Hasilnya, kedua pihak menjaga ketat semua perbuatan, perilaku dan langkah agar tidak menjadi bahan kampanye negative pihak lawan. Kalau semua pihak berusaha mempersembahkan yang terbaik, maka rakyatlah yang paling diuntungkan. Keuntungan ini dikhawatirkan turun atau hilang setelah mereka duduk dalam satu meja.
Kedua. Ketika pemenang pilpres sudah ditetapkan, Presiden terpilih selanjutnya membentuk kabinet untuk menjalankan roda pemerintahan. Tugasnya kemudian adalah membangun negeri dan menunaikan semua janjinya saat kampanye. Normalnya di Negara yang menganut demokrasi, pihak yang kalah akan meneruskan posisinya sebagai pihak yang berseberangan atau popular disebut oposan.
Bukan untuk mengganggu, tetapi menjalankan fungsi penyeimbang kekuasaan agar penguasa tidak melenceng jauh dari kepentingan rakyat. Sebagai oposisi tentu saja boleh berharap semua aktifitasnya bisa menangguk simpati rakyat. Siapa tahu dengan simpati rakyat bisa menang pada kesempatan pilpres yang akan datang. Namun kini, dengan masuknya empat orang ini dalam satu barisan maka keseimbangan ini pun dikhawatirkan akan njomplang.
Indonesia sebagai Negara yang mengadopsi trias politika, memang sudah ada pembagian fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Meskipun begitu fungsi kontrol yang dijalankan oleh pihak oposisi biasanya gaungnya lebih kuat. Oposisi akan membuat pemerintah berusaha bertindak lebih hati-hati dan bersih dalam semua hal. Maka kemudian rakyatlah yang paling diuntungkan. Karena kedua belah pihak akan berusaha menarik simpati rakyat.
Tetapi repotnya, pihak yang sedang memegang kekuasaan sering memandang pihak yang berseberangan seperti musuh dan harus dilemahkan, kalau perlu diberangus. Oposan lebih dipandang sebagai pihak yang merepotkan karena apapun yang dilakukan oleh pemerintah sering dipandang salah. Padahal fungsi oposisi yang berjalan baik memiliki andil besar dalam menjaga agar pihak eksekutif tidak menyeleweng menyalahi kehendak rakyat.
Baca: Sandiaga Uno di Kabinet Jokowi, di Atas Berpelukan tapi Polarisasi di Akar Rumput tak Surut Jua
Lumrahnya, sebagai pihak yang merasa diawasi pemerintah cenderung akan lebih berhati-hati dalam melangkah. Berbeda dengan pihak yang merasa tidak diawasi, akan menjadi jumawa dan cenderung otoriter. Ini sudah disinyalir lebih dari satu abad yang lalu oleh Lord Acton (1833-1902) dan sering menjadi rujukan bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”.
Oleh karena itu, kabar baiknya kalau fungsi oposisi berjalan baik, menjadi oposan adalah ibarat terjun ke kawah candradimuka atau ajang penggodogan untuk melatih diri menjadi calon pemimpin mumpuni di masa datang. Seandainya pemimpin negeri ini pun menganggap oposisi sebagi sesuatuyang baik, oposan bisa menjadi alternatif kandidat pemimpin masa depan selain dari birokrat, teknokrat dan politisi. Baik juga diingat, salah satu kriteri keberhasilan seorang pemimin adalah melahirkan calon-calon pemimpin masa datang.
"Blessing in disguise", masuknya Prabowo dan Sandiaga adalah semacam memberi kesempatan warga menimba ilmu dengan menjadi oposan untuk menjadi pemimpin tangguh di masa depan. Kabar kurang sedapnya, menunggu oposan tangguh seperti menunggu godot. Banyak oposan yang awalnya seperti terlihat tangguh, tetapi kemudian "melempem" ketika ketemu "apem".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H