau sepiring mie ayam. 

Ketika pagi itu dia membayari makan dan minum, maka itu bisa dimaklumi. Layak saja kalau seorang professor membayari kawan makannya. Sebaliknya, kalaupun dia yang ditraktir, itupun pantas, mungkin saja dia lupa membawa uang atau lupa menaruh kartu saktinya. Itu semua juga karena kesuperannya. 

Begitu istimewanya seorang Profesor, bahkan memakai kacamata terbalik di tengah-tengah acara resepsi pernikahan pun dianggap pantas saja. Kejanggalan itu diterima lingkungan sebagai kelumrahan bagi orang sekaliber Profesor. 

Atau cerita tentang seorang profesor yang selalu memanggil istrinya dengan sebutan: sayangku, cantikku, manisku atau cintaku. Dia tidak pernah memanggil nama istrinya karena dia ternyata sudah lupa siapa nama istrinya. Dan masih banyak cerita lain yang diterima sebagai gambaran keistimewaan, bukan kekonyolan. 

Itulah istimewaan Professor. Tidak ada pertanyaan dan keraguan untuk keanehan dan kelucuannya karena memang mutu intelektualitasnya sudah teruji. Teruji di tempat kerjanya dan dilingkungannya, baik lokal, nasional, maupun internasional.  Orang akan menerimanya dengan ikhlas dan maklum-maklum saja. 

Pantas disyukuri, tidak ada yang aneh-aneh pada teman saya, Profesor Wahyu Dwianto. Dia tetap sosok yang bahkan sekarangpun masih pantas mengendarai sepeda motor trail seperti waktu dulu berangkat dan pulang kuliah. Dia juga tetap pria gahar yang dari dari bibirnya sering mengepul asap rokok. 

Dan, lebih dari itu, dia tetap rendah hati, sebagaimana ucapannya saat menutup obrolan di pagi hari itu. Dia sampaikan bahwa mimpinya menggeluti pendidikan tingkat tertinggi dan kepangkatan dengan gelar tertinggi sudah diraih. Dia kini sedang berusaha keras untuk memaksimalkan ikhtiarnya untuk menjadi hamba Allah SWT. yang baik. Selain juga keinginan kuatnya untuk berhenti merokok yang hingga artiel ini ditulis, belum terwujud. 

Akhirnya, tidak ada kejutan yang tidak berakhir.  Demikianpun pertemuan kami, beberapa menit setelah ngobrol sudah merubah rasa terkejut menjadi syukur. Bersyukur, Tuhan telah mengijinkan kami bertemu di waktu dan tempat yang baik. Maju terus Profesor dengan kiprahmu untuk meningkatkan produktifitas bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun