Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"The Boy Who Harnessed The Wind" (Si Pemanfaat Angin) dan Sedikit Persoalan pada Pendidikan Kita

5 April 2021   20:15 Diperbarui: 5 April 2021   20:42 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
resource-alliance.org

Bencana kelaparan Malawi pada tahun 2001-2002, banyak melanda masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Berdasarkan laporan UNDP (2008) bencana tersebut terjadi akibat ketergantungan yang tinggi pada sawah tadah hujan sehingga berdampak pada kerentanan hidup yang tinggi bagi masyarakat Malawi. 

Negara yang mengenal dua musim yaitu hujan dan panas, menjadikannya rentan terjadi bencana banjir dan kekeringan. Konteks bencana kelaparan di Malawi juga diperparah oleh situasi politik yang menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat miskin. 

Kerentanan hidup yang tinggi dan kemiskinan Masyarakat Malawi pada waktu itu terjadi dari kombinasi berbagai faktor baik tekanan ekonomi, demografi dan politik (Menon, 2007). 

Dari Bulan Januari-April 2002 setidaknya terdapat 500-1000 orang meninggal akibat kelaparan dan hingga tahun 2005, lebih dari 4,7 juta dari populasi 12 juta mengalami kekurangan pangan (Phiri, 2005). Kerusuhan, penjarahan dan konflik sosial akibat kelaparan melanda Malawi kala itu.

Gambaran dari kondisi itulah yang dikisahkan dalam film "The Boy Who Harnessed the Wind" yang didistribusikan oleh Netflix pada tahun 2019. Film ini pernah masuk dalam seleksi "Best International Feature Film" pada piala Oscar ke 92 tetapi tidak lolos nominasi. 

Film ini disutradarai oleh sineas kebangsaan Inggris, Chiwetel Ejiofor. Kisah film ini diadaptasi dari buku yang berjudul "The Boy Who Harnessed the Wind" yang merupakan kisah nyata seorang anak fenomenal yang bernama William Kamkwamba. Apabila kita melihat presentasi William Kamkwamba di TED, kita akan tahu siapa dia dan apa yang telah dia lakukan untuk komunitasnya untuk mengurangi bencana kelaparan di Malawi.

Agar tidak spoiler, kurang lebih narasi dari film ini menuturkan kisah tentang anak laki-laki remaja yang berasal dari latar belakang keluarga petani, gemar belajar dan percaya akan kekuatan science untuk membuat teknologi kincir angin sebagai irigasi untuk mengurangi masalah kekeringan pada lahan pertanian keluarga dan komunitasnya. 

Tentu tidak ada perjuangan yang mudah bagi mereka yang berasal dari kalangan miskin untuk membuktikan gagasan mereka mampu menjadi solusi. Pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin juga telah mendepak William Kamkwamba dari sekolah untuk mewujudkan gagasannya menjadikan science sebagai cara menghadapi krisis. 

Berbekal kemauan kuat untuk keluar dari krisis, berbagai usaha ditempuh oleh William Kamkwamba hingga akhirnya dia mampu membuat kincir angin yang dapat mengairi ladang keluarga, komunitasnya serta menjadikan angin sebagai energi alternatif listrik mereka. 

Tentu apa yang telah dilakukan oleh William Kamkwamba telah memenuhi kaidah ilmiah seperti sintaks dalam pembelajaran berbasis saintifik, mulai Mengamati, Menanya, Mengumpulkan Informasi, Mengasosiasi, dan Mengkomunikasikan. Tempaan setiap proses belajar William Kamkwamba dilalui dengan penuh penderaan. Dia bukan hanya menghasilkan proposal penelitian, makalah yang dikompetisikan tetapi gagasan dan aksi yang dapat membantu banyak sesama.

Dalam benak saya, pendidikan kita seharusnya mampu menghasilkan scholar-scholar yang bukan hanya asyik dengan ilmunya sendiri tetapi menghasilkan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya seperti William Kamkwamba. Kompetisi-kompetisi penelitian mengapa tidak didorong pada penelitian dan aksi yang bermanfaat bagi masyarakat bukan sekedar scholar yang menglorifikasi atas dirinya sendiri. Bahwa keberhasilan scholar-scholar itu bukan hanya sekedar kisah sukses individu tetapi kisah keberhasilan komunitas keluar dari krisis.

Film ini bagi saya menarik, selain konteks masyarakat yang mengisahkan relasi harmoni antara penganut Kristen dan Muslim, masyarakat adat yang semakin tersingkir oleh pembangunan (privatisasi-kapitaliasi tanah dan hutan), pekerja anak dan pernikahan dini yang tentu kita banyak temukan di beberapa kasus di Indonesia.

Sebagai penghargaan atas perjuangannya, William Kamkwamba selanjutnya mendapatkan beasiswa untuk studi lanjutannya mengembangkan teknologi kincir angin serta terpilih oleh Majalah Time sebagai 30 orang dalam kurun waktu 30 tahun yang telah mengubah dunia pada tahun 2013.

Referensi lanjutan:
Menon, R. (2007). Famine in Malawi: Causes and consequences. Occassion Paper. Human Development Report Office. Accessed on, 17, 02-10.
Kamkwamba, W., & Mealer, B. (2016). The boy who harnessed the wind. Penguin.
ted.com/speakers/william_kamkwamba

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun