Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengumumkan enam anggota baru di kabinetnya. Ada yang mengisi kekosongan posisi menteri dan ada yang mengganti menteri aktif. Menteri aktif yang diganti mungkin karena kinerjanya dianggap tidak maksimal. Itu hak prerogratif Presiden.
Satu dari enam menteri baru tersebut adalah Sandiaga Salahudin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama Kusubandio. Sandiaga menyusul Prabowo Subiyanto, yang lebih dahulu ada di dalam kabinet menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Seperti diketahui, Prabowo berpasangan dengan Sandiaga dalam pilpres yang lalu dan mereka kalah dari pasangan Jokowi-Ma’ruf. Masyarakat tentu masih belum lupa betapa kerasnya persaingan dua pasangan ini dalam Pilpres lima tahunan itu. Begitu kerasnya sampai-sampai masyarakat Indonesia seperti terbelah dua dan saling berhadapan. Hanya kedewasaan yang menyelamatkan bangsa dari terjadinya benturan antar anak negeri.
Benturan fisik memang tidak terjadi, namun tidak bisa diingkari, panas api persaingan masih terasa. Penggunaan istilah “kadrun” dan “cebong”, misalnya bisa menjadi indikator masih adanya perseteruan.
Kini dua pasangan yang pernah bersaing keras berebut posisi Presiden dan Wakil Presiden RI tersebut sudah berdamai dalam satu biduk. Biduk bernama Kabinet Indonesia Maju. Namun demikian masih ada pertanyaan dan komentar yang terucap maupun yang nyantol tercekat kelu di pangkal lidah. Pertanyaan tersebut, umpamanya, bagaimana ceritanya Capres yang kalah bersedia menjadi Menteri dari pesaingnya. Atau, apa latar belakang pemikiran Presiden terpilih Jokowi memasukkan mantan satu-satunya pesaing ke dalam kabinetnya.
Belum lagi ada jawaban yang memuaskan, sudah disusul dengan masuknya cawapres yang kalah, Sandiaga, ke dalam kabinet resufhle Presiden Jokowi. Mungkin memang tidak akan pernah ada jawaban yang terang. Atau memang pertanyaan itu tidak perlu dijawab.
Atau tidak ada jawaban adalah jawabannya. Maka tidak heran, banyak orang berspekulasi dengan beraneka ragam argumen. Sebagian bernada menyayangkan, sebagian lainnya bersyukur. Bersyukur karena dua pihak yang berseteru pada akhirnya ada dalam satu perahu.
Baca: Maju-mundur Reshuffle Kabinet Jokowi atau Prerogatif yang Terpasung?
Satu komentar yang menggelitik atas masuknya Sandiaga ke dalam kabinet menyusul Prabowo adalah “happy ending”. Maksudnya kira-kira, dua pihak yang selama ini dipandang berseberangan, bersaing dan berebut posisi pucuk pimpinan Negara akhirnya berbahagia dalam satu biduk. Mirip akhir cerita Cinderela, “happily ever after”.
Mungkin benar, mereka, empat tokoh nasional itu telah berbahagia dalam satu meja dan sudah “happy” dengan kedudukannya masing-masing. Tetapi ada kekhawatiran atas bersatunya mereka dalam satu biduk ini.
Pertama. Saat masih bersaing dalam pilpres, masyarakat menyaksikan, betapa ke-dua belah pihak saling menyoroti dengan sangat teliti. Apapun yang dilakukan pihak lawan disoroti dengan jeli, dengan tujuan apabila menemukan kesalahan, keanehan atau bahkan hanya sekedar keseleo lidah, dijadikan amunisi untuk menyerang dan menjatuhkan lawan. Tujuan lainnya adalah untuk menarik simpati calon pemilih (baca rakyat).
Hasilnya, kedua pihak menjaga ketat semua perbuatan, perilaku dan langkah agar tidak menjadi bahan kampanye negative pihak lawan. Kalau semua pihak berusaha mempersembahkan yang terbaik, maka rakyatlah yang paling diuntungkan. Keuntungan ini dikhawatirkan turun atau hilang setelah mereka duduk dalam satu meja.
Kedua. Ketika pemenang pilpres sudah ditetapkan, Presiden terpilih selanjutnya membentuk kabinet untuk menjalankan roda pemerintahan. Tugasnya kemudian adalah membangun negeri dan menunaikan semua janjinya saat kampanye. Normalnya di Negara yang menganut demokrasi, pihak yang kalah akan meneruskan posisinya sebagai pihak yang berseberangan atau popular disebut oposan.
Bukan untuk mengganggu, tetapi menjalankan fungsi penyeimbang kekuasaan agar penguasa tidak melenceng jauh dari kepentingan rakyat. Sebagai oposisi tentu saja boleh berharap semua aktifitasnya bisa menangguk simpati rakyat. Siapa tahu dengan simpati rakyat bisa menang pada kesempatan pilpres yang akan datang. Namun kini, dengan masuknya empat orang ini dalam satu barisan maka keseimbangan ini pun dikhawatirkan akan njomplang.
Indonesia sebagai Negara yang mengadopsi trias politika, memang sudah ada pembagian fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Meskipun begitu fungsi kontrol yang dijalankan oleh pihak oposisi biasanya gaungnya lebih kuat. Oposisi akan membuat pemerintah berusaha bertindak lebih hati-hati dan bersih dalam semua hal. Maka kemudian rakyatlah yang paling diuntungkan. Karena kedua belah pihak akan berusaha menarik simpati rakyat.
Tetapi repotnya, pihak yang sedang memegang kekuasaan sering memandang pihak yang berseberangan seperti musuh dan harus dilemahkan, kalau perlu diberangus. Oposan lebih dipandang sebagai pihak yang merepotkan karena apapun yang dilakukan oleh pemerintah sering dipandang salah. Padahal fungsi oposisi yang berjalan baik memiliki andil besar dalam menjaga agar pihak eksekutif tidak menyeleweng menyalahi kehendak rakyat.
Baca: Sandiaga Uno di Kabinet Jokowi, di Atas Berpelukan tapi Polarisasi di Akar Rumput tak Surut Jua
Lumrahnya, sebagai pihak yang merasa diawasi pemerintah cenderung akan lebih berhati-hati dalam melangkah. Berbeda dengan pihak yang merasa tidak diawasi, akan menjadi jumawa dan cenderung otoriter. Ini sudah disinyalir lebih dari satu abad yang lalu oleh Lord Acton (1833-1902) dan sering menjadi rujukan bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”.
Oleh karena itu, kabar baiknya kalau fungsi oposisi berjalan baik, menjadi oposan adalah ibarat terjun ke kawah candradimuka atau ajang penggodogan untuk melatih diri menjadi calon pemimpin mumpuni di masa datang. Seandainya pemimpin negeri ini pun menganggap oposisi sebagi sesuatuyang baik, oposan bisa menjadi alternatif kandidat pemimpin masa depan selain dari birokrat, teknokrat dan politisi. Baik juga diingat, salah satu kriteri keberhasilan seorang pemimin adalah melahirkan calon-calon pemimpin masa datang.
"Blessing in disguise", masuknya Prabowo dan Sandiaga adalah semacam memberi kesempatan warga menimba ilmu dengan menjadi oposan untuk menjadi pemimpin tangguh di masa depan. Kabar kurang sedapnya, menunggu oposan tangguh seperti menunggu godot. Banyak oposan yang awalnya seperti terlihat tangguh, tetapi kemudian "melempem" ketika ketemu "apem".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H