Hal yang selalu saya ingat pada masa kanak-kanak, ketika tidak menghabiskan makanan, Ibu selalu menasehati agar menghabiskan semua nasi tanpa tersisa. Â
Menurut ibu, bila tidak dihabiskan maka nasinya akan menangis atau bahkan hewan peliharaan yang kita sayangi akan mati. Cerita yang melegenda yang tentunya masih saya ingat itu diperkuat ketika dalam kisah boneka Si Unyil yang ditayangkan oleh TVRI pernah menarasikan hal yang sama, bahwa kita harus menghabiskan nasi yang kita makan, kalau tidak nasinya akan menangis karena kita telah menyia-nyiakannya.Â
Kisah ini begitu tergiang-ngiang sampai sekarang dan rupanya sangat efektif untuk mempengaruhi saya agar berusaha memakan nasi yang telah diambil tanpa tersisa.
Nasi yang berasal dari beras yang telah dimasak, dari padi yang telah dipanen dalam kehidupan masyarakat agraris Jawa, Indonesia dan bahkan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat penting. Narasi tentang padi yang berkaitan erat dengan budaya, agama, ekonomi, pertahanan, politik, lingkungan dan identitas, menempatkan padi sebagai hal yang signifikan bagi kehidupan masyarakat.Â
Bagi orang Indonesia, kecuali Indonesia Timur, padi bukan hanya sekedar komoditas dan makanan pokok tetapi adalah konteks segala aspek kehidupan yang melingkupi manusia dan bagaimana manusia berhubungan dengan alam.
Kisah di Myanmar, pada era Kerajaan Bagan di abad 11-13 masehi, menempatkan padi sebagai hal yang sangat penting, bagaimana pengaruh Agama Buddha yang berkembang pesat ditopang dari hasil pertanian padi yang telah dihasilkan oleh penduduk. Kuil-kuil banyak dibangun dari hasil perdagangan padi oleh penduduk, sehingga relasi dan pengaruh antara agama dan pertanian padi begitu kuat.
Dalam konteks Jawa dan Bali, Â legenda tentang padi dan Dewi Sri menempati peran yang cukup sentral. Di dalam rumah tradisional jawa, terdapat tempat secara khusus yang biasanya disebut senthong tengah (bagian tengah bangunan rumah) yang merupakan tempat yang dipersembahkan untuk menghormati Dewi Sri. Bagi orang Jawa dan Bali, Dewi Sri identik dengan padi yang merupakan lambang kesuburan.Â
Masyarakat Jawa terutama masyarakat agraris, Dewi Sri dipercaya sebagai sosok pelindung yang dapat menjaga kehidupan dan keselamatan masyarakat melalui padi. Sehingga berbagai macam ritual dipersembahkan untuk menghormati Dewi Sri.
Dari kisah tentang legenda padi yang saya kutip dari asianfolktales.unescoapceiu.org: teacher's guide,khususnya dongeng dari Indonesia, mengenai Dewi Sri, Dewi Padi sebagai dongeng dari Jawa. Bahwa pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa tidak terdapat tanaman padi. Dalam dongeng itu dikisahkan bahwa orang Jawa hanya menanam singkong dan memakan singkong sebagai makanan pokoknya.Â
Padi merupakan tanaman yang hanya terdapat dan dimakan di khayangan. Lalu pada suatu hari ketika, Dewa dan Dewi turun dari khayangan ke bumi, mengijinkan seorang pemuda dari bumi untuk mengunjungi khayangan dan melihat tanaman padi. Selama di khayangan pemuda tersebut terpesona dengan bau harum nasi yang ditanak dan lalu dia berharap dapat menyicipi nasi yang begitu harum tersebut.Â
Untuk mewujudkan keinginannya, pemuda tersebut menghadap Dewi Sri sebagai Dewi Padi agar diijinkan untuk tinggal lebih lama di khayangan dan diberikan kesempatan untuk belajar menanam padi. Dewi Sri lalu mengijinkannya untuk tinggal lebih lama dan mengajarinya bagaimana menanam padi.Â
Pertama sebelum menanam padi, pemuda tersebut belajar untuk membajak dan menyuburkan tanah dengan alat yang disebut luku. Selanjutnya untuk meratakan tanah sebelum ditanami padi, menggunakan alat  berupa garu. Setelah tanahnya gembur, pemuda tersebut diajari untuk melakukan pengairan, menanam benih padi dan memanennya ketika padi telah mengguning.Â
Bahkan Dewi Sri juga mengajari pemuda tersebut menggunakan ani-ani untuk memotong dan memanen padi. Selain itu Dewi Sri juga mengajari pemuda tersebut menggunakan lesung untuk menumbuk padi sehingga menjadi beras. Setelah mempelajari semua tahapan bertani padi, pemuda tersebut juga diijinkan untuk menikmati nasi sebagai makanan yang lezat dari khayangan.
Setelah tinggal beberapa waktu di khayangan, pemuda tersebut ingin kembali ke bumi dan lalu dia meminta ijin ke Dewi Sri untuk meninggalkan khayangan. Tanpa sepengetahuan Dewi Sri, di pagi hari pemuda tersebut meninggalkan khayangan dan mengambil benih padi untuk dibawa ke bumi. Sesampainya di bumi, pemuda tersebut membagikan benih padi dan mengajari tetangga-tetangganya untuk menanam padi sehingga suatu hari di Pulau Jawa terlihat mengguning ketika padi siap dipanen.Â
Ketika Dewa dari khayangan turun ke bumi, kaget melihat tanaman yang hanya terdapat di khayangan telah ditanam di bumi, seketika itu Dewa tersebut langsung menemui dan memberitahu Dewi Sri. Dewa tersebut geram dengan Dewi Sri yang dianggap telah memberikan benih padi kepada pemuda dari bumi. Â
Mengetahui hal tersebut, Dewi Sri langsung turun ke bumi dan menemui pemuda yang telah mencuri benih padinya. Ketika awal bertemu dengan pemuda tersebut, Dewi Sri marah karena telah mengkhianati kepercayaannya. Tetapi pemuda tersebut memohon ampun kepada Dewi Sri dan meminta maaf atas segala perbuatan yang telah dilakukannya.Â
Kepada Dewi Sri, pemuda tersebut mengakui kesalahannya dan siap menerima hukuman. Pemuda tersebut mengatakan kepada Dewi Sri alasan mencuri benih padi dilakukannya agar penduduk bumi dapat lebih sehat dan kuat dengan memakan beras. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk dirinya tetapi demi orang banyak. Dewi Sri, yang welas asih mengampuni pemuda tersebut dan mengijinkan padi untuk ditanam dan dimakan oleh penduduk di bumi tetapi Dewi Sri mengajukan beberapa persyaratan yang harus disanggupi oleh pemuda tersebut.
Penduduk bumi diijinkan untuk menanam padi dan menikmati beras dengan persyaratan ketika menanam padi harus melakukan irigasi secara regular, menyiangi tanaman liar di sekitar sawah, menjaga kesuburan tanah, memanen padi dengan hati-hati menggunakan ani-ani, tidak diperbolehkan membuang beras dan nasi, membiarkan burung untuk ikut menikmati bijih padi sebagai bentuk berbagi dengan mahkluk hidup yang lain dan tidak diperbolehkan untuk membunuh burung-burung yang ikut makan biji padi.Â
Pesan yang sangat kuat disampaikan Dewi Sri kepada pemuda tersebut adalah memperlakukan padi selayaknya seperti anak kandungnya sendiri dan mengikuti ritme alam. Apabila penduduk bumi mengingkari janjinya maka Dewi Sri akan mengirimkan musibah karena telah merusak alam.
Narasi dari dongeng tersebut, bagi saya bukan sekedar dongeng belaka tetapi menyiratkan pesan yang cukup kuat bahwa dalam kosmologi Jawa, masyarakat agraris Jawa sangat menghormati padi dan Dewi Sri sebagai representasi alam.
Pesan kuat dengan menjaga harmoni alam, menanam padi dengan penuh kasih sesuai ritme alam adalah bagian dari memayu hayuning bawono, menjaga alam semesta. Membaca dongeng ini dari perspektif agama lokal, bagaimana masyarakat agraris Jawa memaknai kepercayaan mengenai Dewi Sri dan padi sebagai hubungan interpersonal bukan hubungan antara subyek dan obyek.Â
Mengacu dari Hallowell (1960), Bird-David (1999), Morisson (2002) dan Maarif (2015), Â terdapat ikatan dan hubungan antara mayarakat agraris Jawa dengan padi dan Dewi Sri sebagai relasi intersubyek dan we-ness. Dewi Sri dalam kosmologi Jawa sebagai personhood, nonhuman being yang mengindikasikan terdapat hubungan saling ketergantungan.Â
Pesan untuk menjaga padi dan hidup selaras dengan alam sebagai etika lingkungan untuk menghormati alam karena ketergantungan yang besar antara manusia dan alam. Bagi masyarakat agraris Jawa yang mempercayainya, Dewi Sri dan Padi adalah simbol tentang kehidupan sehingga sebegitunya bermaknanya, Dewi Sri berada di senthong tengah dari rumah orang Jawa. Dalam ritual Jawa "selametan" (wellbeing), dimana memahami konsep selametan sebagai upacara yang bersifat komunal dan sosial (social sharing) dan padi adalah salah satu simbol yang selalu melekat.
Dongeng padi pada masyarakat agraris Jawa diatas tentunya adalah pesan mengenai penghormatan alam karena alam adalah makro dan mikro kosmos. Alam  bukan hanya sekedar benda dan obyek tetapi sebuah relasi antar subyek kehidupan (nonhuman being) dan manusia sebagai salah satu penghuninya harus menjaga etikanya agar alam tetap lestari, karena alam liar tidak membutuhkan manusia,tapi sebaliknya!
Wallahu'lam Bishowab.
Yogyakarta, 12 Desember 2017
Sari Oktafiana
Terinspirasi dari kisah yang dituliskan asianfolktales.unescoapceiu.org: teacher's guideyang dikutip dalam Unit 1 People and Places, Lesson 2 Balinese rice plains: Religion and Rice, UNESCO, 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H