Tidaklah sulit memahami cara pandang kedua kubu yang sedang berseteru tentang bendera ini. Kubu yang mempertahankan bulan bintang, bendera adalah simbol ekspresi. Ekspresi kepada siapa pun, bahwa Aceh adalah sebuah kesatuan komunitas sosio-kultural yang perlu mendapat pengakuan dari pihak lain (an act of recognition).
Jika itu dasar berpikirnya, tidak salah pula Apa Karya menawarkan lambang Alam Peudang, karena pada umumnya daerah-daerah lainnya seperti di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan menggunakan simbol-simbol kerajaan atau kesultanan sebagai lambang daerah mereka. Lantas kenapa harus bersikukuh menggunakan simbol GAM? Dimanakah letak kekhususan GAM dalam konteks kesatuan sosio-kultural?
Sebutan GAM saja sangat identik dengan pemberontakan, separatis, dan sejenisnya. Menghidupkan kembali simbol GAM tentu saja tidak relevan dengan itikad baik yang sudah diikat dalam MoU Helsinki maupun Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Â
Maka seyogyanya lambang dan bendera yang dipilih untuk daerah Aceh juga memberi ruang untuk memaknai harapan akan masa depan. Bukan malah stagnan dengan terus-menurus menonjolkan persoalan traumatik masa lalu.
Seruan Apa Karya ‘buang saja ke parit’ adalah himbauan penuh bijak bagi seluruh masyarakat Aceh untuk mengburkan dalam-dalam persoalan masa lalu yang penuh konflik. Sekaligus ajakan penuh semangat untuk bersama-sama mengatasi hambatan pembangunan kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan itu, buanglah permusuhan dan rawatlah susana damai.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H