Mohon tunggu...
Sarjito Ir
Sarjito Ir Mohon Tunggu... -

volunteer NGO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bulan Bintang, Ekspresi Perang di Masa Damai

16 Mei 2016   13:56 Diperbarui: 16 Mei 2016   14:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Alam Peudeng. Sumber: meuria.net


Sudah 10 tahun Aceh dibangun dalam suasana damai. Namun kata ‘damai’ itu ternyata hanya sebatas kemasan tanpa makna, karena di dalamnya masih terbungkus gejolak sosial dan politik. Salah satu pemicunya adalah persoalan bendera

Sudah berulang-kali dilakukan pertemuan konsultasi antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat membahas ikhwal bendera, namun belum ada titik temu. Tokoh-tokoh politik Aceh, khususnya dari partai lokal tetap saja keukeuh dengan symbol GAM sebagai bendera Aceh.

Untuk memecah kebuntuan ini, tokoh eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman mengusulkan sebuah solusi. Yakni agar masalah bendera dikesampingkan dulu, utamakan kesejahteraan masyarakat Aceh. Dengan gaya khasnya sebagai mantan panglima, Zakaria Saman berujar: “Bagi lon, bendera kon hana galak, tapi ureung Aceh utamakan pruet dilee. Keupeu bendera meunyoe pruet ureung Aceh mantong deuk, kon tacok tatiek lam parek keudeh.” (Saya bukan tidak suka dengan bendera, tapi orang Aceh harus kita utamakan dulu masalah perut-nya. Untuk apa bendera kalau orang Aceh masih lapar, ambil lempar ke parit saja.) http://www.nadpost.id/2016/05/dianggap-lecehkan-bendera-eks-wakil.html

Pernyataan tokoh yang akrab disapa Apa Karya ini kontan mendapat reaksi keras dari sesama mantan kombatan GAM. Saling nista pun tak terhindarkan.

Samsul Bahri alias Abu Nawah (mantan Wakil Panglima GAM daerah II Simpang Ulim - Peureulak, Aceh Timur) meminta Apa Karya untuk segera meminta maaf kepada rakyat Aceh karena menganggap bahwa bendera Aceh berlambang bintang bulan tidak penting.

Kritik paling pedas datang dari Imran Pase, eks kombatan GAM wilayah Pase. Ia menuding Apa Karya sudah tidak waras lagi.

“Bahasa seorang Zakaria Saman di koran harian Serambi Indonesia tidak lebih dari haba urueng ka jawai,” tambah Imran Pase. (Jawai = gila, Red.)

Perlawanan dari kelompok Apa Karya pun tak kalah sengit.

“Jadi yang jawai siapa? Mereka yang mengkritik tanpa solusi atau Zakaria Saman yang mengkritik penuh dengan solusi?” tangkis Safrizal, Ketua DPP Syedara Apa Karya.

Menurutnya, mereka yang menuding Zakaria Saman jawai tidak memahami makna di balik pernyataan bakal colon Gubernur Aceh itu. Justru Apa Karya sedang memberikan solusi, agar tokoh-tokoh Aceh lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat Aceh serta terpenuhinya lapangan pekerjaan bagi generasi muda Aceh.  Soal bendera, Apa Karya sudah menawarkan agar menggunakan lambang Kesultanan Aceh, yaitu Alam Peudang.

Tidaklah sulit memahami cara pandang kedua kubu yang sedang berseteru tentang bendera ini. Kubu yang mempertahankan bulan bintang, bendera adalah simbol ekspresi. Ekspresi kepada siapa pun, bahwa Aceh adalah sebuah kesatuan komunitas sosio-kultural yang perlu mendapat pengakuan dari pihak lain (an act of recognition).

Jika itu dasar berpikirnya, tidak salah pula Apa Karya menawarkan lambang Alam Peudang, karena pada umumnya daerah-daerah lainnya seperti di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan menggunakan simbol-simbol kerajaan atau kesultanan sebagai lambang daerah mereka. Lantas kenapa harus bersikukuh menggunakan simbol GAM? Dimanakah letak kekhususan GAM dalam konteks kesatuan sosio-kultural?

Sebutan GAM saja sangat identik dengan pemberontakan, separatis, dan sejenisnya. Menghidupkan kembali simbol GAM tentu saja tidak relevan dengan itikad baik yang sudah diikat dalam MoU Helsinki maupun Undang-Undang Pemerintahan Aceh.  

Maka seyogyanya lambang dan bendera yang dipilih untuk daerah Aceh juga memberi ruang untuk memaknai harapan akan masa depan. Bukan malah stagnan dengan terus-menurus menonjolkan persoalan traumatik masa lalu.

Seruan Apa Karya ‘buang saja ke parit’ adalah himbauan penuh bijak bagi seluruh masyarakat Aceh untuk mengburkan dalam-dalam persoalan masa lalu yang penuh konflik. Sekaligus ajakan penuh semangat untuk bersama-sama mengatasi hambatan pembangunan kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan itu, buanglah permusuhan dan rawatlah susana damai.[*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun