Donald Trump Presiden AS, misalnya, adalah seorang pengusaha, Â Ronald Reagan, berlatar belakang bintang film menjadi Presiden AS dua periode, dari 20 Januari 1981 -- 20 Januari 1989. Demikianpun Presiden Ukraina sejak 2019 sampai sekarang, Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy adalah seorang politikus, penulis skenario, aktor dan sekaligus sutradara film.Â
Ada juga orang biasa-biasa saja. Presiden Filipina tahun 1986 -- 1992 Corazon Aquino adalah seorang ibu rumah tangga biasa.Â
Pemilihnya pun, yang jumlahnya bisa ratusan juta orang, lebih beranekaragam lagi latar belakangnya. Jadi, mengamati keanekaragaman kedua belah pihak, yang memilih dan yang dipilih, sepertinya bukan tentang sehebat apa si calon, tetapi sejauh apa calon presiden disukai, diterima dan kemudian dipilih rakyat.Â
Supaya bisa diterima dan dipilih, berbagai cara dilakukan si calon. Di sinilah faktor pencitraan bermain. Sadar bahwa tidak ada manusia sempurna, sedangkan para pemilih menghendaki calon yang mendekati sempurna, maka para calon sibuk mencitraan diri sebagai orang terbaik dan cocok menjadi pemimpin.Â
Ada sebuah contoh tentang pencitraan yang bagus untuk kaji. Yaitu pencitraan yang dilakukan oleh Bongbong Marcos. Dia unggul dalam pemilihan Presiden Philipine, 9 Mei 2022 yang lalu. Padahal Bongbong adalah anak Presiden Ferdinand Marcos yang menjabat dari 30 Desember 1965 hingga dijatuhkan dan diusir rakyatnya sendiri 25 Februari 1986.Â
Rakyat Philipina mungkin tidak lupa atas gaya hidup mewah dan gaya berkuasa Presiden Marcos nya yang otoriter saat itu. Tetapi kampanye pencitraan dan rebranding secara terus menerus selama bertahun-tahun telah menghapus citra hitam dan menghidupkan kembali nama dan citra keluarga Marcos.Â
Kemenangan Bongbong Marcos memperkuat bukti bahwa siapapun bisa menjadi Presden. Para pemilihnya mungkin berpola pikir meskipun ayahnya diktator belum tentu anaknya berperilaku sama, karena maling pun tidak ingin anaknya menjadi maling dan tidak sedikit anak orang baik-baik yang berperilaku buruk.Â
Celakanya, orang tidak bisa menghalangi siapapun untuk membangun atau memoles citra barunya. Citra baru sebagai orang yang paling cocok untuk menjadi pemimpin terbaik selama lima tahun yang akan datang. Â Â
Saat ini di sekitar kita pun sudah bisa dilihat upaya pencitraan diri. Ada yang mencitrakan diri sebagai orang yang sangat religius penuh dengan simbol-simbol keagamaan. Citra anti korupsi dengan yel-yel anti korupsi, atau citra cinta rakyat dengan pendekatan dan program-program merakyat. Atau ada juga yang mencitrakan diri menjadi korban kecurangan dan korban kedzaliman dalam rangka minta dikasihani dan lalu pada akhirnya minta dipilih.Â
Berbagai cara pencitraan dilakukan, Mulai dari cara malu-malu, sembunyi-sembunyi, cara halus hingga kasar dan serampangan.Â
Kini saatnya, meskipun pilpres masih relatif jauh, para pemilik hak suara lebih mencerdaskan diri memilah-milah dan pada saatnya nanti memilih yang benar-benar diyakini pilihan terbaik untuk bangsa. Memilih dia yang mendahulukan kepentingan rakyatnya dan meninggalkan kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.Â