Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebersamaan Ini Bukan Anekdot

19 Maret 2022   05:57 Diperbarui: 19 Maret 2022   06:04 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah membuktikan banyak ikatan dalam berbagai bentuk (Partai, Perusahaan, Ormas, LSM dan juga rumah tangga) bubar hancur berantakan karena kehilangan rasa kebersamaan. Di sisi lain banyak orang bersusah-susah dengan berbagai cara berusaha mengembalikan dan mengenang kembali kebersamaan yang dulu pernah mereka miliki. 

Maka tidak aneh kalau motivasi yg membuat orang lebih bersemangat pergi sekolah ternyata bukan karena ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya. Juga bukan ingin mendapat gelar akademik yang mentereng dan membanggakan, bukan juga karena ingin nantinya bisa bekerja dengan penghasilan tinggi dan kemudian menjadi orang kaya. 

Lalu apa? Ada sebuah anekdot yang merespon pertanyaan itu dengan jawaban yang saat ini sangat mengena: motivasinya adalah, agar suatu hari kelak bisa reuni dengan teman-teman sekolahnya. Semakin banyak sekolahnya dan semakin tinggi pendidikannya akan semakin banyak teman dan semakin sering reuni. 

Reuni pada dasarnya sebuah pertemuan relatif singkat dengan kawan-kawan lama setelah sekian waktu tidak jumpa. Petemuan seperti itu menjadi media yang amat pas untuk memelihara dan menyambung kembali kebersamaan antar teman lama yang pernah ada beberapa waktu yang lalu. 

Dan, yang cukup menakjubkan, meskipun kadang "hanya" reuni teman SD, tetapi semangat untuk datang bisa mengundang decak kagum. Pesertanya bisa datang dari jauh, dari luar kota dan bahkan dari luar pulau. Semangat yang kuat telah mempertemukan antara mereka yang dekat dengan yang jauh. Pengorbanan biaya dan waktu tidak dianggap masalah, yang penting keiginan mengulang romantika masa kebersamaan sekian tahun atau sekian puluh tahun lalu terwujud. 

Apa sebenarnya yang membuat acara kebersamaan seperti ini dirindukan dan diulangi lagi dan lagi? Itu adalah rasa senasib sepenanggungan, sepermainan, sekubangan, seperjuangan dan susah senang selalu bersama. 

Walaupun saat reuni sangat mungkin terjadi banyak perbedaan dalam banyak hal dibanding dulu saat bersama, tetapi itu tidak menjadi masalah. Apalagi ditambah dengan suasana batin saat kebersamaan sekolah dulu terbawa secara total pada saat reuni. Bebas tanpa sekat, tanpa atribut tanpa basa-basi. 

Kebersamaan memang seperti obat, bahkan ada yang menganggapnya seperti candu. Lihatlah bagaimana heroik, heboh, ramai dan sibuknya orang mudik menjelang hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Peristiwa satu tahun sekali itu juga dirindukan untuk merasakan dan mengenang kembali kebersamaan. Sebuah kebersamaan dalam beberapa hari saja dengan keluarga besar dan handai taulan di kampung. 

Tidak hanya di Indonesia, ramainya mudik juga terjadi di Tiongkok saat perayaan Imlek. Atau di Amerika Serikat saat perayaan Thanks Giving Day. Tujuannya kurang lebih juga sama, mereka merindukan kebersamaan yang dulu pernah mereka alami. 

Manusia memang tidak bisa hidup sendiri. Itu sudah pernah digambarkan sekitar 300 tahun yang lalu. Pada 25 April 1719, Daniel Defoe, menulis sebuah novel fiksi dengan tokoh utama Robinson Crusoe. Salah satu pesan penting dari novel legendaris tersebut adalah bahwa tak seorangpun dapat hidup tanpa kawan, sahabat atau pasangan. 

Kebersamaan adalah salah satu kunci untuk memiliki rasa nyaman saat menjalani lika-liku kehidupan. Tetapi, seringkali, kebersamaan juga tidak selalu mudah untuk diraih. Secara naluri, orang hanya akan bisa nyaman ketika bertemu dengan kawan yang memiliki banyak kesamaan. Kalaupun banyak perbedaan, tetapi bisa saling menerima dan saling melengkapi. 

Orang bisa saja sama persis pakaian, topi, sepatu dan kaos kakinya tetapi tidak selalu memiliki kebersamaan. Di sisi lain, bisa jadi segalanya berbeda, dari fisik, pakaian dan asal-usulnya, tetapi kebersamaan terbangun karena saling melengkapi. 

Di masyarakat Jawa ada istilah "tumbu ketemu tutup". Secara fisik "tumbu" sangat berbeda dengan "tutup", tetapi perbedaan yang banyak antara keduanya itu justru saling melengkapi. Ibaratnya, yang satu tidak akan lengkap dan tidak memiliki arti yang sempurna tanpa yang satunya. "Tumbu" hanya akan cocok dengan "tutupnya", bukan dengan tutup kaleng. 

Dalam hidup pasangan suami istri, kebersamaan layak diumpamakan "tumbu dengan tutup". Berbeda dengan reuni yang hanya ketemu sesaat dan penuh wewangian. 

Kebersamaan pasangan suami istri berlangsung terus menerus pagi, siang dan malam hampir tanpa jeda. Kebersamaannya penuh warna, kadang kelabu, kadang wangi-kadang kecut, ada segar-ada kusut, bisa halus-bisa kasar, sesekali terasa manis atau kali lain terasa pahit dan seterusnya.  Maka kebersamaan seperti ini seringkali tidak mudah untuk diraih. Diperlukan usaha dan penyesuaian terus menerus terhadap perkembangan dan perjalanan kehidupan. 

Karena itu perjalanan hidup keluarga sering diibaratkan dengan bahtera hidup. Bahtera atau perahu. Untuk tetap mampu melaju menuju labuhan kehidupan yang lebih baik, perahu harus tahan terhadap hantaman ombak dan melaju di tengah deburannya.  Supaya perahu bisa mengarungi kehidupan dengan tenang menuju tujuan, mesti mampu memahami arah angin, kekuatan layar, kecukupan bekal dan terjaganya kekompakan seluruh crew perahu. 

Acapkali terjadi untuk menyepakati tujuan bersama juga tidak mudah. Kesepakatan acapkali bermakna pengorbanan. Apa yang semula disukai bisa jadi harus dikorbankan atau apa yang semula dibenci bisa jadi harus disukai demi sebuah kesepakatan. Sebuah proses yang meskipun tidak mudah tetapi banyak yang berhasil menjalaninya penuh keceriaan. 

Budaya leluhur sangat mengagungkan kehidupan bersama sepasang suami istri, sampai disebut "garwo" atau "sigaraning nyawa" yang bermakna belahan jiwa. Disebut demikian karena separoh jiwanya sudah menyatu dengan separoh jiwa pasangannya sebagai hasil penyesuaian terus menerus sepanjang masa kebersamaan. 

Banyak pujangga menulis buku, mendongeng, membuat syair lagu, film, sinetron  dengan tema belahan jiwa. Beberapa dongeng malah menggambarkan betapa sebuah kebersamaan telah menyatukan jiwa sepasang insan manusia. Juga tidak bisa diingkari kisah tragedi-tragedinya. 

Kisah anak manusia mengarungi kebersamaan dalam bahtera kehidupan tidak pernah kering untuk dijadikan sumber inspirasi. Termasuk menginspirasi tulisan ini. 

Oleh karena itu harus terus disyukuri bagi sejoli yang mampu mepertahankan dan mengarungi bahtera kebersamaan yang tidak pernah berhenti dari terpaan badai dan ombak hingga bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Sesuatu yang hanya akan terjadi karena mereka mampu menomorsatukan kebersamaan dan mempraktekan sisi-sisi kemanusiaan seperti kesabaran, ketabahan, ketulusan, kebijakan, kecerdasan, keikhlasan dan pengorbanan. Sungguh, yang ini bukan kebersamaan yang anekdotal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun