Orang bisa saja sama persis pakaian, topi, sepatu dan kaos kakinya tetapi tidak selalu memiliki kebersamaan. Di sisi lain, bisa jadi segalanya berbeda, dari fisik, pakaian dan asal-usulnya, tetapi kebersamaan terbangun karena saling melengkapi.Â
Di masyarakat Jawa ada istilah "tumbu ketemu tutup". Secara fisik "tumbu" sangat berbeda dengan "tutup", tetapi perbedaan yang banyak antara keduanya itu justru saling melengkapi. Ibaratnya, yang satu tidak akan lengkap dan tidak memiliki arti yang sempurna tanpa yang satunya. "Tumbu" hanya akan cocok dengan "tutupnya", bukan dengan tutup kaleng.Â
Dalam hidup pasangan suami istri, kebersamaan layak diumpamakan "tumbu dengan tutup". Berbeda dengan reuni yang hanya ketemu sesaat dan penuh wewangian.Â
Kebersamaan pasangan suami istri berlangsung terus menerus pagi, siang dan malam hampir tanpa jeda. Kebersamaannya penuh warna, kadang kelabu, kadang wangi-kadang kecut, ada segar-ada kusut, bisa halus-bisa kasar, sesekali terasa manis atau kali lain terasa pahit dan seterusnya. Â Maka kebersamaan seperti ini seringkali tidak mudah untuk diraih. Diperlukan usaha dan penyesuaian terus menerus terhadap perkembangan dan perjalanan kehidupan.Â
Karena itu perjalanan hidup keluarga sering diibaratkan dengan bahtera hidup. Bahtera atau perahu. Untuk tetap mampu melaju menuju labuhan kehidupan yang lebih baik, perahu harus tahan terhadap hantaman ombak dan melaju di tengah deburannya. Â Supaya perahu bisa mengarungi kehidupan dengan tenang menuju tujuan, mesti mampu memahami arah angin, kekuatan layar, kecukupan bekal dan terjaganya kekompakan seluruh crew perahu.Â
Acapkali terjadi untuk menyepakati tujuan bersama juga tidak mudah. Kesepakatan acapkali bermakna pengorbanan. Apa yang semula disukai bisa jadi harus dikorbankan atau apa yang semula dibenci bisa jadi harus disukai demi sebuah kesepakatan. Sebuah proses yang meskipun tidak mudah tetapi banyak yang berhasil menjalaninya penuh keceriaan.Â
Budaya leluhur sangat mengagungkan kehidupan bersama sepasang suami istri, sampai disebut "garwo" atau "sigaraning nyawa" yang bermakna belahan jiwa. Disebut demikian karena separoh jiwanya sudah menyatu dengan separoh jiwa pasangannya sebagai hasil penyesuaian terus menerus sepanjang masa kebersamaan.Â
Banyak pujangga menulis buku, mendongeng, membuat syair lagu, film, sinetron  dengan tema belahan jiwa. Beberapa dongeng malah menggambarkan betapa sebuah kebersamaan telah menyatukan jiwa sepasang insan manusia. Juga tidak bisa diingkari kisah tragedi-tragedinya.Â
Kisah anak manusia mengarungi kebersamaan dalam bahtera kehidupan tidak pernah kering untuk dijadikan sumber inspirasi. Termasuk menginspirasi tulisan ini.Â
Oleh karena itu harus terus disyukuri bagi sejoli yang mampu mepertahankan dan mengarungi bahtera kebersamaan yang tidak pernah berhenti dari terpaan badai dan ombak hingga bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Sesuatu yang hanya akan terjadi karena mereka mampu menomorsatukan kebersamaan dan mempraktekan sisi-sisi kemanusiaan seperti kesabaran, ketabahan, ketulusan, kebijakan, kecerdasan, keikhlasan dan pengorbanan. Sungguh, yang ini bukan kebersamaan yang anekdotal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H