Mohon tunggu...
Saris D Pamungki
Saris D Pamungki Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis Dan Merekam Lewat Visual

Beda Tapi Tak Sama dan sendiri nyali teruji, dua kata buat penyulut semangat diri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Timbun Belanja, Timbul Bencana

2 Mei 2020   06:52 Diperbarui: 2 Mei 2020   07:04 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahan Masakan Untuk Acara Selamatan (dokpri)

"Hai...kik, alhamdulillah, hari ini aku dapat orderan, ngantar belanjaan orang, dari Pasar Besar ke daerah Pilangkenceng, lumayan...", Sapa Gepeng dengan mimik muka ceria. 

Gepeng adalah kawan yang sehari-hari berprofesi menjadi driver ojol. Sambil merapikan motor di teras, dia lanjut cerita.

"Iya kah, masuk sini", jawabku

"Iya, tapi belanjaannya, menurutku banyak sekali, basa-basi aja aku tanya orangnya", sahut Gepeng

"Waduh, belanjaan segini banyak buat apa mbak?", kata Gepeng. 

"Anu mas, buat persiapan lebaran", jawab mbaknya (begitu sambil si Gepeng nganggukkan kepala di sela ceritanya).

"Kan lebaran sik adoh yo kik, kok podo gedandapan belonjo macem-macem, ha...mbuh wis sing penting tak terke", dengan logat Jawa kental ia melanjutkan cerita, yang artinya "Lebaran masih jauh, kenapa kok semua udah merasa ketakutan dan belanja bermacam-macam kebutuhan."

.

Fenomena di atas, biasa terjadi. Apalagi mendekati lebaran. Namun, jika kita telisik lebih dalam, apakah benar, semua barang yang dia belanjakan itu memang menjadi kebutuhan utama? artinya, dipersiapkan untuk sebuah hajatan atau kegiatan yang hari dan tanggalnya sudah ditentukan. 

Kalau terpakai untuk itu, its ok aja. Tapi kalo tidak, bisa anda sebut apa sifat suka menghamburkan uang seperti itu? Membeli sesuatu yang bukan merupakan kebutuhan (tidak mendesak).

Apa yang perlu diperbaiki dari perilaku tersebut? Bukankah kita lebih mendahulukan kebutuhan, daripada keinginan.

Apa yang musti dibanggakan? saat semua bisa terbeli. Sifat tamak dan rakus justru akan muncul. Padahal seyogyanya kita mampu mengendalikan itu, karena termasuk nafsu. Dan Jangan terjebak pada sifat riya atau pamer.

Semisal, bicara makanpun sebenarnya hanya berhak menelan rejeki dengan sepiring nasi.

Apalagi, berlebihan membelanjakan uang atau harta yang dimiliki hanya untuk sebuah pengakuan identitas atau status kita di depan tetangga dan banyak orang saja, sedikit demi sedikit harus bisa dihindari sedari sekarang.

Saya sendiri juga belajar, ternyata memang harus bisa berlapang dada saat punya maupun tidak. Saya kira, anda pun juga benci dan menjauhi hal yang demikian.

Saya menganggap membelanjakan barang dengan sangat berlebihan semacam itu adalah awal dari sebuah bencana. Meskipun tidak terlihat nyata, namun sifat yang ditimbulkan (dengan sendirinya) secara terang-terangan akan menggambarkan bencana itu sendiri. 

Yaitu akan Timbul Sifat Buruk setelahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun